NovelToon NovelToon
5 Hari Sebelum Aku Koma

5 Hari Sebelum Aku Koma

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Romantis / Spiritual / Balas Dendam / Horror Thriller-Horror / Suami Hantu
Popularitas:17.8k
Nilai: 4.6
Nama Author: Maylani NR

5 hari sebelum aku koma, ada sesuatu yang janggal telah terjadi, aneh nya aku tidak ingat apa pun.
__________________

"Celine, kau baik-baik saja?"

"Dia hilang ingatan!"

"Kasian, dia sangat depresi."

"Dia sering berhalusinasi."
__________________

Aku mendengar mereka berbicara tentang ku, sebenarnya apa yang terjadi? Dan aneh nya setelah aku bangun dari koma ku, banyak kejadian aneh yang membuat ku bergidik ketakutan.

Makhluk tak kasat mata itu muncul di sekitar ku, apa yang ia inginkan dari ku?
Mengapa makhluk itu melindungi ku?
Apakah ini ada hubungan nya dengan pria bermantel coklat yang ada di foto ku?

Aku harus menguak misteri ini!
___________________

Genre : Horror/Misteri, Romance

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maylani NR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Penyelidikan (01)

Kantor kepolisian, pukul 12:00 siang.

Suasana ruangan itu terasa sesak, meski udara dari pendingin ruangan berusaha menghalau panasnya siang. Beberapa petugas sibuk di meja masing-masing, mengetik laporan atau menjawab telepon. Di sudut ruangan, Celine duduk berhadapan dengan seorang polisi berpangkat menengah. Wajahnya tegas, namun sorot matanya menyimpan ketidakpastian.

"Saya datang kemari ingin menanyakan tentang kasus penembakan yang terjadi pada tanggal 14 November 2001, tepatnya dua minggu yang lalu, di lokasi yang sama saat Jack tewas."

Polisi di depannya mengernyitkan dahi, tampak tidak memahami maksudnya. "Apa? Kasus penembakan?"

"Benar," Celine mengangguk. "Kasus itu terjadi pada malam hari, sekitar pukul 21:30. Kronologinya, sepasang suami istri ditembak oleh rombongan gangster di wilayah tersebut."

Polisi itu terdiam. Matanya menatap ke arah meja, seolah sedang menggali ingatan atau mencoba mencari jawaban yang tepat. Hening yang tercipta membuat Celine merasa aneh.

"Pak Polisi, apakah Anda mendengarkan pembicaraan saya?" tanyanya, sedikit ragu.

Polisi itu tersentak dari lamunannya. "Oh, ya. Saya dengar."

Celine menarik napas dalam. "Jika diperbolehkan, saya ingin melihat rekaman CCTV-nya. Saya yakin pihak kepolisian pasti memiliki file rekaman tersebut."

"Ya, kami memang memiliki beberapa file rekaman CCTV," jawab sang polisi. "Tapi kalau boleh tahu, nantinya rekaman itu akan Anda gunakan untuk apa? Kami tidak bisa sembarangan memberikan rekaman seperti itu."

Celine menggigit bibirnya sejenak, lalu menatap lurus ke mata polisi di depannya. "Begini, Pak Polisi... Sebenarnya korban penembakan pada tanggal 14 November itu... adalah saya."

Ruangan terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Sang polisi menatapnya dengan mata membesar, seperti baru saja mendengar sesuatu yang mustahil.

"Apa?!"

Celine mengangkat alisnya. "Kenapa Anda begitu terkejut, Pak Polisi? Bukankah seharusnya Anda tahu tentang kasus ini?"

Polisi itu tampak gelisah, lalu menghela napas pelan. "Maaf, Nona Celine. Pada tanggal tersebut, saya belum bertugas di kantor ini. Saya baru saja dialokasikan dari kota lain untuk menggantikan salah satu rekan kami yang telah keluar."

"Begitu ya…" Celine menunduk sedikit, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu.

"Kalau boleh saya tahu, bisa Anda jelaskan detailnya?" Polisi itu meraih kertas dan bolpoin dari laci meja kerjanya, bersiap mencatat.

Celine menarik napas panjang sebelum berbicara. "Malam itu, saya dan suami saya dalam perjalanan pulang. Jalan alternatif yang biasa kami lewati adalah gang sempit di daerah itu. Kami tidak menyangka, saat memasuki gang, tiba-tiba sepuluh pria muncul dan mengepung kami."

Polisi itu menulis cepat. "Sepuluh pria... Oke, lalu?"

"Mereka memisahkan saya dan suami saya. Tujuh orang memukuli suami saya dengan balok kayu, sementara dua orang lainnya memegangi kedua tangan saya agar saya tidak bisa melawan."

"Dan yang satu lagi?"

"Dia pemimpin mereka." Mata Celine berkaca-kaca. "Dia yang memerintahkan semua itu."

Polisi itu berhenti menulis sejenak. "Lalu apa yang terjadi selanjutnya?"

"Saya berusaha melepaskan diri dan menolong suami saya, tapi pemimpin gangster itu... menembak saya. Tepat di perut."

Polisi itu menggertakkan giginya, tetapi membiarkan Celine melanjutkan.

"Setelah itu, dia juga menembak suami saya. Peluru menembus punggungnya. Saya melihatnya jatuh... berlumuran darah..." Suara Celine bergetar, tangannya mengepal di atas meja. "Saya ingin menolongnya... Tapi setelah itu, saya tidak ingat apa-apa lagi."

Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Polisi itu menatapnya dengan ekspresi tak terbaca, lalu akhirnya berkata, "Saya sudah mencatat semua kronologinya. Saya akan mencocokkannya dengan arsip dokumen yang ada di sini. Mohon Nona Celine untuk menunggu sebentar!"

Celine mengangguk. "Baik, Pak Polisi."

Polisi itu bangkit dari kursinya, lalu berjalan menuju ruangan arsip dengan langkah tergesa.

Drrrrk!

Suara kursi yang bergeser bergema di ruangan itu. Beberapa petugas yang duduk di seberang meja melirik ke arah mereka.

Tap! Tap! Tap!

Langkah sepatu sang polisi menggema di sepanjang koridor.

Sementara itu, Celine tetap duduk di kursinya, menggenggam tangannya erat-erat di pangkuan. Ingatan malam itu kembali berputar di kepalanya seperti rekaman yang rusak. Suaminya, darah, suara tembakan—semuanya terasa begitu nyata.

.......

.......

.......

Tap! Tap! Tap!

Suara langkah sang polisi menggema saat ia kembali duduk di kursinya. Ia menatap Celine dengan ekspresi serius.

"Maaf, Nona Celine, membuat Anda menunggu lama."

Celine menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Pak Polisi."

Polisi itu membuka salah satu kardus dan menarik beberapa map tebal dari dalamnya. "Ini adalah file dokumen satu bulan terakhir, dari tanggal 15 Oktober hingga 15 November," jelasnya, menyusun beberapa berkas di atas meja.

Celine menatap dokumen-dokumen itu dengan kening berkerut. Ada sesuatu yang janggal.

"Maaf, Pak Polisi," katanya ragu. "Kenapa Anda membawa semua ini? Kenapa tidak langsung mengambil file tanggal 14 November saja?"

Polisi itu menghela napas, lalu menatapnya dengan ekspresi sulit diartikan. "Itu dia masalahnya."

Celine menajamkan pendengarannya.

"Saya tadi mencari file tersebut, tapi tidak ada satu pun laporan mengenai kasus yang Anda ceritakan."

"Apa?" Celine terperanjat. "Tidak mungkin…!"

"Saya membawa semua file ini agar Anda percaya bahwa saya tidak berbohong." Polisi itu mendorong kardus lebih dekat ke arahnya. "Anda bisa mengecek sendiri. Tidak ada satu pun kasus penembakan yang tercatat pada tanggal 14 November."

Celine dengan cepat meraih salah satu map, membukanya dengan tangan sedikit gemetar. Matanya bergerak cepat, membaca setiap laporan. Kasus pencurian, kecelakaan lalu lintas, perampokan kecil—semuanya ada. Namun, tidak ada satu pun catatan mengenai penembakan di gang sempit itu.

"Kenapa bisa begini, Pak Polisi?"

"Saya pun tidak tahu, Nona Celine." Polisi itu bersandar di kursinya, tampak berpikir. "Bahkan rekaman CCTV pun tidak ada. Saya sudah mengecek berkali-kali, tapi rekaman tanggal 14 November tidak dapat ditemukan."

Jantung Celine berdetak lebih kencang. Ada sesuatu yang salah.

Bagaimana mungkin tidak ada laporan tentang kejadian itu? Suaminya mati ditembak. Dia sendiri mengalami luka tembak di perut. Rumah sakit tempatnya dirawat pasti memiliki catatan medisnya. Jadi… bagaimana mungkin kepolisian tidak memiliki laporan kasus tersebut?

"Aneh… apakah file tersebut sengaja dilenyapkan? Tapi untuk apa? Dan siapa yang melakukannya?" pikirnya.

"Nona Celine?" suara polisi itu membuyarkan lamunannya. "Jadi bagaimana? Apakah Anda ingin mengecek lebih lanjut?"

Celine menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Ya. Izinkan saya mengecek lagi, Pak Polisi."

Polisi itu mengangguk. "Silakan. Bahkan jika Anda ingin mengecek file lain, saya bisa mengantarkan Anda langsung ke ruangan penyimpanan berkas."

Celine menatapnya, lalu mengangguk. "Terima kasih, Pak Polisi."

Sang polisi berdiri, meraih kunci di laci mejanya, lalu memberi isyarat kepada Celine untuk mengikutinya.

Tap! Tap! Tap!

Langkah kaki mereka berdua terdengar di sepanjang lorong kantor polisi yang kini terasa lebih sunyi dari sebelumnya.

Ada sesuatu yang disembunyikan.

.......

.......

.......

Di ruang arsip...

Celine terus memeriksa file demi file yang ada di dalam kardus, membuka satu demi satu map dengan jari yang mulai terasa kaku. Setiap lembar yang ia buka hanya menambah kekecewaan. Tidak ada jejak kasus penembakan pada tanggal 14 November.

"Aneh, benar-benar aneh. Aku tidak menemukan berkas kasus tanggal 14 November. Apa yang sebenarnya terjadi?" pikirnya, jantungnya berdebar kencang. Ia merasa semakin terperangkap dalam kebingungannya.

Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar mendekat. Polisi itu berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan raut wajah yang tak bisa ia baca.

"Nona Celine, apakah sudah selesai?"

Celine menutup file terakhir yang sedang dibukanya dan menatap polisi itu dengan wajah kecewa. "Sudah, Pak Polisi."

"Bagaimana?" Suaranya terdengar datar, namun ada ketegangan yang tak terbantahkan.

"Saya juga tidak tahu, Pak Polisi," jawab Celine, suaranya bergetar. "Kenapa file sepenting itu tidak ada?"

Polisi itu terdiam sejenak, lalu mengajukan sebuah pertanyaan yang membuat Celine terkejut. "Apakah Nona Celine merekayasa kejadian?"

"Apa!?" Celine hampir tidak bisa mempercayai apa yang baru saja ia dengar.

Polisi itu menatapnya tajam. "Dari kasus yang sebelumnya, Nona Celine juga diduga merekayasa kejadian kematian Jack, yang katanya dia dibunuh oleh hantu."

Celine merasa darahnya mendidih. "Saya tidak berbohong, Pak Polisi! Saya berkata yang sebenarnya tentang kasus Jack, dan kasus yang saya laporkan sekarang juga merupakan kasus pribadi saya. Jika Anda ingin, saya bisa menunjukkan kepada Anda bahwa saya masih memiliki luka jahitan di perut saya dari penembakan itu!"

Polisi itu tetap tenang, namun ada sedikit keraguan di matanya. "Begini saja, Nona Celine. Bisakah Anda meminta salinan riwayat medis dari rumah sakit tempat Anda dirawat saat itu? Jika Anda bisa menunjukkan dokumen tersebut kepada kami, kami akan membantu Anda untuk menyelidiki lebih lanjut kasus Anda."

Celine menatapnya, seolah-olah baru menyadari sesuatu yang penting. Ia menarik napas dalam, menenangkan dirinya sebelum akhirnya mengangguk. "Baiklah, Pak Polisi. Saya akan kembali dengan file riwayat rumah sakit tersebut."

Polisi itu mengangguk, wajahnya tetap tidak menunjukkan ekspresi. "Silakan, Nona Celine. Kami akan menunggu berkas dari Anda."

Celine berdiri, matanya memandang ke luar jendela kantor polisi yang suram. Kepalanya penuh dengan pertanyaan yang semakin rumit. Bagaimana mungkin tidak ada catatan tentang kejadian itu? Mengapa polisi ragu tentang kebenaran yang ia ceritakan?

"Ada apa sebenarnya dengan kasus ini? Mengapa semuanya terasa seperti ada yang disembunyikan?" pikir Celine dengan cemas.

Langkahnya terdengar pelan saat ia meninggalkan kantor polisi, tetapi di dalam hatinya, kegelisahan terus menghantuinya. Ia harus segera menemukan bukti yang dapat membuktikan bahwa ia tidak berbohong, bahwa kejadian itu memang nyata, dan bahwa ada seseorang yang berusaha menutupi kebenaran.

Keputusan sudah dibuat. Ia harus mencari riwayat rumah sakit itu, apa pun yang terjadi.

...****************...

Setelah keluar dari kantor polisi, Celine menatap jam tangannya dengan raut wajah yang semakin lelah. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 15:00 sore.

"Sudah sore, aku harus ke rumah sakit sekarang!" gumamnya, bertekad untuk segera menemukan bukti yang bisa membuktikan kebenaran cerita tentang penembakan yang hampir merenggut nyawanya.

Namun, saat ia hendak melangkah pergi, tiba-tiba sosok yang tak asing muncul di hadapannya.

"Hah!!!" Celine terkejut, mundur beberapa langkah.

Briyon berdiri di sana, matanya menatapnya dengan penuh perhatian.

"Celine!" suara Briyon terdengar begitu hangat, meskipun Celine tahu dia tidak seharusnya ada di sana.

Celine terdiam sejenak, seolah kebingungannya membuatnya tidak bisa berkata-kata. "Briyon, kamu membuatku terkejut saja, ada apa tiba-tiba muncul?"

Briyon tidak langsung menjawab, seolah-olah dia masih mencoba memahami situasi. "Kamu, belum!" katanya, seperti ada yang belum selesai.

"Belum? Belum apa?" Celine bertanya, tidak mengerti apa yang dimaksud.

"Makan, siang." Briyon tersenyum, menyampaikan maksudnya dengan lembut.

"Ah, makan siang?" Celine sedikit bingung, namun hatinya mulai merasa hangat.

"Belum, makan-" Briyon kembali berkata dengan nada penuh perhatian.

Celine hanya bisa menatapnya, merasa seperti ada yang aneh dengan interaksi mereka. Namun, Briyon melanjutkan.

"... Tidak, pergi!"

Briyon tiba-tiba mengucapkan dengan cara yang lembut namun tegas.

Celine tersentak, memahami apa yang Briyon maksud. "Briyon… dia mengkhawatirkan aku karena aku belum makan siang," pikirnya, merasa hatinya semakin terharu. "Ucapannya barusan seperti meminta aku untuk segera makan, dan melarang aku pergi jika aku belum makan siang."

Perasaan yang bercampur aduk itu membuatnya hampir menangis. "Manisnya, perhatiannya membuatku ingin menangis."

"Baik, aku akan segera makan, terima kasih sudah mengingatkan ku, Briyon."

Briyon hanya tersenyum sedikit, sebelum menghilang dari pandangannya dengan cepat, meninggalkan Celine yang masih terperangah.

Celine menatap kosong ke tempat di mana Briyon terakhir kali berdiri. "Briyon, andai saja kamu masih hidup, mungkin aku ..."

Tiba-tiba, perasaan kesedihan yang mendalam menyeruak di dadanya. Tidak bisa menahan diri, Celine pun menangis tersedu-sedu di depan kantor kepolisian, air mata membasahi pipinya yang sebelumnya kering.

Dalam keheningan itu, tanpa disadari oleh Celine, seorang polisi yang mengamati dari kejauhan memperhatikan setiap gerakan dan ekspresi yang ia tunjukkan.

"Sudah ku duga…" pikir sang polisi dengan raut wajah cemas. "Nona Celine memiliki gangguan jiwa."

...Bersambung ......

1
AmSi
mereka seharusnya mendapatkan masa depan yg indaaaah /Sob//Heart/
Ulfa Ariani
bingung mau senang atau sedih. :")
AmSi
Waaaw /Kiss/ Briyon tak mau membuang2 waktuu, langsung lmar
Tinta pink
seneng, tapi di masa depan nya gak seneng 😭
Tinta pink
eneg euy jilat darah sendiri aja bau besi 😨
Acil Supriadi
Celine emang suka kesederhanaan ya, pantes si devid di tolak 😃
Acil Supriadi
uweee kambing bau prengus /Gosh/
Acil Supriadi
keras kepala kalian.
Siska Dinarti
🥹 tapi masa depan kalian tidak seindah itu.
Siska Dinarti
wah nikah nya di Roma 😍
Siska Dinarti
pantes briyon pas Bab berapa itu dia ngomong suka darah sama celine, ternyata emang karna kebiasaan dia ngasih makan para setan ya
Siska Dinarti
waduh briyon keras kepala. 😔
Siska Dinarti
siapa nih nenek? nenek Ema kah?
AmSi
Sovia dan Briyon sama2 keras orangnya.../Blush/ tapi Briyon lebih nekat sih...
AmSi
Waaaaawwww Briyooon /Awkward/ gak pake aba2 langsung muuuuach /Heart/
AmSi
Bilang aja suka sama Celine-nyaa
ball
lanjut tor :')
Via Luviani
baru juga bahagia udah di kasih cobaan :')
Tania Laras
ya lord so sweet banget 🥺🥺🥺
Tania Laras
wah Celine duluan yg nyatain?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!