Sketsa Baby Bee
Aku menatap laki-laki di depanku dengan kepala miring.
Dia sedang bermain bola basket di halaman rumahku, bermain sendiri memantulkan bola dan berusaha memasukkan bola basket kedalam ring yang tinggi.
Aku mendengus dan mengambil bola yang gagal dia masukkan kedalam ring yang khusus orang dewasa, lalu berjalan mendekatinya.
"Umur berapa?" Tanyaku.
Anak laki-laki itu menoleh padaku, "Tujuh tahun" jawabnya, "sebentar lagi delapan tahun. Kamu anak Om Abra yang kembar itu ya?, aku tadi ketemu kembaran kamu. Aku juga kembar, kayak kalian."
Bugh ...
Aku memanyul-mantulkan bola basket di tanganku sembari berjalan kearah ring basket khusus ana-anak, tidak begitu perduli dengan apa yang dia bicarakan.
"Ring anak seumuran kita di sana" ucapku sembari melempar bola basket di tanganku kearah ring, "ring yang tadi kamu coba masukin bola basket, itu untuk anak berusia dua belas tahun keatas."
"Wah ... Kamu perempuan bisa main basket?."
Dia berseru sembari berlari mendekat padaku, begitu dekat hingga aku melangkah mundur kebelakang membuat jarak di antara kita.
Aku hanya menganggukkan kepala.
"Umur berapa?."
"Empat, sebentar lagi lima."
"Masih kecil tapi udah pinter basket."
"Kam ..."
Puk ... Puk ... Puk ...
Tenggorokanku tercekat saat akan mengomelinya karna mengataiku kecil.
Dia menepukan tangannya di puncak kepalaku lalu mengelus puncak kepalaku. Elusan lembut itu membuatku tergagap, bahkan tatapan mata berbinarnya berhasil membuatku benar-benar bungkam.
Aku suka matanya yang berbinar dan senyumnya itu. Aku juga suka dia menepuk-nepuk puncak kepalaku yang membuatku tenang, seperti Ayah.
"Kamu juga masih kecil" cicitku.
"Tapi aku tiga tahun lebih tua darimu, aku sudah SD, kamu kan baru TK."
Tak ...
Kutepis tangannya kasar, terlihat jelas jika dia terkejut melihatnya.
"Memangnya, kecil tidaknya harus dilihat dari sekolah apa dulu?."
Mata dia melirik kekanan dan kekiri lalu tersenyum lebar padaku, "iya, selain umur, sekolah juga."
Aku mendengus dan melipat tanganku di depan dada, menatapnya dengan sengit.
Dia masih dengan senyum lebarnya berdiri di depanku, semakin membuatku kesal dan jengkel saja, tapi aku suka senyumnya.
"Aku sudah besar!" Tegasku.
"Masih kecil, kan masih TK. Adikku juga masih kecil, Sai masih TK."
"Jadi kalo aku sama kayak kamu, aku udah besar gitu?."
"Hah?."
"Kalo aku sekolah, kelasku sama kayak kamu kita pacaran ya."
"Loh kok pacaran?."
Aku tersenyum lebar, "kan kalau sama kayak kamu berarti udah besar. Kamu janji ya, kalo kita sama, kita pacaran."
"Sama gimana?" Tanyanya tak mengerti.
"Ya sama ... Kalau kelas aku bisa samain kamu, kita pacaran."
"Gak bisa, aku sudah SD kelas dua, sebentar lagi kelas tiga. Kamu masih TK, kita masih anak-anak gak boleh pacaran."
"Boleh!" Tegasku.
"Kita gak boleh pacaran masih anak-anak."
"Tapi udah anak besar gak kecil lagi, pokoknya kalau kelas kita sama, kamu jadi pacar aku ..." aku mulai merengek menghentak-hentakkan kakiku.
"Jangan nangis."
Anak laki-laki itu kembali mengelus rambutku menenangkanku dengan wajah paniknya, ternyata wajah paniknya lucu juga.
Perlahan aku mulai terisak, melihat wajah paniknya yang tampan itu, menjadi kebahagiaan tersendiri padaku.
Jangan katakan aku anak kecil cengeng yang gampang nangis karna perdebatan kecil kami, aku hanya menyukai wajah paniknya yang tampan itu.
"Sagara adiknya kenapa?."
Sagara ...
Nama dia Sagara.
Dia, Sagara ... Berhenti mengelus puncak kelapaku lalu merangkulku, perlahan aku tersenyum karna senang mendapat perlakuan begitu darinya.
Mungkin karna dia melihat senyumku, sehingga dia ikut tersenyum dan menatap pada Bunda dan seorang wanita seumuran Bunda yang berjalan kearah kita.
^-^
Apa yang kamu lakukan saat pertama kali pengumuman kelulusan?, mengabarkannya pada orang tua lalu merayakannya bersama teman-teman tentu saja.
Tetapi lain halnya dengan ku, setelah pengumunan kelulusan aku berlari kencang kearah mobil yang menjemputku dan kembaranku. Aku meminta supir untuk segera mengantarkanku kesuatu tempat lebih dulu, nanti kita baru menjemput kembaranku kembali kesekolah kami.
Aku tidak sabar ingin memberi tau Dia ... Memberi tahu dia bahwa aku akan segera menyamainya.
Kita sebentar lagi akan duduk di tingkat sekolah yang sama, aku berhasil membuat kelas kita sama.
Aku ingin mengatakan kalimat itu padanya, ah ... Aku merindukannya. Ini sudah tujuh tahun dari pertemuan pertama kita dan ... empat bulan setelah pertemuan pertama kita itu, kita tidak lagi bertemu untuk mengobrol atau sekedar mengatakan hai.
Senyumku semakin lembar kala melihat dia berjalan dengan senyum lebarnya. Jantungku berdetak kencang, ah ... Aku gugup, aku harus mengatakan apa dulu padanya?, tidak mungkin aku mengatakan kita sebentar lagi akan duduk di tingkat sekolah yang sama, aku berhasil membuat kelas kita sama, masih ingat janji kita gak?. Sangat tidak mungkin aku langsung berbicara pada intinya.
Bagaimana jika dia tidak mengingatnya, dan... bagaimana ... jika dia tidak lagi mengingatku.
Perasaan ragu menyusup begitu saja, dan keinginanku untuk menemuinya bukan lagi sebuah keraguan kala melihat dia merangkul gadis dan tertawa bersama.
Senyum di bibirku menghilang, bukan ... bukan karna cemburu melihatnya dengan gadis lain. Aku tahu itu adalah kembarannya, namun ... ada sesuatu yang membuatku memilih untuk mengurungkan niatku membuka pintu mobil.
"Non ..."
"Kita kembali kesekolah Pak" potongku.
Aku duduk bersandar pada sandaran kursi, menatap pada dia yang masih tertawa bahagia dengan kembarannya.
Semua memori masa lalu, tepatnya empat bulan setelah pertemuan pertama kita berkelebat dalam benakku, memuatku memejamkan mata mencoba untuk pasrah.
"Sudah bilang?" Itu suara saudara kembarku.
Karna sepanjang perjalanan aku hanya ngelamun saja, aku sampai tidak sadar jika kita sudah sampai di sekolah untuk menjemput kembaranku.
Ku gelengkan kepala pelan, "aku gak berani bilang twin."
"Kenapa bisa?, kamu seharusnya kan bangga denga prestasi kita" ucapnya, "Kamu sebenarnya gak berani bilang atau masih merasa bersalah?."
Aku terdiam sejenak menimbang-nimbang dan berfikir lebih condong kemana sebenarnya perasaanku tadi.
"Ini bukan salah kamu, bukan salah kita juga."
Aku tersenyum lebar dan menoleh kesamping menatap kembaranku yang juga menatapku.
"Mungkin kita tidak ditakdirkan bersama" ucaku sembari terus mempertahankan senyum lebarku. "Mungkin aku hanya ditakdirkan sebagai stalker dia selamanya."
Kembaranku menghela nafas dan mengambil sesuatu dari dalam tasnya, "jangan nunjukin senyum fake kamu di depanku, Twin. Itu membuatku kesal."
Aku terkekeh kecil mendengar gerutuannya.
"Seperti biasa bukan, jika sudah melihatnya kamu akan membuat sketsa wajah dia sebelum benar-benar melukisnya di buku gambarmu khusus dia."
Aku terkekeh kecil, mengambil buku dan pensil yang kembaranku julurkan padaku dan mulai membuat sketsa dia.
Dia ...
Dia yang aku cintai dalam diam.
Terima kasih sudah membuatku berkembang sejauh ini, meski kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan untuk membuatku menjadi seperti sekarang.
^-^
.
Hai ...
Ini buku ke 7 author 😇
Bisa di baca terpisah dari buku-buku sebelumnya ya ... Meski semua karakter author ambil dari cerita pertama 🤭
Mohon dukungannya ⭐️🔖💬👍
Setiap selesai baca, tolong tinggalkan jejak demi memberi semangat dan mendukung karya author 🤩 terima kasih sudah mampir 🥰
Lop you😘
Unik_Muaaa💋
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Efi Nurwardani
tidak sabar menanti mu thor
2025-02-10
0