Menjalani rumah tangga bahagia adalah mimpi semua pasangan suami istri. Lantas, bagaimana jika ibu mertua dan ipar ikut campur mengatur semuanya? Mampukah Camila dan Arman menghadapi semua tekanan? Atau justru memilih pergi dan membiarkan semua orang mengecam mereka anak dan menantu durhaka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tie tik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mari Mengalah
Segala prahara yang terjadi dalam kehidupan Aminah berakhir di rumah sakit. Wanita lanjut usia itu harus dirawat di rumah sakit karena hipertensi. Untung saja Aminah segera mendapat tindakan medis dengan cepat sehingga tidak menimbulkan gejala stroke.
Selama itu pula, Camila dan Arman lah yang menunggu dan merawat Aminah di rumah sakit bergantian. Camila menunggu di pagi hari sedangkan Arman menunggu di kala malam hari. Bukan rasa terima kasih yang terucap dari bibir Aminah. Wanita lanjut usia itu justru semakin tidak suka dengan Camila.
"Telfon Sinta. Suruh datang ke sini. Aku mau dia yang menunggu di sini."
Entah, ini permintaan yang ke berapa kali dari Aminah selama berada di rumah sakit tiga hari ini. Dia terus meminta Sinta untuk datang, tetapi wanita berbadan itu belum menunjukkan batang hidung sekalipun. Camila sampai heran terhadap mertuanya itu.
"Ini telfonnya saya loudspeker. Ibu dengar sendiri jawaban mbak Sinta," ucap Camila sebelum mencari kontak kakak iparnya. Tak lama setelah itu, panggilan pun terhubung. "Mbak Sinta diminta ibu ke sini. Tolong datang ya, Mbak," pinta Camila tanpa basa-basi.
"Aduh, Maaf ya, dek Mila. Aku gak bisa ke rumah sakit. Zafi bagaimana kalau aku ke sana? Lagi pula aku tuh agak mual kalau mencium aroma rumah sakit. Ibu sama kamu saja deh," jawab Sinta dari seberang sana.
Kecewa. Ya, itulah yang dirasakan Aminah saat ini. Berharap mendapat perhatian dari menantu yang dianggap terbaik, nyatanya malah mendapat sebaliknya. Terlihat jelas jika menantunya itu sengaja menghindarinya.
"Ibu dengar sendiri 'kan jawaban mbak Sinta. Saya harap setalah ini Ibu tidak meminta saya untuk menghubungi mbak Sinta. Mungkin nanti siang mbak Ana yang akan datang ke sini," jelas Camila seraya menatap wajah murung ibu mertuanya. Ana adalah anak pertama Aminah dan Pardi yang tinggal di Malang. Dia seorang dosen di kampus elit yang ada di kota apel itu.
Detik demi detik telah berlalu begitu saja. Suara adzan dhuhur terdengar dari speaker ruangan rumah sakit. Bersamaan dengan itu, Ana datang bersama suaminya. Dosen ilmu ekonomi itu menyuruh Camila pulang untuk istirahat karena dirinya lah yang akan menjaga Aminah sampai nanti malam.
"Pulanglah. Biar ibu menjadi urusanku. Nanti biar aku yang meluluhkan ibu," bisik Ana dengan tatapan penuh arti. "Aku minta maaf atas sikap ibu kepadamu. Terima kasih karena sudah merawat dan menjaga ibu selama ini," ucap Ana dengan suara yang sangat lirih saat mengantar Camila sampai di depan ruang rawat inap.
Camila berjalan menyusuri lorong rumah sakit seorang diri. Kehadiran Ana saat ini tentu berhasil mengubah suasana hatinya. Setidaknya wanita dua anak itu bisa menengahi masalah yang terjadi saat ini. Meski masih ada rasa tidak terima atas penghinaan orang tuanya, tetap saja Camila tidak tega melihat kondisi ibu mertuanya saat ini. Amarahnya perlahan mereda karena tidak mau terjadi sesuatu kepada Aminah.
"Mas Arman," panggil Camila saat melihat sang suami duduk di kursi yang ada di depan kasir rawat inap. "Ngapain di sini?" tanya Camila saat menghampiri Arman.
"Aku nunggu mbak Ana. Katanya tadi dalam perjalanan ke sini. Aku disuruh menunggu," jawab Arman.
"Lah, mbak Ana udah masuk ke ruangan ibu, Mas. Ini aku disuruh pulang. Katanya biar mbak aja yang jaga ibu. Mbak Ana bilang dia mau bicara sama ibu," jelas Camila.
"Ya sudah. Sekarang kita pulang saja. Kamu udah makan?" tanya Arman seraya beranjak dari tempatnya. "Kalau begitu kita makan siang dulu di kafetaria rumah sakit," ajak Arman setelah melihat Camila menggelengkan kepala.
Sepasang suami istri itu akhirnya berjalan menuju cafetaria yang ada di lingkungan rumah sakit. Setelah memesan makanan, mereka memilih tempat duduk yang ada di luar karena dirasa lebih nyaman. "Tadi mbak Ana ada bilang sesuatu yang penting gak?" tanya Arman.
"Gak ada, Mas. Mbak Ana hanya bilang kalau mau bicara sama ibu. Aku disuruh pulang istirahat dan mbak Ana bilang terima kasih ke aku. Udah itu aja gak ada yang lain," jelas Camila seraya menatap Arman.
"Oh ya sudah. Aku pikir ada yang penting." Arman menganggukkan kepala beberapa kali.
Keheningan mulai menguasai. Sepasang suami istri termenung. Berkelana dalam pikiran masing-masing. Hingga pesanan mereka datang, tak ada satu pun yang bicara. Fokus pada makanan masing-masing hingga selesai.
"Sayang," panggil Arman. "Bagaimana kalau kamu berhenti jualan dulu?" Arman menatap Camila penuh arti.
"Kok gitu? Kenapa Mas jadi ikutan Ibu?" Camila mengernyitkan kening dengan tatapan heran.
"Aku hanya ingin kita damai dengan keadaan. Sementara ini, please, berhenti dulu sampai keadaan ibu membaik. Kita bisa mulai jualan lagi kalau keadaannya sudah kondusif. Aku tidak melarang kamu jualan, aku hanya ingin kamu berhenti sebentar. Aku juga tidak tega melihat kondisi Ibu. Aku takut keadaannya semakin parah bila perseteruan ini terus berlangsung dalam rumah tangga kita."
"Mungkin kali ini kita yang harus mengalah. Nanti kita pikirkan lagi jalan keluarnya. Kalau memang kamu takut barangnya kadaluarsa, bagikan saja ke pelangganmu. Kasih sebagai give away atau apalah. Nanti aku ganti uang modalnya, ya Sayang." Arman menatap dengan sorot mata penuh harap.
Ada rasa kecewa yang hadir dalam hati karena permintaan yang dilayangkan suaminya itu. Namun, permintaan Arman tidak sepenuhnya keliru. Camila pun sebenarnya merasa lelah menghadapi segala yang terjadi akhir-akhir ini. Dia merindukan kehidupan damai seperti dulu. Ya, mungkin benar kata Arman. Mengalah adalah solusi yang terbaik saat ini.
"Aku sebenarnya kecewa dengan keputusan ini, Mas. Tapi mau bagaimana lagi? Aku juga tidak tega melihat kondisi ibu. Aku mau mengalah dalam hal ini, tetapi aku minta satu hal sama kamu, Mas. Tolong bilang sama Ibu dan kedua saudaranya itu agar tidak menyeret orang tuaku dalam masalah apapun. Apalagi sampai berani mengolok dan menuduh sesuatu yang tidak mereka ketahui. Kalau sampai sekali lagi aku mendengar mereka menyinggung orang tuaku, maka jangan menghentikan segala sesuatu yang aku perbuat nanti. Aku tidak main-main kali ini, Mas." Camila menggenggam tangan Arman dengan erat. Memberikan isyarat jika luka atas penghinaan terhadap orang tuanya masih membekas di hati.
...🌹TBC🌹...
Arman mana tau,,berangkat pagi pulang sore
terimakasih
Anak sekarang benar2 bikin tepok jidat
Lagi musim orang sakit..
Fokus sama usahanya biar makin lancar..
Goprutnya ntar sampai hafal sama Mila 😀😀
Camila harus lebih tegas lagi
Yg g boleh itu jadi pengadu domba
Fokus saja sama keluarga dan usaha biar sukses