NovelToon NovelToon
Dokter Bar-Bar Kesayangan Mafia Tampan

Dokter Bar-Bar Kesayangan Mafia Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Crazy Rich/Konglomerat / Dokter Genius / Beda Usia / Roman-Angst Mafia
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: Seraphine E

Dibesarkan oleh kakeknya yang seorang dokter, Luna tumbuh dengan mimpi besar: menjadi dokter bedah jantung. Namun, hidupnya berubah pada malam hujan deras ketika seorang pria misterius muncul di ambang pintu klinik mereka, terluka parah. Meski pria itu menghilang tanpa jejak, kehadirannya meninggalkan bekas mendalam bagi Luna.

Kehilangan kakeknya karena serangan jantung, membuat Luna memilih untuk tinggal bersama pamannya daripada tinggal bersama ayah kandungnya sendiri yang dingin dan penuh intrik. Dianggap beban oleh ayah dan ibu tirinya, tak ada yang tahu bahwa Luna adalah seorang jenius yang telah mempelajari ilmu medis sejak kecil.

Saat Luna membuktikan dirinya dengan masuk ke universitas kedokteran terbaik, pria misterius itu kembali. Kehadirannya membawa rahasia gelap yang dapat menghancurkan atau menyelamatkan Luna. Dalam dunia penuh pengkhianatan dan mimpi, Luna harus memilih: bertahan dengan kekuatannya sendiri, atau percaya pada pria yang tak pernah ia lupakan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21 : Lindungi dia

Di luar auditorium, suasana sore itu terasa cukup lengang, hanya dihiasi suara langkah murid-murid yang masih sibuk membicarakan kejadian di dalam aula. Clara dan Jackie berdiri di bawah pohon besar, seperti dua sosok yang tengah menunggu eksekusi. Keduanya tampak tidak sabar menunggu Luna keluar.

Ketika Luna akhirnya muncul, dia berjalan dengan langkah santai bersama Freya. Namun, begitu melihat Clara dan Jackie berdiri seperti dua penjaga pintu surga—atau neraka—Luna langsung menghela napas panjang. "Freya, pergilah. Aku harus menghadapi dua badut ini," katanya santai.

Freya memandang Clara dan Jackie sebentar, sebelum mengangkat bahu dan pergi tanpa banyak bicara. "Kalau ada apa-apa, panggil aku," bisiknya pada Luna sebelum menghilang di balik pintu.

Luna mendekati Clara dan Jackie dengan ekspresi bosan, seolah-olah waktu mereka hanyalah gangguan kecil dalam jadwal harian yang sudah padat. "Ada apa?" tanyanya tanpa basa-basi.

Clara tersenyum lemah, wajahnya menampilkan kepalsuan yang begitu halus namun jelas terlihat oleh Luna. "Kak, aku hanya ingin bicara denganmu sebagai saudara. Bukankah akan menyenangkan kalau kita akur satu sama lain?" katanya dengan nada sok manis.

Luna mengangkat alis, menatap Clara dari atas sampai bawah seperti sedang menilai apakah Clara benar-benar waras atau hanya sekadar mencoba skenario drama murahan. "Kau dan aku? Akur? Jangan bermimpi, Clara. Mengingat aku berbagi darah denganmu saja sudah cukup membuatku muak," jawab Luna tanpa ekspresi.

Ucapan itu langsung menusuk Clara, tapi dia tetap mempertahankan wajah sok polosnya. Dengan gaya yang lebih dramatis, Clara mencoba mencari simpati. "Kak, aku tahu kau tidak suka denganku. Tapi aku hanya ingin kita seperti saudara pada umumnya," katanya dengan nada penuh kepalsuan.

Luna terkekeh pelan, lalu mendekat ke arah Clara hingga jarak di antara mereka hanya beberapa langkah. "Hah... Saudara pada umumnya?" Luna menatap Clara tajam. "Saudara pada umumnya tidak akan mendorong saudaranya ke dalam kolam untuk mati tenggelam, kan?"

Kalimat itu seperti petir di siang bolong. Clara membeku, wajahnya yang tadi berpura-pura ramah berubah pucat seketika. Jackie, yang sedari tadi hanya mengamati, terkejut mendengar pengakuan itu.

"A-apa yang kau katakan? Aku tidak mengerti," Clara tergagap, berusaha menyangkal, meskipun sorot matanya jelas mengingat kejadian yang Luna maksud.

Jackie, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya tidak tahan lagi. "Luna, kau benar-benar gadis liar! Clara sudah berbaik hati padamu, tapi kau malah bersikap seperti ini. Kau tidak merasa bersalah?" Jackie menatap Luna dengan mata penuh kekecewaan.

Luna memutar bola matanya, tampak benar-benar tidak peduli. "Kenapa aku harus merasa bersalah kalau aku tidak salah?" jawab Luna dengan nada datar, namun cukup menusuk.

Dia berbalik, meninggalkan Clara yang mengepalkan tangannya dengan geram, sementara Jackie sibuk mencoba menenangkan Clara. "Sudahlah, Clara. Jangan terlalu diambil hati. Dia hanya gadis sombong yang tidak tahu bagaimana caranya menghargai perhatianmu," ujar Jackie, meskipun nada suaranya terdengar sedikit memaksa dirinya sendiri untuk percaya.

Sementara itu, Luna melangkah pergi dengan tenang, memasukkan kedua tangannya ke saku seragamnya, seolah apa yang baru saja terjadi hanyalah intermezzo kecil yang sama sekali tidak berpengaruh pada hidupnya.

...****************...

Sementara itu di kediaman Lucius

Di ruang utama manor keluarga Lucius, suasana malam itu terasa sunyi, kecuali untuk suara detak jam yang terdengar jelas di tengah keheningan. Lucius duduk di meja kerjanya, matanya terpaku pada sebuah foto yang dia simpan dengan sangat hati-hati. Foto itu adalah foto Luna, yang entah bagaimana—dan hanya Lucius yang tahu—terjebak dalam koleksi pribadinya. Mungkin bisa disebut sebagai koleksi “rahasia” karena dia lebih sering melirik foto itu dengan ekspresi seperti seseorang yang sedang merenung, meskipun tujuan sebenarnya adalah untuk menyelidiki lebih jauh tentang gadis itu.

Dia mengamati wajah Luna dengan seksama, dan ada sesuatu dalam pandangannya yang membuat atmosfer di ruangan itu sedikit... ganjil. Matanya menyipit, seakan sedang mencoba menelusuri setiap inci dari ekspresi wajah Luna di foto itu, seakan-akan foto tersebut bisa memberinya jawaban atas teka-teki hidupnya. Padahal yang terlihat hanyalah senyuman manis Luna yang cerah, seolah tidak tahu bahwa dia sedang dijadikan bahan pengamatan oleh seorang pria yang agak sedikit... aneh.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan Angela, saudara perempuan Lucius yang terkenal suka mengganggu, muncul di pintu dengan ekspresi penasaran. Dia mengintip dengan penuh rasa ingin tahu—seperti biasa—mengenai apa yang sedang dilakukan Lucius yang selalu tampak serius.

Angela memandang foto yang ada di tangan Lucius dengan alis terangkat, lalu dengan nada bercanda, dia berkata, "Lucius, kau jangan berpikiran untuk menculiknya. Dia masih kecil, belum pantas untuk kau jadikan istri."

Lucius terkejut, matanya yang awalnya serius menatap foto itu langsung melesat ke arah Angela. Untuk sesaat, wajahnya tampak pucat seperti seseorang yang baru saja tertangkap basah. "Is-apa?!" ujarnya dengan suara sedikit lebih keras dari biasanya.

Angela menyeringai lebar. "Aduh, tenang saja, aku hanya bercanda," lanjutnya sambil menyandarkan tubuhnya ke pintu dengan gaya yang sangat santai. "Tapi kalau kau serius, aku bisa membantumu. Aku tahu kau tidak berpengalaman dengan hal seperti ini'"

Lucius memalingkan wajahnya, berusaha menutupi rasa canggung yang tiba-tiba muncul. "Aku tidak sedang berpikir seperti itu," jawabnya dengan cepat, mencoba menenangkan situasi, meskipun tampaknya Angela tidak begitu percaya.

Angela tertawa terbahak-bahak. "Oh, jadi apa yang kau pikirkan sampai melihat fotonya seperti seorang yang sedang jatuh cinta? Aku penasaran, apa yang akan daddy katakan kalau tahu soal ini" Angela melirik wajah serius Lucius yang selalu dipenuhi dengan ekspresi misterius dan, yah, kadang-kadang sedikit terkesan mengintimidasi.

Lucius meliriknya dengan ekspresi yang campur aduk, antara jengkel dan malu. "Jangan bercanda dengan hal-hal seperti itu," katanya, berusaha menjaga kewibawaannya.

Angela hanya tersenyum nakal, melambai-lambaikan tangannya di udara. "Tenang saja, Lucius. Aku akan menjaga rahasiamu. Tapi jika saatnya sudah tiba, kau harus memperkenalkan dia padaku. Aku ingin tahu, bocah macam apa yang membuat adikku menjadi seperti ini" katanya sambil berjalan pergi, meninggalkan Lucius dengan wajah yang masih merah dan sedikit terkejut.

Lucius menghela napas panjang. "Sial, aku tidak tahu bagaimana bisa selalu terjebak dengan omongannya yang tidak ada habis-habisnya," gumamnya, sambil kembali menatap foto Luna, merasa sedikit canggung tapi tak bisa melepaskan diri dari rasa ingin tahunya.

Sementara Angela, yang sudah ada di luar ruangan, masih tersenyum sendiri. "Lucius, Lucius... Kau pikir kakakmu ini bodoh? Aku rasa ini akan jadi cerita yang seru," ujarnya dalam hati, sebelum akhirnya dia bergegas pergi mencari cara lain untuk mengusik adiknya yang kaku itu.

Dan di dalam ruangan, Lucius hanya bisa mematung, seakan terjebak dalam kebingungannya sendiri—foto Luna di tangannya menjadi satu-satunya petunjuk yang membawanya semakin jauh dalam perasaan yang tidak ia pahami.

Lucius masih duduk di kursi kulit hitam besar di ruang kerjanya, matanya menyala dengan penuh konsentrasi, meskipun suasana ruangan itu sepi dan penuh dengan aroma kopi hitam yang baru diseduh. Tiba-tiba, dia menoleh ke arah Rudolf yang duduk di sudut ruangan, sambil merajut sebuah sweater untuk musim dingin dengan penuh kekhawatiran yang tampak jelas di wajahnya akibat benang rajutnya yang kusut.

"Rudolf," kata Lucius dengan suara berat, seakan-akan ingin menyampaikan berita besar, "Bagaimana kabar Luna?"

Rudolf menurunkan bolpoinnya dan menatap Lucius dengan tatapan penuh pertanyaan. "Luna? Oh, dia... sekarang tinggal dengan pamannya di apartemen X. Dan, ya, dia sekarang sekolah di Imperial Highschool," jawab Rudolf dengan nada yang hampir terdengar seperti seorang guru yang sedang mengajarkan pelajaran sejarah. Namun, jika diperhatikan lebih seksama, senyum nakal mulai muncul di bibirnya, seakan sudah mengira apa yang akan terjadi selanjutnya.

Lucius mengangguk pelan, seolah-olah informasi itu sangat penting baginya, tetapi raut wajahnya masih cemas. "Hmm, baiklah. Tempatkan beberapa orang secara rahasia untuk melindunginya," ucapnya tanpa ragu, seolah-olah itu adalah keputusan yang sangat bijak.

Rudolf mengangkat alisnya, wajahnya berubah menjadi penuh tanda tanya, sebelum sebuah senyum lebar merekah di wajahnya. "Hah? Untuk apa boss? Kau tidak berpikir untuk menghalanginya menikmati masa remajanya kan?" kata Rudolf dengan suara yang penuh nada sindiran, mencoba untuk menahan tawa.

Lucius seketika langsung mengangkat tangannya, mencoba mengalihkan perhatian. "Bukan seperti itu! Aku hanya... aku hanya khawatir karena dia bisa saja dalam bahaya!" kata Lucius dengan nada terburu-buru, seolah-olah ingin membuktikan bahwa alasannya sangat serius. "Kau tahu kan kalau kelompok Golden Eagle masih menunggu kesempatan, kan? Mereka bisa saja melakukan apa saja."

Rudolf tertawa pelan, melipat tangannya di depan dada, dan melemparkan pandangan nakal kepada Lucius yang tampak panik. "Oh, jadi ini soal Golden Eagle, ya? Aku kira kau hanya khawatir kalau Luna akan jatuh cinta pada seseorang, jadi kau ingin memastikan dia aman dari... ehm... ‘penyerang’ yang lebih berbahaya, seperti orang-orang di sekitar sekolahnya." Rudolf menekankan kata ‘penyerang’ dengan sengaja, menggoda Lucius lebih dalam.

Lucius menatap Rudolf dengan penuh kebingungannya, berusaha menunjukkan ketegasan, namun ekspresinya malah semakin kaku. "Tidak, itu... itu bukan masalahnya! Aku hanya tidak ingin ada yang mengganggu dia," jawabnya, berusaha menjaga wajah seriusnya yang kini semakin terlihat canggung.

Rudolf menggelengkan kepala, senyumnya semakin lebar. "Tentu saja, Boss, tentu saja. Aku paham dengan maksudmu," kata Rudolf dengan nada yang semakin jenaka. "Luna sekarang harus merasa aman, baik dari Golden Eagle maupun... penggemar yang terlalu antusias. Yah, tapi wajar jika ada satu dua orang bocah yang jatuh cinta dengannya, tidak hanya cantik tapi juga cerdas. Luna adalah gambaran beauty, brain yang sesungguhnya."

Lucius hanya bisa mematung, wajahnya semakin merah karena malu, namun dia tidak bisa mengalihkan perhatian dari kata-kata Rudolf yang terus menggoda. "Sudahlah," katanya dengan cepat, mencoba untuk menegaskan lagi, "Lindungi dia. Itu yang paling penting."

Rudolf mengangguk dengan serius, meskipun senyum lebar masih mengembang di bibirnya. "Tentu, Boss. Perintah diterima. Jangan khawatir, kami akan menjaga Luna dengan penuh perhatian. Kami juga akan memastikan tidak akan ada penggemar yang berani mendekatinya."

Lucius hanya mendengus, melipat tangannya dengan frustasi. "Jangan terlalu banyak bercanda, Rudolf," ucapnya, mencoba untuk tetap terlihat serius, meskipun seluruh suasana di ruangan itu terasa lebih ringan dan penuh tawa dari kebingungannya sendiri.

Dan sementara Rudolf masih tersenyum nakal di sudut ruangan, Lucius hanya bisa merenung, tak tahu harus marah atau malah tertawa bersama.

...****************...

1
dheey
bagussss luna!!!
Ratna Fika Ajah
Luar biasa
Nurwana
mo tanya thor... emang umur Luna dan Lucius berapa???
Seraphine: Perbedaan usia 8 tahun
Jadi waktu Luna masih SMA dia 18 tahun.
dan si Lucius ini ngempet dulu buat deketin Luna sampai si Luna lulus jadi dokter dulu, karena bab2 awal dia masih abege 🤣✌️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!