Karina kembali membina rumah tangga setelah empat tahun bercerai. Ia mendapatkan seorang suami yang benar-benar mencintai dan menyayanginya.
Namun, enam bulan setelah menikah dengan Nino, Karina belum juga disentuh oleh sang suami. Karina mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada suaminya dan mulai mencari tahu.
Hingga suatu hari, ia mendapati penyebab yang sebenarnya tentang perceraiannya dengan sang mantan suami. Apakah Karina akan bertahan dengan Nino? Atau ia akan mengalami pahitnya perceraian untuk kedua kalinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fahyana Dea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka yang Terpendam
Karina merasa Nino berbeda. Dia tiba-tiba menyeretnya pulang setelah Karina selesai membeli jus. Nino tampak menahan amarah sejak mereka meninggalkan PIK. Beberapa kali dia menarik napas dalam dan wajahnya terlihat memerah.
Karina tidak berani bertanya. Namun, ia sangat penasaran kenapa Nino seperti ini. Apa karena mereka bertemu dengan Hardi? Karina melihat tangan Nino yang memegang setir dengan sangat erat, mereka juga tidak berbicara apa pun selama di perjalanan.
"Mas."
Nino tidak menjawab. Karina menyentuh pundak pria itu dan seketika Nino menoleh.
"Kamu kenapa?"
Nino tergagap. Ia kembali memfokuskan pandangannya ke depan. "Gak apa-apa, kok."
Karina menurunkan tangannya. Mungkin nanti saja ia menanyakannya. Ia mengalihkan pandangan keluar, menatap lampu jalanan yang temaram menemani laju kendaraan mereka.
Beberapa saat kemudian, mereka sampai di rumah. Nino turun terlebih dahulu, disusul oleh Karina. Nino seperti ingin berbicara sesuatu saat mereka sudah berada di dalam.
"Karin …." Nino tidak melanjutkan kata-katanya. Ia tampak ragu.
"Kenapa, Mas?"
"Aku boleh minta waktu untuk sendiri?"
Karina sedikit terkejut dengan permintaan itu. Namun, ia mengangguk walau ragu-ragu.
"Maaf aku belum bisa cerita apa pun sama kamu."
Karina memaksakan seulas senyum. "Gak apa-apa, Mas. Aku bisa ngerti, kok."
Nino tersenyum. Lalu, ia berbalik dan berjalan menuju ruangan kerjanya. Karina memandangi punggung pria itu. Ia merasa khawatir sekarang.
Nino menutup pintu, ia melangkah pelan menuju meja kerjanya. Tangannya bertumpu pada pinggiran meja. Nino merasa tubuhnya lemas, napasnya mendadak dangkal. Ia terperenyak, lalu bersandar pada meja. Pikirannya tidak bisa berpaling dari kejadian enam tahun lalu. Ia masih ingat jika pria yang tidak sengaja dilihat olehnya tadi, telah divonis delapan tahun penjara karena perbuatan bejatnya pada Clarissa. Namun, Nino sama sekali tidak terima dengan keputusan hukuman yang terlalu ringan itu.
Dia baru menjalani setengah dari masa tahanannya, tetapi kenapa ia melihatnya berkeliaran hari ini? Tidak mungkin dia sudah bebas. Nino tidak terima jika pria kurang ajar itu bebas lebih cepat. Itu sama sekali tidak adil. Dia sudah membuat hidup Clarissa hancur dan akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis. Itu benar-benar tidak setimpal.
Tangannya mengepal dengan erat. Terasa ada yang mengganjal di dadanya. Ia meninju lantai sekuat tenaga tanpa memedulikan rasa sakit yang kini menjalar di tangannya. Isakannya tertahan, tetapi ternyata ia tidak bisa sekuat itu menahan emosi yang sudah berkumpul di dadanya.
Akhirnya, Nino berteriak hingga suaranya bergema di ruangan itu. Ia tidak peduli lagi Karina akan mendengarnya. Ia ingin mengeluarkan semua yang mengganjal di dadanya.
"BAJINGAN! BANGSAT!" Nino mengumpat di tengah teriakannya. Ia kembali meninju lantai berkali-kali.
***
Karina duduk di ruang tengah tanpa menyalakan TV. Entah apa yang ia lihat, tatapannya tidak benar-benar mengarah ke satu titik. Hanya hening yang menemaninya dalam beberapa waktu terakhir.
Karina mengkhawatirkan Nino. Ia tidak tahu apa yang terjadi, tetapi Karina tahu pasti jika itu berhubungan dengan masa lalunya. Karina tidak bisa memaksa agar Nino berbicara padanya. Ia tidak ingin membuat keadaannya lebih tertekan. Walaupun akhir-akhir ini dia terlihat baik-baik saja, tetapi psikisnya tidak. Nino hanya berusaha terlihat baik agar Karina tidak khawatir.
Karina masih sering melihatnya mimpi buruk ketika tidak sengaja terbangun di tengah malam, atau ia merasa tidak nyaman saat saat Karina harus bepergian sendirian atau ketika meninggalkan Karina di rumah sendiri. Seperti saat Karina sakit kemarin, Karina rutin mengirim pesan dalam jarak waktu satu jam sekali. Ia bertanya apa saja, yang penting bisa mengalihkan pikiran negatif Nino karena meninggalkan Karina sendiri. Tentunya, ia bertanya pada Amira terlebih dahulu. Apa yang harus dilakukan.
Karina membuang napas pelan. Ia melepas blazernya, juga ID card karyawan yang masih tergantung di lehernya. Namun, tiba-tiba ia mendengar suara teriakan dari ruang kerja Nino. Karina segera bangkit dan berlari menuju tempat itu.
Karina membuka ruang kerja Nino dan melihat pria itu duduk di lantai, bersandar pada meja. Pria itu terlihat sangat frustrasi dengan tangis yang tertahan. Karina segera menghampirinya, lalu duduk berlutut di hadapan pria itu.
Ruangan itu masih gelap, sehingga hanya memanfaatkan cahaya lampu dari jendela yang tidak bisa sepenuhnya menerangi seluruh ruangan. Karina bisa melihat samar-samar wajah Nino yang mendongak ke arahnya. Sisa-sisa air mata masih terlihat di wajah pria itu dan matanya masih berkaca-kaca. Karina juga tidak bisa menyembunyikan perasaan sedihnya, karena melihat suaminya seperti ini.
"Maaf, Karin," bisik Nino dengan suara lirih.
Karina tidak bisa lagi menahan rasa pilunya. Ia memeluk suaminya, Karina bisa merasakan tubuh pria itu gemetar dan Karina mempererat pelukannya.
Setelah semuanya cukup tenang, Karina menyalakan stand lamp yang berada di samping meja itu untuk penerangan mereka. Nino bersandar pada meja seraya memejamkan mata. Ketika Karina akan kembali duduk, ia melihat tangan kanan Nino yang membiru.
Nino membuka mata saat merasakan Karina yang memegang tangannya. Karina kembali berkaca-kaca melihat luka memar di tangan suaminya.
"Aku gak tahu masalah apa yang sedang kamu hadapi sekarang, Mas." Karina mengangkat wajah, menatap Nino. "Tapi tolong, jangan seperti ini lagi. Jangan jadikan hal ini awal dari sesuatu yang membuat kamu menyakiti diri kamu sendiri." Karina berusaha mempertahankan suaranya agar tidak bergetar. Namun, ternyata suaranya malah terdengar seperti berbisik. Ia meraih tangan suaminya, lalu menciumnya. "Aku selalu ada buat kamu, Mas. Selalu."
Nino merutuki tindakan bodohnya beberapa saat lalu. Ia tidak bisa melampiaskan amarahnya pada hal lain. Ia juga takut jika terus menahannya, Karina yang akan jadi sasaran. Nino tidak mau seperti itu, ia tidak mau menyakiti wanita itu.
Nino tahu, Karina pasti penasaran pada semua yang sudah terjadi pada Nino selama ini. Namun, Nino sungguh belum siap untuk bercerita semuanya.
"Aku merasa gak tahu apa-apa tentang kamu, Mas." Ucapan yang tadinya terus ditahan akhirnya keluar dari mulut wanita itu. "Aku merasa membiarkan kamu memikul beban ini sendirian. Aku merasa gak berguna." Karina menunduk. Air matanya jatuh menetes. "Aku kira … gak akan apa-apa jika aku gak mengetahui segalanya, tapi ternyata … aku merasa bukan orang sepenting itu dalam hidup kamu."
Nino diam. Entah bagaimana ia harus menanggapi sekarang. Karina tidak sepenuhnya salah berkata seperti itu, Nino menyadari semuanya. Seharusnya, sejak awal ia berani untuk bicara. Karina sendiri, akhirnya merasa bersalah karena berbicara hal itu dalam keadaan seperti ini. Ia sempat takut jika ucapannya menambah Nino tertekan.
"Maaf karena aku bicara seperti ini sama kamu, Mas." Karina masih memegang tangan Nino dan menatap luka lebamnya. "Tapi aku merasa harus mengatakannya walau waktunya gak tepat."
Nino bergerak maju, lalu mendekap Karina. "Harusnya aku yang minta maaf," bisik Nino lirih. "Maaf, Karina. Maaf karena aku sudah membuat kamu terseret dalam hidupku yang seperti ini."
***
Nino sedang menyeduh kopi ketika Karina tiba di dapur. Karina melirik tangan Nino yang terbalut perban elastis. Semalam, Karina sudah mengompres dan memberikannya obat pereda nyeri. Sekarang pria itu tampak baik-baik saja, walau Karina yakin, memar di tangannya itu terasa sakit.
Nino berbalik dan menemukan Karina berdiri di tak jauh darinya. Seulas senyum terbit di bibirnya.
"Pagi, Sayang." Nino menyesap kopinya setelah duduk di kursi meja makan. Lihat! Dia masih bisa tersenyum cerah dan bersikap tenang setelah kejadian semalam. Jika Karina yang mengalami, mungkin ia tidak akan keluar kamar seharian. Walaupun Nino juga pernah mengalaminya, tetapi sekarang lebih bisa mengontrol diri.
Karina menarik kursi di samping Nino, lalu duduk. "Tangan kamu gak apa-apa, Mas?"
Nino menoleh. Ia kembali tersenyum. "Gak apa-apa, kok."
"Maaf ya, hari ini aku gak bisa antar kamu ketemu Mbak Amira. Kerjaan aku lagi diburu-buru. Waktu sakit kemarin, orang yang handel kerjaanku gak bisa selesai cepet."
Nino mengangguk. "Gak apa-apa. Aku izin dari kantor setelah setengah hari masuk kerja."
"Kamu tiap minggu bakalan ada izin terus, Mas. Perusahaan kamu gak apa-apa kamu banyak izin?" Karina khawatir karena takut Nino terkena surat peringatan, mengingat perusahaan tempatnya bekerja sangat ketat terkait kehadiran karyawan.
Nino tersenyum. Ia mengubah posisi duduknya menghadap Karina, lalu memegang tangan wanita itu. "Aku udah bicarain ini sama manajer HRD, dan mereka memaklumi keadaan aku."
Karina mengernyit. "Mereka tahu, Mas?"
Nino terkekeh. "Ya, udah pasti mereka tahu, Sayang. Mereka udah tahu riwayat kesehatan aku sebelum resmi bekerja di sana. Mereka aware terhadap kesehatan mental, jadi selama aku bicara tentang keadaanku sekarang, mereka memahaminya. Karena itu sangat penting."
"Oh." Karina mengangguk mengerti. "Tadinya … aku khawatir kamu kena SP."
"Gak akan, kamu tenang aja." Nino melirik jam tangannya. "Ya, udah, cepet sarapan. Takutnya kamu telat lagi kayak kemarin."
Karina mengangguk. Kemudian, ia mengambil dua helai roti dan mengoleskan selai stroberi.
***
Karina berjalan terburu-buru dari pos satpam setelah Nino mengantarnya, ia terjebak macet karena ada perbaikan jalan. Mungkin hari-hari berikutnya, ia harus berangkat lebih pagi dari biasanya.
Ia melihat lift yang akan tertutup, Karina segera berlari untuk menahan lift tersebut. Liftnya kembali terbuka, tetapi Karina merasa menyesal sudah menahannya. Di dalam sana sudah ada Kevin. Dan tentu saja, dia sendirian.
Sial banget gue pagi ini. Karina menggerutu dalam hati.
Terpaksa ia harus tersenyum dan menyapa pria itu. "Pagi, Pak."
Kevin membalasnya dengan senyum cerah. "Pagi."
Karina berjalan menuju ke belakang pria itu. Ia memandangi punggung atasannya dengan tatapan kesal. Dia memasukkan tangannya ke saku celana, banyak yang mengatakan jika pria itu sudah tampan walau dipandang dari belakang. Ya, Karina mengakui itu. Tubuhnya juga cukup berisi, sehingga membuatnya terlihat kekar.
Karina tidak terfokus pada itu, ia melihat bayangan di sekitar punggung karena kemeja putih yang dipakai pria itu cukup ketat dan tidak terlalu tebal. Karina menyipitkan mata untuk memperjelas objek di depannya.
Tato?
Bola matanya terangkat menatap kepala pria itu. Ia khawatir jika Kevin menyadari tatapan intens pada punggungnya.
Dia punya tato?
Karina kembali memandangi punggung Kevin, lalu ia melihat sedikit tatonya terlihat di bawah siku karena lengan kemejanya digulung hingga siku.
Sampai tangan?
Perusahaannya tidak melarang karyawannya untuk bertato, karena menurut mereka itu adalah seni. Karina juga tidak mempermasalahkan, tetapi kenapa ia ngeri sendiri melihatnya.
"Karina?"
Karina tersentak, karena takut ketahuan sudah mengintip bagian tubuhnya.
"Iya, Pak?" Karina menjawab cepat seraya menatap pria itu yang sudah menoleh padanya.
Kevin membalik tubuhnya sehingga menghadap sepenuhnya pada Karina. Ia berjalan selangkah lebih dekat dan Karina mundur sampai membentur dinding lift. Kenapa ia merasa laju lift ini lambat, ia berharap akan segera sampai ke ruangan tempatnya bekerja.
Kevin menumpukan tangannya di dinding lift, sehingga Karina bisa melihat cukup jelas tatonya. Kevin sedikit membungkuk untuk menatap Karina lebih dekat. Karina bergeser untuk menghindari tatapannya. Namun, ternyata dia tidak membiarkan itu, ia menumpukan sebelah tangannya lagi sehingga Karina tidak bisa menghindar. Karina memalingkan wajah saat tatapan mereka kembali bertemu.
"Ternyata kamu istrinya Nino?" Dia mendengkus dengan ekspresi mencemooh.