NovelToon NovelToon
The King Final Sunset

The King Final Sunset

Status: tamat
Genre:Action / Tamat / Fantasi Timur / Poligami / Perperangan / Kultivasi Modern / Penyelamat / Bercocok tanam
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Mrs Dream Writer

Zharagi Hyugi, Raja ke VIII Dinasti Huang, terjebak di dalam pusara konflik perebutan tahta yang membuat Ratu Hwa gelap mata dan menuntutnya turun dari tahta setelah kelahiran Putera Mahkota.

Dia tak terima dengan kelahiran putera mahkota dari rahim Selir Agung Yi-Ang yang akan mengancam posisinya.

Perebutan tahta semakin pelik, saat para petinggi klan ikut mendukung Ratu Hwa untuk tidak menerima kelahiran Putera Mahkota.

Disaat yang bersamaan, perbatasan kerajaan bergejolak setelah sejumlah orang dinyatakan hilang.

Akankah Zharagi Hyugi, sebagai Raja ke VIII Dinasti Huang ini bisa mempertahankan kekuasaannya? Ataukah dia akan menyerah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs Dream Writer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hwa, Apakah Aku Menyakitimu?

Setelah memberikan keputusan terkait distribusi cadangan istana, Zharagi menutup sidang pagi dengan suara tegas, meski raut wajahnya tidak bisa menyembunyikan kecemasan. Para menteri, penasihat, dan perwira meninggalkan ruang sidang utama dengan langkah tergesa, membawa tugas masing-masing untuk segera dilaksanakan.

Zharagi tetap duduk di kursinya, memandangi peta besar yang tergantung di dinding belakang ruang sidang. Di peta itu, wilayah kerajaannya terlihat jelas, lengkap dengan tanda-tanda merah yang baru ditambahkan pagi tadi, menunjukkan titik-titik krisis—jalur perdagangan yang diserang, desa-desa yang mulai kosong, dan tempat-tempat yang dilaporkan mengalami peningkatan kriminalitas.

“Yang Mulia…” suara lembut Hwa menyela kesunyian.

Zharagi menoleh, mendapati Hwa berdiri di ambang pintu dengan ekspresi cemas. Di tangannya terdapat setumpuk dokumen yang terlihat berat, menunjukkan bahwa ia juga sedang dilanda banyak tugas.

“Hwa, kau belum meninggalkan ruang sidang?” tanya Zharagi, mencoba menyembunyikan keletihannya di balik senyum tipis.

“Aku ingin memastikan kau baik-baik saja,” jawab Hwa, berjalan mendekat. “Kau sudah berhari-hari memikirkan ini tanpa istirahat yang cukup. Kau butuh waktu untuk beristirahat, Zharagi.”

Zharagi menghela napas panjang. “Aku tidak punya kemewahan itu sekarang, Hwa. Saat rakyatku kelaparan dan ketakutan, bagaimana mungkin aku bisa tidur nyenyak?”

Hwa menatapnya dengan penuh perhatian. “Aku tahu kau peduli pada mereka. Tapi kau juga manusia, Zharagi. Kau tidak bisa memimpin mereka jika kau jatuh sakit.”

Zharagi berdiri, berjalan ke arah jendela besar yang menghadap halaman istana. Di luar, ia melihat prajurit-prajurit yang sedang berlatih, para pelayan yang sibuk mengangkut barang, dan sekelompok petani yang sedang menunggu giliran untuk menerima bantuan dari istana.

“Aku telah bersumpah untuk melindungi mereka,” gumam Zharagi. “Jika aku gagal sekarang, aku akan kehilangan lebih dari sekadar mahkota ini. Aku akan kehilangan kepercayaan mereka. Dan tanpa kepercayaan itu, seorang raja bukanlah apa-apa.”

Hwa terdiam sejenak, lalu meletakkan dokumen di meja di hadapan Zharagi. “Jika begitu, biarkan aku membantu. Ini laporan dari Kael dan beberapa pasukan pengintai lainnya. Mereka menemukan sesuatu yang penting.”

Mata Zharagi menyipit. “Apa yang mereka temukan?”

“Markas musuh,” jawab Hwa. “Kael melaporkan bahwa mereka menemukan lokasi persembunyian yang diduga digunakan oleh kelompok Pengembara Hitam. Mereka yakin kelompok itu yang selama ini merusak jalur perdagangan kita.”

Zharagi mengambil dokumen itu, membaca setiap laporan dengan seksama. Detail tentang lokasi yang ditemukan, jumlah musuh yang diperkirakan, dan pola serangan mereka tercantum jelas.

“Jika ini benar, maka kita punya peluang untuk menghentikan mereka sebelum mereka menyebabkan kerusakan lebih parah,” ujar Zharagi.

Hwa mengangguk. “Tapi kita harus bertindak cepat. Kelompok ini cerdik, dan mereka tidak akan tinggal diam jika tahu kita sudah menemukan jejak mereka.”

Zharagi menatap Hwa dengan penuh tekad. “Kumpulkan semua penasihat perang. Kita akan segera menyusun rencana serangan.”

Hwa tersenyum tipis, meski raut wajahnya masih menunjukkan kekhawatiran. “Baik, Yang Mulia. Aku akan segera memanggil mereka.”

Saat Hwa pergi, Zharagi kembali duduk di kursinya, memandang peta di depannya dengan penuh konsentrasi. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa keputusan yang akan diambilnya dalam beberapa jam ke depan akan menentukan nasib kerajaannya.

Namun, lebih dari itu, ia merasa bahwa ini bukan hanya soal melawan musuh dari luar. Ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi, sesuatu yang mengancam tidak hanya rakyatnya, tetapi juga masa depannya sebagai raja.

Hari itu, Zharagi bersumpah untuk tidak mundur selangkah pun, meski nyawanya menjadi taruhannya.

"Hwa, aku akan memanggilnya nanti. Sekarang, temani aku berjalan-jalan." Zharagi mengatakannya sambil melangkah turun dari singgasananya.

Ratu Hwa mengangguk.

Zharagi dan Hwa melangkah pelan di sepanjang jalan setapak kebun istana yang dihiasi bunga-bunga mekar, keharumannya terbawa angin yang lembut. Matahari pagi menyinari daun-daun hijau yang berembun, menciptakan suasana damai di tengah kekacauan yang mengancam di luar istana.

Di belakang mereka para abdi kepercayaan berjalan mengikuti. Salah satu pelayan kemudian diperintahkan untuk membawa keranjang kecil berisi potongan roti dan biji-bijian. Mereka berhenti di tepi kolam besar, tempat ikan-ikan koi berwarna cerah berenang dengan anggun. Zharagi tersenyum tipis saat melihat ikan-ikan itu berenang mendekat, seakan mengenali kehadirannya.

“Kau masih ingat ini, Hwa?” tanya Zharagi, suaranya sedikit melunak, berbeda dari ketegasan yang biasa ia tunjukkan di ruang sidang.

Hwa mengangguk sambil menuangkan makanan ke kolam. “Tentu saja. Dulu, kita sering datang ke sini setelah sidang selesai. Anda selalu bilang memberi makan ikan-ikan ini adalah caramu melupakan beratnya tanggung jawab sebagai raja, walau hanya sebentar.”

Zharagi tertawa kecil, sebuah tawa yang penuh nostalgia. “Dan kau yang selalu memastikan aku membawa makanan untuk mereka. Aku hampir lupa betapa menyenangkannya momen-momen ini.”

Hwa menatap Zharagi dengan lembut. “Yang Mulia… tidak apa-apa untuk sesekali mengingat masa lalu, tapi jangan biarkan kenangan itu menahan langkahmu ke depan. Kau sudah menjadi raja yang hebat, lebih kuat dari apa yang kau bayangkan dulu.”

Zharagi tidak menjawab, matanya tertuju pada ikan-ikan yang berebut makanan di permukaan air. Ada keheningan sesaat di antara mereka, namun tidak terasa canggung. Itu adalah keheningan yang penuh pemahaman.

Di kejauhan, seorang pelayan istana berdiri di balik pohon, mengamati mereka dengan mata tajam. Ia tidak sendirian—dua pelayan lain berdiri di dekatnya, salah satu dari mereka membawa nampan kosong.

“Cepat laporkan pada Selir Mei Li,” bisik pelayan itu. “Katakan bahwa Yang Mulia sedang bersama Lady Hwa di kebun istana. Mereka terlihat… akrab.”

Pelayan itu segera bergegas menuju kediaman Mei Li.

Di kediamannya, Mei Li sedang duduk di dalam kamarnya, mengenakan gaun sutra berwarna pastel. Di pangkuannya, Putra Mahkota kecil sedang bermain dengan mainan kayu berbentuk naga kecil. Wajahnya yang biasanya lembut berubah tegang ketika pelayan tiba membawa kabar.

“Yang Mulia Raja sedang apa?” tanya Mei Li dengan nada dingin setelah mendengar laporan itu.

“Mereka ... memberi makan ikan-ikan di kebun, seperti kebiasaan mereka beberapa tahun lalu, sebelum… sebelum Selir Agung meninggal dunia,” jawab pelayan dengan hati-hati.

Mei Li meletakkan cangkir teh di meja dengan gerakan yang terlalu keras, hingga bunyi dentingnya terdengar nyaring. “Mereka? Maksudmu Raja dan Ratu? Kenapa aku baru tahu ini sekarang? Seberapa sering mereka melakukan hal seperti ini?”

Pelayan itu menunduk dalam-dalam. “Ampun, Paduka. Ini pertama kalinya saya melihat mereka bersama lagi setelah sekian lama.”

Mei Li menggigit bibir bawahnya, rasa cemburu mulai menghantui pikirannya. Ia tahu betapa Hwa pernah menjadi bagian penting dalam hidup Zharagi, bahkan sebelum ia masuk ke dalam istana. Kenangan akan mendiang Selir Agung juga selalu menjadi bayangan yang tidak pernah bisa ia kalahkan.

“Pergi. Jangan biarkan Yang Mulia tahu aku mengetahui ini,” perintah Mei Li dengan suara dingin.

Saat pelayan itu pergi, Mei Li berdiri dan menatap jauh ke arah kebun istana dari balkon. Matanya menyipit, penuh dengan kekhawatiran dan amarah yang bercampur.

“Jika kau berpikir aku akan membiarkan ini, kau salah besar, Hwa,” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan.

Di dalam hatinya, Mei Li merasa terancam. Bukan hanya oleh kehadiran Hwa, tetapi oleh kemungkinan Zharagi mengingat kembali kenangan masa lalunya—kenangan yang bisa menggeser posisinya sebagai selir yang saat ini mengasuh Putra Mahkota.

Sementara itu, di Kebun Istana.

Hwa memandang Zharagi yang masih menaburkan makanan ke kolam. “Yang Mulia, aku akan pergi jika ini membuat posisimu sulit…”

Zharagi menoleh, tatapannya tajam namun lembut. “Apa yang membuatmu berpikir begitu, Hwa? Kau adalah bagian dari istana ini, sama pentingnya dengan yang lain. Jangan biarkan pikiran seperti itu menghantuimu.”

“Tapi …” Hwa menggantungkan kata-katanya, enggan melanjutkan.

Zharagi tersenyum tipis, lalu menatap kembali ikan-ikan di kolam. “Selama aku memimpin, tidak ada yang perlu merasa terancam.”

Namun, di balik kata-kata tegasnya, Zharagi tahu bahwa kedamaian di istana ini lebih rapuh dari yang terlihat. Dan ia harus segera bertindak sebelum segalanya runtuh.

"Hwa, apakah aku telah menyakitimu?" tanya Zharagi sambil menatap sang Ratu dengan mata tajamnya yang berkaca-kaca.

1
MDW
terimakasih
MDW
bentar lagi nih
Ahmad Fahri
Gimana nih thor, update-nya kapan dong?
Mưa buồn
Ceritanya bikin nagih dan gak bisa berhenti baca.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!