Misteri Rumah Kosong.
Kisah seorang ibu dan putrinya yang mendapat teror makhluk halus saat pindah ke rumah nenek di desa. Sukma menyadari bahwa teror yang menimpa dia dan sang putri selama ini bukanlah kebetulan semata, ada rahasia besar yang terpendam di baliknya. Rahasia yang berhubungan dengan kejadian di masa lalu. Bagaimana usaha Sukma melindungi putrinya dari makhluk yang menyimpan dendam bertahun-tahun lamanya itu? Simak kisahnya disini.
Kisah ini adalah spin off dari kisah sebelumnya yang berjudul, "Keturunan Terakhir."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MRK 17
Gerimis di luar rumah membuat warga desa enggan keluar, bahkan untuk sekedar berbelanja di pasar. Keinginan Sukma pergi ke pesantren juga tak terlaksana, ia terpaksa menunda rencana sampai menemukan waktu yang tepat untuk sowan ke ndalem kyai Usman.
Setelah memasak sarapan sederhana, Sukma membuka toko kuenya, ditemani Nadira dan mbah Sani yang kebetulan sedang menyapu di depan rumah. Keduanya saling menyapa, dan Sukma sempat melihat Seno yang tersenyum mengangguk padanya dari teras rumah.
Sementara itu nenek Ratih kembali masuk ke dalam kamar setelah sarapan, dan Wijaya mengeluh pusing dan memilih kembali beristirahat. Nadira berpamitan ke kamar untuk mengambil ponselnya yang tertinggal, sekaligus ingin ke kamar mandi sebentar.
Dan saat kembali, gadis itu tergesa mendekati ibunya dengan wajah panik. “Ibu, ibu gawat…”
“Ada apa? kenapa kamu ini?”
“Pak lek Bu, tangan pak lek bengkak. Terus pak lek juga demam, padahal semalam kan nggak apa-apa," bisiknya begitu mengetahui mbah Sani dan Seno melirik mereka.
Tanpa banyak bicara Sukma berlari masuk ke rumah, menuju kamar adik sepupu suaminya itu. Disana sudah ada nenek Ratih yang sedang mengompres Wijaya.
“Ibu, kenapa Wijaya?” tanya Sukma, “astaghfirullah, i-ini tanganmu kenapa jadi bengkak begini Jaya?”
“Entahlah Mbak, waktu bangun tidur tiba-tiba sudah seperti ini.”
“Kita bawa Jaya ke rumah sakit ya Bu, biar Sukma tutup lagi tokonya.”
“Nggak perlu Bu, biar Dira yang jaga toko. Ibu sama nenek antar pak lek saja, Dira nggak apa-apa kok di rumah sendiri, lagian juga masih pagi begini. Insya Allah nggak bakal ada apa-apa,” kata Nadira mencoba meyakinkan ibunya.
Sukma menatap putrinya sebentar, lantas mengangguk mengerti. Wanita itu meminta nenek Ratih membantu Wijaya berbenah, sedangkan dirinya berlari ke kamar untuk bersiap-siap. Lantas ketiganya pergi bersama-sama ke rumah sakit dengan mengendarai mobil.
Tinggallah Nadira sendiri di toko, ia beruntung rumah mbah Sani terbuka lebar. Dari tempatnya ia bisa melihat wanita tua itu yang tengah bercengkrama dengan putranya sambil nonton televisi. Nadira tak begitu takut, meski jika melihat ke arah lantai dimana bercak darah semalam berada, Nadira jadi merinding.
Gadis itu memutuskan bermain game seorang diri, meski rasanya sungguh membosankan. Namun, sepertinya alam tengah berbaik hati padanya. Tiba-tiba saja sebuah sepeda motor berhenti tepat di depan toko. Seorang lelaki mengenakan jas hujan dan helm turun dari atasnya. Nadira menyongsong kedatangan lelaki itu di teras.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, Kak Rendra? sendirian Kak?”
Rendra melepas jas hujan dan helm lantas berteduh di teras. “Iya, kang Jaya ada?”
“Ah, itu… pak lek sedang ke rumah sakit sama ibu dan nenek.”
“Loh kenapa?”
“Demam, juga tangannya tiba-tiba bengkak, nggak tau kenapa. Ah, apa mungkin karena semalam pak lek yang membersihkan bekas darah ya? jadi dia sakit dan tangan yang digunakan mengelap darah jadi bengkak tanpa alasan.” Nadira bergumam sendiri, seolah melupakan Rendra yang berdiri di depannya.
“Kamu yakin karena itu?”
“Oh, ma-maaf kak Ren, jangan dihiraukan. Mana mungkin ada yang seperti itu, aneh banget kan pikiranku,” ucapnya terkekeh pelan.
“Menurutku nggak aneh kok, aku sudah terbiasa mengalami hal seperti ini. Dulu, aku mengenal seseorang yang bahkan bisa berinteraksi dengan makhluk tak kasat mata, dengan kelebihannya ini dia berhasil mengungkap beberapa kasus dan membantu orang-orang yang tak bersalah mendapatkan keadilan.” Rendra tersenyum, duduk pada sebuah kursi yang sengaja diletakkan di teras toko untuk bersantai.
“Wah, keren sekali. Sungguh ada orang seperti itu, Kak? andai saja aku bisa berjumpa dengannya, mungkin dia bisa membantu keluarga kami.”
“Benar, tapi sayang. Sepertinya itu sulit,” jawab Rendra menatap langit. Tetes-tetes hujan masih turun membasahi dedaunan di halaman rumah.
“Kenapa? memangnya dia siapa?"
“Pokoknya ada, kamu hanya perlu tahu seperti itu saja. Terkadang, sebuah hubungan cukup terjalin lewat doa, tak perlu lagi berjumpa."
“Memangnya ada yang seperti itu?” Nadira berbisik lirih, ia sungguh tak mengerti dengan maksud lelaki di depannya ini. Bahkan wajah Rendra mendadak redup, seolah ada kesedihan di hatinya setelah berbicara seperti itu.
“Oh iya, ada perlu apa cari pak lek?” Nadira mencoba mengalihkan pembahasan mereka.
“Ehm, itu mau pesan telur lagi sebenarnya. Tapi kalau kang Jaya sakit ya sudah nanti aku bilang ke mbak Maria untuk matur bu nyai. Oh iya, apa ibu Sukma sudah memutuskan untuk meminta tolong pada Kyai?”
Nadira heran, entah kenapa hari ini Rendra mendadak banyak bicara padanya, meski pembahasan mereka tak jauh-jauh dari kepentingan pesantren dan masalah semalam, itu cukup membuat dirinya bahagia. Ia lantas duduk di depan Rendra dan berkata, “sepertinya sudah, tapi untuk kapannya belum tau Kak.”
Rendra mengangguk mengerti, “kalau saranku secepatnya saja. Biar cepat selesai, karena mendapat gangguan makhluk halus itu tentunya tidak menyenangkan.”
Nadira terkekeh, memukul pundak Rendra pelan, “tentu saja, kalau yang menyenangkan itu contohnya bisa duduk berdua dengan kak Rendra di tengah hujan seperti ini,” ucapnya malu-malu.
Wajah Rendra memerah, sebenarnya ia hanya masih merasa bersalah atas sikap kasarnya semalam yang telah membentak Nadira, tapi nyatanya gadis itu sungguh santai menghadapi kenyataan ini. Kini ia bahkan kembali menjadi Nadira yang ceria hanya karena Rendra datang menemuinya.
“Ya-ya sudah kalau gitu, aku pulang dulu.” Rendra berdiri hendak mengenakan kembali jas hujannya. Namun, suara air di atas genting rumah semakin berisik pertanda jika hujan yang turun pun semakin deras. Bahkan kilat halilintar bersahutan, dan saat itu Seno mengintip dari pagar rumahnya.
“Nadira, sama siapa kamu?”
“Ah, Om Seno. Ini sama kak Rendra, ibu sedang ke rumah sakit mengantar pak lek.”
“Loh, Wijaya kenapa?” kali ini suara mbah Sani berteriak dari dalam rumah, wanita tua itu berjalan pelan mengikuti putranya duduk di teras.
“Cuma demam Mbah,” teriak Dira, beralih menatap Rendra yang terlihat kebingungan karena keinginan pulang tentu terhalang karena hujan yang semakin deras.
“Kak Rendra tunggu aja disini sampai hujan reda.”
“Benar yang dikatakan Dira, kamu disitu aja, Rendra. Sekalian temani dia,” ucap Seno dari teras rumahnya. Rendra mengangguk canggung, lantas kembali duduk di kursi. Nadira tersenyum senang, ia lantas masuk ke dalam rumah untuk membuat teh hangat dan mengambil beberapa camilan.
Selain itu, Nadira juga mengambil handuk baru dari dalam lemari. Ia tadi melihat rambut dan pakaian Rendra basah, berpikir mungkin memberinya handuk adalah tindakan yang tepat. Diam-diam Nadira sangat bahagia dengan keadaannya kini, dan sejak hari ini ia memutuskan akan menyukai hujan.
Nadira kembali ke toko dengan handuk dan talam berisi camilan juga teh panas, Rendra yang melihatnya segera membantu gadis itu menghidangkan semua di atas meja. Setelah itu Dira memberikan handuk, meminta Rendra menyeka air di rambut dan wajahnya.
Keduanya saling terdiam canggung, bahkan Nadira merasakan detak jantungnya bertalu. Untuk mencairkan suasana, ia mengajak Rendra bermain game, dan untuk pertama kalinya lelaki itu setuju, kini keduanya larut dalam permainan, sesekali tertawa dan bersenda gurau bersama di tengah rinai hujan.
.
Tbc