NovelToon NovelToon
Menikahi Tunangan Impoten

Menikahi Tunangan Impoten

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Percintaan Konglomerat / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Beda Dunia / Cinta Seiring Waktu / Pelakor jahat
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: rose.rossie

Nayla, seorang gadis sederhana dengan mimpi besar, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis setelah menerima lamaran dari Arga, seorang pria tampan dan sukses namun dikelilingi rumor miring—katanya, ia impoten. Di tengah desakan keluarganya untuk menerima lamaran itu demi masa depan yang lebih baik, Nayla terjebak dalam pernikahan yang dipenuhi misteri dan tanda tanya.

Awalnya, Nayla merasa takut dan canggung. Bagaimana mungkin ia menjalani hidup dengan pria yang dikabarkan tak mampu menjadi suami seutuhnya? Namun, Arga ternyata berbeda dari bayangannya. Di balik sikap dinginnya, ia menyimpan luka masa lalu yang perlahan terbuka di hadapan Nayla.

Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Nayla menyadari bahwa rumor hanyalah sebagian kecil dari kebenaran. Tetapi, ketika masa lalu Arga kembali menghantui mereka dalam wujud seseorang yang membawa rahasia besar, Nayla dihadapkan pada pilihan sulit, bertahan di pernikahan ini atau meninggalkan sang suami.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17

Keringat dingin merayap di tengkuk Nayla. Ia menatap foto di tangannya. Pria itu—mirip Arga hingga dari garis rahang dan sorot matanya—tergeletak di jalanan dengan genangan darah. Tinta merah pada pesan di bawah foto seperti berdenyut, setiap kata menusuk pikirannya.

“Pilihanmu akan menentukan siapa yang selanjutnya.”

Sebuah suara di belakangnya membuat jantung Nayla melompat.

“Ada apa, Nayla?”

Ia mendongak, mendapati Arga berdiri di pintu, matanya menatap lurus ke foto di tangannya.

“Aku… aku tidak tahu apa ini,” gumam Nayla, berusaha menguasai dirinya.

Arga melangkah mendekat, menarik foto itu dari tangannya. Sekilas, wajahnya berubah tegang, lalu kembali datar seperti biasa.

“Ini bukan apa-apa,” ucapnya, suara tenang yang terlalu dipaksakan.

“Bukan apa-apa?” Nayla mengangkat suaranya. “Dia mirip sekali denganmu, Arga. Dan ini ancaman! Apa kau tidak melihatnya?”

Arga menghela napas panjang, lalu meletakkan foto itu di meja. “Percayalah, aku bisa mengatasinya. Kau tidak perlu khawatir.”

“Bagaimana aku bisa tidak khawatir?” Nayla menunjuk pesan itu. “Apa maksudnya ‘pilihanmu’? Apa yang mereka inginkan darimu?”

“Aku akan jelaskan nanti,” ucap Arga, menghindari tatapannya. “Sekarang aku harus pergi.”

“Pergi ke mana?”

“Clara memintaku menemuinya.”

Nama itu langsung memicu kemarahan di dada Nayla. “Clara lagi? Kau serius, Arga? Setelah semua yang dia lakukan?”

“Dia punya jawaban yang aku butuhkan,” jawab Arga sambil berjalan keluar kamar.

Nayla bergegas mengejarnya, tetapi Arga sudah menghilang di balik pintu depan.

Tiba - tiba ponselnya bergetar, memecah keheningan. Sebuah pesan masuk berbunyi, "Kau membiarkannya pergi. Itu kesalahan pertama."

Nayla membaca pesan itu berulang kali, matanya melebar.

Kesalahan pertama?

Ia menggigit bibirnya, lalu dengan impulsif meraih jaketnya dan keluar rumah. Jika Arga tidak mau berbicara, ia akan mencari tahu sendiri.

Restoran kecil itu terpencil, dengan pencahayaan redup yang menciptakan suasana intim. Nayla berdiri di luar, menyelinap di balik dinding kaca yang sedikit buram. Di dalam, ia melihat Arga duduk berhadapan dengan seorang wanita.

Clara.

Wanita itu mengenakan gaun sederhana namun anggun, rambutnya tertata sempurna. Senyumnya kecil, tetapi tatapan matanya memancarkan kepercayaan diri yang membuat Nayla merasa kalah sebelum bertarung.

Arga tampak berbicara dengan ekspresi serius, tetapi Clara hanya tersenyum, sesekali menyentuh tangannya.

Nayla mengepalkan tangannya. Jantungnya berdetak kencang. Ia tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tetapi ekspresi Clara seolah-olah mengatakan bahwa ia menang.

Tiba-tiba, pintu restoran terbuka, dan suara tawa lembut Clara mengalir keluar bersama udara malam. Ia memandang Nayla sekilas, senyumnya melebar.

“Nayla?” Clara memiringkan kepalanya, pura-pura terkejut. “Apa yang kau lakukan di sini?”

Arga berbalik, ekspresinya langsung berubah. “Nayla?”

Nayla tidak tahu harus menjawab apa. Seluruh tubuhnya terasa panas, tetapi bibirnya membeku. Clara berjalan mendekatinya, memperlihatkan senyum ramah yang terasa palsu.

“Kau tidak perlu khawatir,” katanya, suaranya seperti madu yang menetes. “Aku hanya membantu Arga mengatasi masalah kecil.”

Nayla tidak bisa menahan diri. “Masalah apa yang membuat suamiku harus bertemu dengan mantannya tanpa sepengetahuanku?”

Clara tertawa kecil, seolah pertanyaan itu adalah lelucon. “Arga belum memberitahumu, ya? Tentu saja.”

“Cukup, Clara,” potong Arga. “Nayla, mari kita bicara di rumah.”

Namun, Clara memegang lengan Arga, membuat Nayla semakin panas. “Arga, aku pikir kau perlu menyelesaikan ini denganku dulu. Lagipula, waktumu tidak banyak.”

“Apa maksudmu?” Nayla menatap Clara tajam.

Clara menatapnya dengan ekspresi penuh arti. “Oh, kau akan tahu. Cepat atau lambat.”

---

Perjalanan pulang bersama Arga dipenuhi keheningan yang menyakitkan. Nayla memeluk tubuhnya sendiri, menatap keluar jendela tanpa berkata sepatah kata pun.

Setelah sampai di rumah, Nayla langsung menuju kamar tanpa menunggu Arga. Ia menutup pintu dengan keras, berusaha menahan air mata yang menggenang.

Arga mengetuk pintu beberapa saat kemudian. “Nayla, aku tahu kau marah. Tapi tolong dengarkan aku.”

Ia membuka pintu perlahan, menatap suaminya dengan mata memerah. “Apa lagi yang harus aku dengarkan, Arga? Clara jelas-jelas ingin menghancurkan kita, dan kau membiarkannya!”

“Aku tidak membiarkannya,” jawab Arga, suaranya lembut. “Aku mencoba melindungi kita.”

“Melindungi?” Nayla mendekat, menantangnya. “Bagaimana bertemu diam-diam dengan Clara bisa disebut melindungi?”

Arga menghela napas, lalu duduk di tepi ranjang. “Clara tahu sesuatu tentang foto itu. Tentang siapa yang mengirimnya dan kenapa.”

“Dan kau percaya padanya?” Nayla hampir tertawa. “Dia wanita yang sama yang menyebarkan rumor tentangmu. Tentang kita. Kau benar-benar pikir dia bisa dipercaya?”

“Dia bukan musuh kita,” jawab Arga tegas.

Nayla menatapnya tak percaya. Sebelum ia bisa membalas, ponselnya kembali bergetar. Ia mengambilnya dengan tangan gemetar, membaca pesan yang baru masuk.

"Kau tidak percaya padanya? Bagus. Tapi jika kau tidak bertindak, kau akan kehilangan segalanya."

Pesan itu diikuti dengan sebuah gambar, Clara sedang tersenyum di depan pintu rumah mereka.

Nayla menatap layar ponselnya, tubuhnya membeku. Gambar Clara di depan pintu rumah mereka terasa seperti ancaman tetapi suaminya masih duduk di tepi ranjang, terlalu larut dalam pikirannya sendiri untuk menyadari ketakutannya.

“Ada apa lagi?” Arga akhirnya bertanya. Namun, ketika Nayla tak segera menjawab, ia bangkit dan mendekat. “Nayla, tunjukkan padaku.”

Dengan tangan gemetar, Nayla menyerahkan ponsel itu. Ia memerhatikan ekspresi Arga berubah seketika, rahangnya mengeras dan matanya menyipit saat melihat gambar Clara.

“Ini…” Arga menggantungkan kalimatnya, lalu mendongak menatap Nayla. “Pesan ini dikirim sekarang?”

Nayla mengangguk. “Arga, dia ada di sini. Di luar. Apa yang sebenarnya dia inginkan dari kita?” suaranya hampir tak keluar.

Arga membuang napas kasar, segera berbalik menuju pintu. “Aku akan bicara dengannya.”

“Tidak!” Nayla menarik lengan Arga, panik. “Kita tidak tahu apa yang dia rencanakan. Bagaimana kalau ini jebakan?”

“Kalau aku tidak pergi, kita tidak akan pernah tahu. Aku tidak akan membiarkan dia membuatmu merasa seperti ini lagi,” jawab Arga, suaranya tegas.

Namun, sebelum mereka sempat mengambil langkah berikutnya, suara bel pintu memecah keheningan.

Nayla mematung, menatap pintu kamar mereka dengan dada berdegup kencang. “Itu dia…” bisiknya.

Arga mendekati pintu kamar, melirik ke lorong yang menuju pintu depan. Ia bergerak dengan hati-hati, hampir tanpa suara, sementara Nayla mengikuti di belakangnya, tangannya erat menggenggam ponselnya.

Saat Arga mengintip dari jendela kecil di pintu depan, ekspresinya menjadi tegang. Nayla berdiri di belakangnya, merasakan ketegangan yang menyelimuti udara.

“Dia sendiri,” bisik Arga, lalu ia membuka pintu dengan satu gerakan cepat.

Clara berdiri di ambang pintu, senyum kecilnya tidak memudar, meski matanya menyiratkan sesuatu yang jauh lebih tajam. “Malam yang indah, bukan?” katanya santai, seperti seorang teman lama yang mampir untuk berbicara.

“Clara, apa yang kau lakukan di sini?” Arga bertanya tajam, tubuhnya sedikit maju, melindungi Nayla di belakangnya.

Clara hanya mengangkat bahu, “Aku ingin memastikan kalian membaca pesan terakhirku.” Ia menoleh ke arah Nayla, menatapnya dari ujung kepala hingga kaki. “Dan kau, Nayla, bagaimana rasanya hidup dengan pria yang menyimpan terlalu banyak rahasia?”

“Cukup,” potong Arga. “Katakan apa yang kau mau, atau aku akan memanggil polisi.”

Clara terkekeh, langkah kecilnya mendekati mereka. “Oh, Arga, kita tahu polisi tidak akan berguna dalam situasi ini.” Ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya—amplop lain, kali ini dengan noda merah samar di tepinya.

Arga mengambil amplop itu dengan gerakan cepat, membukanya di bawah cahaya lampu teras. Di dalamnya, ada satu lembar kertas dengan tulisan tangan yang kasar.

"Kebenaran dimulai dengan pengorbanan. Siapkah kau menyerahkan semuanya untuk melindungi dia?"

Clara menyeringai. “Aku hanya pengantar pesan, Arga. Tapi kau tahu, seseorang akan sangat senang jika kau memilih untuk tetap diam.”

“Siapa yang mengirimmu?” Arga mendekat, suaranya semakin dingin.

Clara tidak menjawab. Ia mundur perlahan, senyum puas di wajahnya. “Waktumu tidak banyak,” katanya sebelum berbalik dan melangkah pergi, menghilang ke dalam bayangan malam.

Arga menutup pintu dengan keras, wajahnya penuh kemarahan. Ia memandangi pesan itu lagi, lalu beralih ke Nayla yang berdiri terpaku di tempatnya.

“Kau tahu sesuatu yang tidak kau katakan padaku,” kata Nayla dengan suara rendah, nyaris seperti bisikan.

Arga membuka mulut, hendak menjawab, tetapi suara lain menghentikannya—suara kaca pecah dari arah dapur. Keduanya saling berpandangan.

“Apa itu?” Nayla bertanya, suaranya bergetar.

Arga meraih benda terdekat yang bisa dijadikan senjata, sebuah vas kecil di meja dekat pintu. “Tetap di sini,” perintahnya, lalu berjalan menuju sumber suara.

Namun, sebelum ia sampai di dapur, sebuah bayangan bergerak cepat melewati lorong, dan sesosok pria muncul di hadapan mereka. Wajahnya sebagian tertutup topeng hitam, tetapi mata itu—mata yang penuh kebencian—langsung tertuju pada Nayla.

“Pilihanmu akan menentukan siapa yang selanjutnya,” ucap pria itu.

1
Mumtaz Zaky
emang cerita horor gituh??
roserossie: nggak kak, biar tegang pembacanya 😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!