Axeline tumbuh dengan perasaan yang tidak terelakkan pada kakak sepupunya sendiri, Keynan. Namun, kebersamaan mereka terputus saat Keynan pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikannya.
Lima tahun berlalu, tapi tidak membuat perasaan Axeline berubah. Tapi, saat Keynan kembali, ia bukan lagi sosok yang sama. Sikapnya dingin, seolah memberi jarak di antara mereka.
Namun, semua berubah saat sebuah insiden membuat mereka terjebak dalam hubungan yang tidak seharusnya terjadi.
Sikap Keynan membuat Axeline memilih untuk menjauh, dan menjaga jarak dengan Keynan. Terlebih saat tahu, Keynan mempunyai kekasih. Dia ingin melupakan segalanya, tanpa mencari tahu kebenarannya, tanpa menyadari fakta yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutzaquarius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Suasana di ruang tamu terasa sedikit canggung. Axeline duduk terdiam, namun matanya diam-diam melirik ke arah Keynan, yang kini duduk bersebelahan dengan seorang wanita asing. Ia tidak tahu siapa wanita itu, tetapi dari kedekatan mereka, Axeline bisa menebak bahwa hubungan mereka lebih dari sekadar teman.
"Jadi, kau ..." Nayya membuka suara, namun ia sengaja menggantung kalimat nya.
Wanita itu tersenyum ramah sebelum memperkenalkan diri. "Namaku Agnes, Aunty. Aku mengenal Keynan saat di luar negeri," ucapnya santai, namun caranya menggenggam tangan Keynan tidak luput dari perhatian Axeline dan juga Nayya.
"Oh, begitu. Kalian ..." Nayya melirik tangan mereka yang masih bertaut dengan mata yang menyipit curiga. Keynan tidak menunjukkan tanda-tanda menolak genggaman itu, dan hal itu cukup bagi Nayya untuk berspekulasi jika mereka mempunyai hubungan spesial.
Menyadari ke mana arah pemikiran ibunya, Keynan buru-buru menarik tangannya dan menyela. "Mommy, jangan salah paham. Kami hanya teman," ucapnya cepat, seolah ingin menegaskan sebelum siapa pun sempat membuat kesimpulan.
"Oh!" Nayya mengangguk pelan, meskipun ekspresinya menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya percaya. Namun, perhatiannya tiba-tiba beralih ke bibir Keynan yang tampak sedikit bengkak dan terluka.
"Keynan, ada apa dengan bibirmu?" tanyanya dengan kening yang berkerut heran.
"Oh, ini ..." Keynan menoleh sekilas ke arah Axeline yang kini menundukkan kepala, seakan-akan enggan bertemu tatap dengannya. Senyuman samar terbit di wajah Keynan sebelum ia menjawab, "Ada serangga kecil yang berani menggigitku tadi siang."
Nada suaranya terdengar ringan, tetapi tatapannya yang masih tertuju pada Axeline tidak luput dari pengamatan Nayya. Ada sesuatu di balik ucapannya, sesuatu yang membuat Nayya semakin penasaran.
Axeline memejamkan matanya sejenak dan menghela napas pelan sebelum akhirnya berkata, "Em, kalau begitu, aku pulang dulu, Aunty." Ia bersiap untuk bangkit dari duduknya, namun seperti sebelumnya, Keynan dengan cepat mencegahnya.
"Aku akan mengantarmu," ucap Keynan.
Axeline dengan halus menyingkirkan tangan Keynan dari lengannya. Senyum tipis terukir di wajahnya, tetapi ada ketegasan dalam sorot matanya. "Tidak perlu repot-repot, Kak. Aku bisa pulang sendiri," ucapnya dengan nada datar. Lalu, setelah sekilas melirik Agnes, ia menambahkan dengan nada sedikit menyindir, "Lagipula, ada Kak Agnes di sini. Tidak baik jika kau meninggalkannya."
Ucapan Axeline seakan menjadi tamparan halus bagi Keynan, yang hanya bisa terdiam sesaat. Sejak awal, Axeline memang enggan datang ke rumahnya, terlebih setelah mengetahui alasan sebenarnya jika Agnes ingin bertemu orang tua Keynan.
Seolah tidak ada hari lain, Agnes terus mendesak agar pertemuan ini terjadi secepatnya. Dan hal itu jelas membuat Axeline merasa tidak nyaman sejak awal.
Melihat suasana yang mulai sedikit tegang, Nayya tiba-tiba angkat bicara. "Bagaimana jika kau menginap saja, sayang? Aunty akan menghubungi ibumu untuk meminta izin."
Axeline tersenyum kecil, tetapi dengan cepat menggeleng pelan. "Tidak, Aunty. Lain kali saja." Ia tidak ingin berlama-lama berada di tempat itu. Perasaan aneh yang menyelimuti hatinya sejak awal semakin kuat, dan satu-satunya hal yang ingin ia lakukan sekarang adalah pergi dari sana.
Tanpa memberi kesempatan bagi siapa pun untuk menahannya lagi, Axeline berdiri, lalu melangkah ke arah Nayya dan memeluknya sesaat. "Terima kasih, Aunty," bisiknya lembut sebelum akhirnya berbalik dan berjalan keluar.
Keynan hanya bisa menatap kepergiannya, sementara Agnes tersenyum tipis, seolah puas dengan situasi yang terjadi.
Axeline menarik nafas dalam-dalam. Dia menunggu taksi yang sudah ia pesan dengan perasaan yang tidak menentu.
Dan, tidak berapa lama, taksi berhenti di depannya. Dia masuk dan duduk diam di dalam taksi yang mulai melaju di tengah hiruk-pikuk kota. Tangannya terlipat di pangkuannya, sementara matanya terus menatap keluar jendela, melihat lampu-lampu jalan yang berpendar dalam kegelapan malam.
Namun, yang benar-benar memenuhi pikirannya bukanlah pemandangan di luar sana, melainkan bayangan Agnes yang terus memeluk Keynan dengan begitu mesra.
Genggaman tangan mereka, tatapan yang penuh cinta, serta cara Agnes bersandar manja pada Keynan, semuanya terus berputar ulang di benaknya, seakan menggoreskan luka di hatinya. Dadanya terasa sesak, begitu sakit hingga tanpa sadar air matanya jatuh menetes.
Axeline buru-buru menghapusnya dengan punggung tangan, lalu menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
"Lupakan, Axeline. Ingat! Kau tidak akan bisa bersama dengannya. Kubur dalam-dalam perasaanmu itu," batinnya keras, berusaha menekan perasaan yang semakin menyiksanya.
Tidak lama kemudian, taksi berhenti tepat di depan pagar rumahnya. Axeline kembali menarik napas dalam-dalam, memasang senyum tipis di wajahnya seolah tidak terjadi apa-apa.
Setelah membayar ongkos, ia turun dan melangkah masuk ke rumah.
"Aku pulang," serunya, berusaha membuat suaranya terdengar ringan.
Tidak lama, suara lembut Keyra menyambutnya. "Kau sudah pulang, sayang?" Keyra mendekat dengan ponsel yang masih di tangan.
Axeline mengangguk kecil. "Iya, Mom."
Keyra mengangguk sambil mengakhiri panggilannya. "Iya, dia sudah sampai rumah," ucapnya sebelum akhirnya mematikan telepon dan menatap putrinya. "Kau sudah makan, sayang? Mau Mommy hangatkan makanan untukmu?"
Axeline menggeleng pelan. "Aku tidak lapar, Mom."
Keyra menghela napas, lalu tersenyum lembut. Namun, sebelum sempat berkata apa-apa, Axeline bertanya, "Siapa yang menelpon, Mom?"
"Oh, Aunty Nayya. Dia tadi bertanya apakah kau sudah sampai rumah atau belum," jawab Keyra santai. "Dia juga cerita kalau Keynan datang memperkenalkan kekasihnya."
Axeline terdiam. Napasnya sedikit tercekat.
Keyra, yang tidak menyadari perubahan ekspresi Axeline, melanjutkan, "Tadi, kau juga dari sana, kan? Berarti kau bertemu dengan kekasih Keynan juga, bukan? Seperti apa dia? Apa dia cantik?"
Axeline hanya bisa diam. Pertanyaan itu seperti menancap tepat di dadanya, menciptakan perih yang sulit dijelaskan. Senyumnya yang tadi dipaksakan terasa semakin sulit dipertahankan.
Axeline hanya tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan perasaannya yang masih kacau. "Iya, Mom. Aku bertemu dengannya," jawabnya pelan.
Keyra tampak antusias. "Lalu, seperti apa dia? Apa dia cantik?"
Axeline terdiam sejenak. Bayangan Agnes yang terus menempel pada Keynan kembali berputar di kepalanya, membuat hatinya kembali terasa sesak. Namun, ia menelan semua emosinya dan mencoba berbicara dengan nada biasa.
"Iya, dia cantik," ucapnya singkat.
Keyra tersenyum, tampak senang mendengar kabar itu. "Baguslah kalau begitu. Mommy harap Keynan serius dengan pilihannya," ucapnya sambil berjalan menuju dapur. "Kau yakin tidak mau makan? Aku bisa menghangatkan sesuatu untukmu."
Axeline menggeleng pelan. "Aku sudah makan, Mom. Aku mau istirahat dulu."
Tanpa menunggu jawaban, Axeline langsung melangkah menuju kamarnya. Begitu pintu tertutup, ia bersandar pada dinding dan menghela napas panjang.
"Lupakan, Axeline," batinnya, mengulang kata-kata yang terus ia bisikkan pada dirinya sendiri.
Namun, semakin ia berusaha melupakan, semakin bayangan Keynan dan Agnes memenuhi pikirannya.
"Kau harus bisa, Axeline. Harus!"