Pertemuan tanpa sengaja, membawa keduanya dalam sebuah misi rahasia.
Penyelidikan panjang, menyingkap tabir rahasia komplotan pengedar obat terlarang, bukan itu saja, karena mereka pun dijebak menggunakan barang haram tersebut.
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Akankah, Kapten Danesh benar-benar menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#10. Rahasia Negara•
#10
Panci yang berada di atas kompor sudah mulai mengepulkan asap, pertanda air sudah mendidih. Dengan bantuan Bastian, Rara mulai memasukkan bumbu mie instan pedas yang biasa mereka santap jika sedang briefing seperti saat ini.
Sementara Bastian memasukkan bakso, udang dan potongan sosis, sang kapten mereka tengah mengupas telur rebus di sebelah Marco yang tengah melacak pergerakan Mr. B dan komplotannya.
Diantara mereka berempat memang tak ada yang benar-benar menganggur, karena semua memiliki peran yang sama-sama penting.
Marco dan Bastian tiga tingkat dibawah Danesh semasa mereka kuliah di akademi kepolisian. Sementara Rara, anggota termuda di kelompok mereka, masuk melalui jalur spesial karena kemampuannya di bidang IT. Karena itulah, bagi Danesh, Marco, dan Bastian, Rara bukan sembarang anggota, karena Rara seperti adik perempuan yang memiliki 3 orang kakak.
“Apakah Letnan Hadi bersedia membagi informasi padamu?” tanya Danesh.
Marco segera membuka laptopnya, dan di hadapannya kini terpampang wajah Gyn, mahasiswa yang tewas beberapa hari yang lalu. “Namanya Gyngyn, mahasiswa asal bangka belitung, ia dekat dengan Tommy karena mereka saling membutuhkan … “
Danesh menatap intens wajah Marco, “Saling membutuhkan, apakah bermakna sesuatu?” selidik Danesh.
Marco terkekeh, “Bukan, Kapt, bukan menjurus ke hal yang itu. Mereka murni seperti simbiosis mutualisme, Tommy membutuhkan kepintaran Gyn, dan Gyn membutuhkan uang Tommy untuk bertahan hidup selama kuliah.”
Danesh diam mencermati setiap perkataan Marco, “Dia kuliah di Jakarta karena memperoleh beasiswa dari G.E.R Foundation.”
Marco diam sejenak, ia memikirkan satu hal yang terasa aneh. “Jika ia mendapat beasiswa dadi G.E.R Foundation, kenapa dia masih membutuhkan uang dari Tommy? Apa yang dia cari?” gumam Marco.
“Kalau begitu, Selidiki juga G.E.R Foundation,” instruksi Danesh, “Lanjutkan.”
“Tapi, haruskah kita menyelidiki G.E.R Foundation? Itu korporasi besar, Kapt! nyaris tidak mungkin menyentuh mereka. Lagi pula kredibilitas mereka terkenal sangat baik.”
“Segala kemungkinan bisa menjadi petunjuk yang akan mengarahkan kita pada Mr. B,” sergah Danesh.
“Mereka selalu menolak wawancara, dan tak pernah mau membuka jati diri dari CEO pemilik yayasan amal tersebut.”
“Semakin mencurigakan,” cetus Danesh. “Bisa saja G.E.R Foundation sebenarnya adalah tempat pencucian uang, kan?”
Tak!!
Marco menjentikkan jarinya, “Masuk akal,” ujarnya senang. “Semakin misterius, semakin membuatku bersemangat.”
“Kapt! Apakah telurnya sudah?” pekik Rara dari arah dapur.
“Satu butir lagi,” jawab Danesh.
Rara datang dari arah dapur, kemudian merampas satu butir telur yang sedang Danesh kupas sembari berdiskusi dengan Marco. “Lambat,” cetusnya gemas.
Danesh diam, tak menanggapi cibiran Rara, dirinya hanya tersenyum tipis setelah tugasnya diambil alih. “Oh iya, hasil forensik sudah keluar?”
“Belum, Kapt. Semoga Letnan Hadi tak pelit membagikan informasinya.”
“Singkirkan semua yang ada diatas meja!!” pekik Bastian, kedua tangannya sedang membawa panci mie rebus.
“Aku mau nasi,” pinta Marco.
“Tidak ada nasi malam ini, Kapten kita butuh istri, agar setidaknya ia memiliki persediaan beras di apartemennya.” Rara menjawab, sembari menata mangkuk dan gelas diatas meja.
“Ide bagus, Ra. Gimana kalau kamu dulu yang daftar jadi kandidat,” goda Bastian.
“Sepertinya Mommynya Kapten, akan senang memiliki menantu pintar sepertimu,” imbuh Marco.
“Apa maksudmu?! Kapten itu seperti Kakakku,” sergahnya, berlawanan dengan dadanya yang dag dig dug.
“Tapi wajahmu merah, Ra.” Bastian menunjuk pipi Rara yang mulai berubah warna.
Danesh tercengang, hanya perkara nasi, kini calon istri pun dibawa-bawa dalam pembicaraan mereka. Padahal mereka hanya akan menikmati makan malam.
Danesh menoyor pipi Marco, kemudian berkata. “Apartemen ini, tak pernah ku tempati, jadi jangan berharap aku menyimpan beras disini. Jika aku menginginkan nasi hangat, yang dimasak penuh cinta, aku cukup datang ke rumah sepupuku yang istrinya pandai memasak.”
“Kenapa tak pulang ke rumah Nyonya Bella, Kapt?” cetus Marco dengan seringai ejekan di wajahnya.
“Kalau pulang ke rumah Nyonya Bella, ntar ditanya calon istri lagi.” Bastian ikut berkelakar.
“Kan ada Rara, tinggal bawa saja dia.” Marco menimpali.
“Haissh!!” Danesh mengangkat sebelah tangannya, seolah sedang mengambil ancang-ancang memukul Marco dan Bastian. Namun bukannya takut, keduanya justru tergelak seperti biasa.
Perihal Danesh yang selalu mendapat intimidasi dari Mommy Bella tentang calon istri yang tak kunjung ia kenalkan, masih menjadi momok utama Danesh enggan pulang ke rumah. Terlebih rencana mengundurkan diri gagal ia realisasikan, jadi bisa dipastikan Mommy Bella akan murka kali ini.
***
Wanita itu baru saja menutup pintu apartemennya ketika ponselnya berdering, ia menggulir tombol hijau di layar ponselnya, meletakkannya di telinga tanpa berniat ingin bersuara.
“Apa begini sopan santunmu?” tanya suara tersebut, dari seberang sana.
“Ada apa, Bu?” Tanya wanita itu.
“Besok datanglah ke rumah!” Perintah wanita yang mendapat panggilan ‘IBU’ tersebut.
“Baiklah, tapi aku tak janji akan tepat waktu,” jawab wanita itu jengah.
“Setidaknya, untuk sekali saja, datanglah tepat waktu, dan tunjukkan rasa bersalahmu?”
Wanita itu terdiam, kendati sudah lebih dari 20 tahun yang lalu, tapi peristiwa itu masih menggerogoti sisi rapuh dirinya. Dari luar ia adalah wanita tangguh yang hampir tidak memiliki rasa takut dengan apapun, namun sisi lain dari dirinya, masihlah anak kecil yang rapuh karena rasa bersalah atas peristiwa yang menimpa adik kecilnya puluhan tahun silam.
“Baiklah, Bu, akan aku usahakan,” jawabnya malas.
Tak lama kemudian ia mendengar bahwa seperti biasa, panggilan tersebut berakhir. Seperti halnya ketika mengawali pembicaraan, tanpa sapaan apalagi menanyakan kabar. Maka panggilan tersebut pun berakhir, tanpa kata perpisahan seperti layaknya ibu dan anak.
Wanita itu terduduk di lantai tempat ia berdiri, tubuhnya lemas tak bertenaga karena menanggung rasa sedih seorang diri selama bertahun-tahun lamanya. Ia selalu diam dan menangis sendiri, bahkan keringat dingin tiba-tiba membanjiri tubuhnya, Dadanya terasa sesak seolah kehabisan oksigen, ketika lagi dan lagi sang ibu memarahinya, menyalahkannya, mengatakan bahwa dirinya bukanlah kakak yang bertanggung jawab, karena sudah membiarkan adiknya seorang diri di depan rumah.
Hingga peristiwa yang sudah berlalu puluhan tahun tersebut semakin terasa segar dalam ingatannya, seolah baru saja terjadi beberapa saat yang lalu.
“Saaaan … kamu tahu kan, jika kakak tak bermaksud meninggalkanmu?” Raung wanita itu dalam tangis sedihnya. “Kakak menyayangimu, merindukanmu, maafkan Kakak.”
***
Sementara itu, di tempat lain.
“Iya, Mom, aku akan datang besok, setelah jam kuliah terakhir.”
“Kuliah??!! SEBENARNYA PEKERJAAN APA YANG SEDANG KAMU LAKUKAN?!” Mommy Bella berteriak gemas. Beberapa minggu lalu, Danesh berjanji akan mengundurkan diri, tapi tiba-tiba putranya cosplay menjadi mahasiswa.
“Aku sedang menyelidiki sebuah kasus, Mom.”
“Kasus apa?”
“Rahasia negara,” jawab Danesh, yang seketika membuat mommy Bella tak dapat lagi menahan amarah, karena di PHP putranya sendiri.
😤😤😤😤😤😤😤
Begitulah kira-kira ekspresi wajah mommy Bella.