Kusuma Pawening, gadis remaja yang masih duduk di bangku SMA itu tiba-tiba harus menjadi seorang istri pria dewasa yang dingin dan arogan. Seno Ardiguna.
Semua itu terjadi lantaran harus menggantikan kakanya yang gagal menikah akibat sudah berbadan dua.
"Om, yakin tidak tertarik padaku?"
"Jangan coba-coba menggodaku, dasar bocah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Wening menjerit, sementara Seno mengaduh. Keduanya terjatuh bersama. Tidak seperti kisah drama nan romantis ria mendapat bibir tak terduga. Pria itu malah terkatup benda keras di belakangnya. Lebih tepatnya sudut meja yang cukup membuat punggungnya ngilu.
"Om, nggak pa-pa?" tanya Wening meraba-raba tepat di mukanya.
Suasana masih gelap, hanya sorot terang dari ponsel yang sebelumnya dibawa Seno masih menyala. Walaupun ponsel itu ikut terlempar, sepertinya aman.
"Sakit lah, jalan pakai kaki, dengan hati dan perasaan. Main tabrak aja!" jawab Seno bernada kesal.
"Maaf, gelap! Kontak meter di mana ya? Ini beneran mati atau konspirasi?" tanya Wening cukup membuat pria itu terkesiap.
Andai saja tidak suasana gelap, tentu saja wajah Seno yang sedikit melongo itu pasti kentara. Istri bocilnya cerdas juga, tidak bisa diakal-akali dengan hal receh atas ulahnya.
"Bangun Om, jangan tiduran di lantai, dingin! Ayo Wening bantu!"
Ingin rasanya pria itu mengumpat. Siapa yang tiduran di lantai, jatuh bocil ....!
Wening membantu pria itu kemudian menarik kursi agar suaminya terduduk dengan tenang. Kemudian berjalan mengambil ponsel yang tergeletak tak jauh dari sana.
"Tunggu sini Om, jangan ke mana-mana, nanti nabrak bahaya! Pinjam ponselnya bentar ya?"
Tanpa menunggu jawaban Seno, gadis itu berjalan keluar menuju kontak pelistrikan. Mengecek pedometer seperti di kampung kalau acara mati lampu. Siapa tahu hanya off karena sengaja. Atau bahkan dari pusat langsung.
Ia baru menyadari rumah sebesar ini masa tidak ada lampu otomatis yang menyala. Atau bahkan jenset yang biasa dimiliki orang-orang kaya di kampungnya. Sungguh membanggongkan sekali. Lampu seketika menyala, membuat gadis itu tersenyum sumringah. Berjalan memasuki rumah, mendekati pria yang saat ini masih duduk di tempatnya sesuai pesan Wening sebelum beranjak.
"Om, sengaja ya matiin lampu?" tuduh Wening to the point.
"Mana ada sengaja, kurang kerjaan amad, bantu ke atas, punggung aku sakit," kisah pria itu bernada manja.
"Ish ... sakit beneran?" tanya Wening dengan polosnya.
"Iya lah, masa boongan, lecet dan memar sepertinya," keluh pria itu menahan sakit dan sedikit perih.
Bayangkan saja, tertabrak lalu jatuh ke belakang, mentok pojokan meja yang keras, habis itu terguling ke lantai marmer. Sungguh kenaasan yang haqiqi.
"Oke, mari Wening bantu," ujar gadis itu merasa kasihan juga.
Sepertinya satu dari misinya berhasil, pura-pura lebih parah saja untuk mendapatkan respon istrinya yang terlihat tak pedulian. Tapi memang benar sakit beneran, bukan hanya drama.
"Mau ke mana?" tanya pria itu begitu mendapati Wening hendak beranjak dari kamarnya setelah drama membantu sampai tujuan yang sebenarnya sangat bisa sendiri.
"Balik ke kamar, kenapa?"
"Hish ... jadi istri nggak pengertian sekali, sakit Ning, bantu obatin kek, lihat lukanya, atau apa. Nggak ada perhatian sama sekali," gerutu Seno makin kesal melihat istri kecilnya yang cuek tak berperasaan.
"Owh ... mau minta bantuan toh, bilang dong om, Wening kira bisa sendiri."
"Mana bisa, ini kan punggungku yang sakit, nggak lihat lah!" tukas Seno sengit.
"Oke, baiklah, Wening lihat dulu," ujar gadis itu kembali mendekat. Sedikit grogi saat hendak menyingkap kausnya.
"Oh ... iya, lecet sama memar, ini sakit?" tanya Wening sedikit menekan punggung yang memerah agak kebiruan.
Seno menjerit lebay, sebenarnya tidak begitu sakit juga. Ia hanya kaget pas yang memar ditekan. Sungguh istri durjana.
"Aduh, aduh ... sakit ya? Maaf Om, mastiin, itu agak biru-biru," ujar Wening ikut nyengir membayangkan ngilunya.
"Ish ... sengaja ya, sini aku jewer!" ucap Seno gemas. Menggeser tubuhnya hingga saling berhadapan, membuatnya gagal fokus sejenak.
"Kenapa Om? Wening ambil obat dulu, ada kan?" ucapnya mendadak salah tingkah. Seno melepaskan tangannya yang masih merangkum lengan gadis itu.
"Cari saja di kotak obat, ada salep sepertinya. Wahyu seharusnya menyediakan tanpa terkecuali," kata pria itu sambil menatap arah lain. Mendadak aneh setiap kali berhadapan dengan istrinya.
Seno sampai mengetuk kepalanya agar berpikir normal dari bayang-bayang iya iya setelah gadis itu keluar dari kamar.
"Oh otak, ayolah waras, jangan mesum belum saatnya!" gumam Seno merutuki dirinya sendiri.
Wening berjalan mencari di mana kotak obat rimbanya. Sepertinya besok harus tour room untuk mengetahui di mana saja letak barang yang dibutuhkan.
Ia segera mencari obat memar dan lecet sesuai perintah si arogan setelah menemukan kotak P3K di rumahnya. Kembali ke kamar dengan langkah pasti.
"Lama banget sih, Ning! Ngapain aja?" ujar Seno mrengut.
"Tidur, cari dulu Mas Seno yang penyabar, baru nemu," tekan Wening gemas. Ikut menyorot gemas.
"Buka kausnya, pegangin ya?"
"Ribet, ah!" Seno spontan langsung membuka kausnya di depan istrinya. Hingga membuat gadis itu makin salah tingkah saja.