Ini kisah Riana , gadis muda yang memiliki kekasih bernama Nathan . Dan mereka sudah menjalin hubungan cukup lama , dan ingin melangkah ke jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan .
Namun kejadian tak terduga pun terjadi , Riana memelihat Nathan sedang bermesraan dengan teman masa kecilnya sendiri. Riana yang marah pun memutuskan untuk pergi ke salah satu klub yang ada di kotanya .Naasnya ada salah satu pengunjung yang tertarik hanya dengan melihat Riana dan memberikannya obat perangsang dalam minumannya .
Dan Riana yang tidak tahu apa-apa pun meminum minuman itu dan membuatnya hilang kendali atas tubuhnya. Dan saat laki - laki tadi yang memasukan obat akan beraksi , tiba-tiba ada seorang pria dewasa yang menolongnya. Namun sayangnya obat yang di kasi memiliki dosis yang tinggi sehingga harus membuat Riana dan laki - laki yang menolongnya itu terkena imbasnya .
Dan saat sudah sadar , betapa terkejutnya Riana saat tahu kalau laki-laki yang menidurinya adalah calon ayah mertuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rodiah Karpiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebelas
Hari itu terasa begitu panjang bagi Rania. Setelah percakapan dengan Siska di kantin, pikirannya terus berputar tanpa henti, dihantui oleh segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Ia bahkan tidak bisa menikmati makanannya , hanya menatap piring di depannya dengan kosong.
Begitu ia kembali ke rumah , Rania langsung masuk ke kamar tanpa mengatakan apa pun kepada orang tuanya. Ia tahu mereka memperhatikannya dengan cemas—terutama ibunya—tapi ia tidak memiliki kekuatan untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi. Bagaimana ia bisa mengatakannya? Bagaimana ia bisa mengakui bahwa ia mungkin telah hamil dengan pria yang seharusnya tidak ada dalam hidupnya?
Begitu pintu kamar tertutup, ia menjatuhkan dirinya ke atas kasur. Tangannya menggenggam ponselnya erat, tapi ia tidak tahu harus menghubungi siapa. Ia ingin berbicara dengan Nathan, ingin berteriak kepadanya, ingin menyalahkan pria itu. Karena mau bagaimanapun Nathan ada di balik kejadian ini terjadi , andai saja dia tidak selingkuh , pasti mereka masih bahagia . Tapi di sisi lain, ia juga sadar kalau saja saat itu ia tidak nekat ke klub , pasti semua ini tidak akan pernah terjadi.
Nathan bukan lagi pria yang ia kenal dulu , sejak kehadiran Claudia kembali dalam hidupnya, Nathan semakin jauh, semakin tak terjangkau. Rania telah berusaha mempertahankan hubungan mereka, tapi seberapa keras pun ia mencoba, Nathan selalu memiliki alasan untuk menjauh. Bahkan sebelum insiden dengan Bagaskara, hubungan mereka sudah mulai hancur.
Dan sekarang… jika benar ia hamil… Rania benar-benar hancur
Rania memejamkan matanya erat-erat, menolak membiarkan air mata jatuh. Tapi rasa takut itu terlalu besar, menghimpitnya dari segala arah. Ketukan pelan di pintu kamarnya membuatnya tersentak kaget.
"Ran?" Suara ibunya terdengar lembut.
Rania menggigit bibirnya, mencoba menenangkan dirinya sebelum menjawab. "Iya, Bu?" ucap Rania dengan santai seperti biasa , ia tidak ingin ibunya khawatir dengan kondisinya saat ini.
"Kamu nggak apa-apa?" Tanya Bu Ani pada anak perempuannya itu.
Rania ingin sekali mengatakan bahwa ia baik-baik saja, tapi kebohongan itu terasa terlalu berat untuk diucapkan.
"Capek aja, Bu," jawabnya akhirnya dengan jujur , hari ini merupakan hari terberat yang dialaminya.
Hening sejenak sebelum ibunya kembali bersuara. "Kalau ada yang mau kamu ceritakan, Ibu di sini, ya." Ucap Bu Ani lagi , ia tahu kalau anaknya itu ada masalah. Namun, ia tidak ingin mencampuri urusan anaknya , kalau bukan Rania bercerita sendiri dengannya.
Rania menatap langit-langit kamarnya, hatinya terasa semakin sesak. Ia ingin berlari ke pelukan ibunya, ingin menangis dan mengatakan semuanya. Tapi ia tahu, jika ia melakukannya, tidak akan ada jalan untuk kembali.
"Terima kasih, Bu," ucap Rania dengan lirih , ia benar-benar merasa bersalah karena berbohong pada ibunya itu . Rania mendengar langkah ibunya menjauh, meninggalkannya dalam keheningan yang lebih menyesakkan.
Rania menarik napas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. Ia harus kuat. Ia tidak bisa membiarkan ketakutannya menguasainya. Besok, ia akan pergi dengan Siska untuk melakukan pemeriksaan. Ia harus tahu yang sebenarnya sebelum ia bisa memutuskan apa yang harus ia lakukan.
Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa tidak ada hasil yang akan membuatnya merasa lebih baik.
Jika ia hamil, maka kehidupannya akan berubah selamanya. Dan jika ia tidak hamil?Apakah itu berarti semua ini akan berakhir begitu saja? Apakah itu berarti ia bisa melanjutkan hidupnya seperti tidak terjadi apa-apa?
Tidak.Karena apa pun hasilnya, satu hal sudah pasti. Bagaskara kini sudah terlanjur mencengkram hidupnya dengan erat , dan pria itu sudah pasti tidak akan membiarkannya pergi begitu saja.
***
Keesokan paginya, Rania merasa seperti zombie saat melangkah keluar dari rumahnya. Matahari baru saja muncul, tapi dadanya sudah terasa berat dengan kecemasan yang menggunung. Ia tidak bisa tidur semalaman, hanya bisa memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi setelah ini.
Begitu langkahnya sampai di dapur , ia melihat ibunya sedang memasak sarapan. Bu Ani yang sedang memindahkan masakannya ke wadah pun menyadari kedatangan putrinya itu.
" Mau sarapan , Rania ? " Tanya Bu Ani sambil menatap Rania. Dan Rania yang mendengar pertanyaan ibunya itu pun menggelengkan kepalanya .
" Aku makan di luar aja, Bu. Aku ada janji sama Siska ! " Ucap Rania sambil membuka kulkas dan menuang air untuk ia minum.Bu Ani yang mendengar perkataan dari anaknya itu pun menganggukan kepalanya .
Bu Ani memperhatikan putrinya dengan saksama. Rania terlihat lebih pucat dari biasanya, dan ada bayangan kelelahan di bawah matanya. Namun, ia tidak bertanya lebih lanjut. Dalam hati, ia mulai menduga-duga. Mungkinkah Rania bertengkar dengan Nathan? Atau lebih buruk lagi—mungkinkah mereka sudah putus? sehingga membuat anaknya itu terguncang hebat.
Pikiran itu membuat hati Bu Ani sedikit cemas. Selama ini, ia tahu bahwa hubungan Rania dan Nathan memang tidak selalu mulus. Namun, ia tidak menyangka jika masalah mereka sampai berdampak sebesar ini pada putrinya. Ia pikir putrinya itu tahu resiko menjalin hubungan dengan orang kaya .
"Jangan lupa makan, ya, Ran. Apa pun yang terjadi, jangan sampai kamu melewatkan sarapan," ujar Bu Ani lembut, berusaha menutupi kegelisahannya dengan berpesan seperti itu.
Rania yang mendengar perkataan ibunya itu pun mengangguk kecil, ia melanjutkan meneguk air putihnya dengan cepat sebelum meletakkan gelasnya di atas meja. "Iya, Bu. Aku pergi dulu, ya." ucapnya sambil menyalimi tangan ibunya itu dan setelah itu berjalan keluar rumah
Bu Ani hanya bisa menghela napas pelan saat melihat punggung putrinya menghilang di balik pintu. Jika memang Rania sudah putus dengan Nathan, ia ingin putrinya tahu bahwa tidak apa-apa. Tidak ada pria yang sepadan dengan air mata dan kesedihan yang jelas-jelas kini menggelayuti wajahnya.
Begitu Rania sampai di depan rumah , ia melihat Siska yang sudah menunggunya di luar, berdiri bersandar di motornya dengan ekspresi serius.
"Siap?" tanya Siska pelan , memastikan sahabatnya itu siap menerima apa yang terjadi nanti.
Rania tidak menjawab, hanya mengangguk kecil sebelum naik ke atas motor. Siska pun segera menyalakan mesin dan melaju ke klinik kecil di pinggir kota.Selama perjalanan, tidak ada yang berbicara.
Rania hanya menatap jalanan yang masih sepi, pikirannya melayang ke mana-mana. Ia bahkan tidak sadar ketika motor berhenti di depan klinik.
"Ran," panggil Siska, membuyarkan lamunannya.
Rania menoleh, melihat sahabatnya yang menatapnya dengan penuh pengertian.
"Lo nggak sendirian," ujar Siska lagi sambil menatap kearah sahabatnya itu.
Kata-kata itu, sesederhana apa pun, membuat air mata menggenang di mata Rania. Ia mengangguk pelan, lalu turun dari motor dengan kaki gemetar.
Begitu memasuki klinik, suasana hening dan steril langsung menyambut mereka. Seorang perawat menyapa mereka dengan senyum profesional sebelum menyodorkan formulir.
"Silakan isi datanya, ya," ucapnya ramah sambil memberikan pulpen agar Rania semakin gampang mengisi formulir.
Rania mengambil pulpen dengan tangan gemetar. Setiap kali ia menuliskan informasi tentang dirinya, ia merasa semakin dekat dengan kenyataan yang selama ini berusaha ia hindari.
Nama: Rania Anindita.
Usia: 21 tahun.
Alasan pemeriksaan: …
Tangannya berhenti di kolom terakhir, jantungnya berdebar kencang. Mau tidak mau ia harus mengisi lembar yang kosong itu .
Kehamilan.
Akhirnya, dengan napas gemetar, ia menuliskan kata itu. Setelah selesai mengisi semuanya ia pun menyerahkan formulir, ia dan Siska duduk di ruang tunggu. Waktu terasa berjalan lambat, seakan dunia sedang bermain-main dengannya.
Hingga akhirnya, namanya dipanggil untuk masuk kedalam ruang pemeriksaan.
.
.
Bersambung...
Dimohon untuk tidak menjadi silent reader ya , aku menunggu keritik dan saran dari kalian 🤭🤗😍