seorang gadis kecil yang saat itu hendak pergi bersama orang tua ayah dan ibunya
namun kecelakaan merenggut nyawa mereka, dan anak itu meninggal sambil memeluk bonekanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rika ananda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kematian Lita dan Arsy
Bruno menarik tubuh Lita dengan kasar, tangannya mencengkeram lengan Lita dengan kuat. Lita merintih kesakitan, tubuhnya bergetar hebat. Bruno menatap Lita dengan tatapan dingin, penuh amarah. Dia mengangkat tubuh Lita, seolah-olah Lita hanyalah boneka tanpa daya.
Dengan gerakan cepat dan penuh tenaga, Bruno melemparkan tubuh Lita ke lantai. Tubuh Lita membentur lantai dengan keras, suara benturan itu menggema di ruangan. Lita merasakan sakit yang menusuk tulang, rasa sakit yang membuatnya hampir pingsan. Dia terbatuk, mencoba menarik napas, tetapi dadanya terasa sesak.
Darah segar mengalir dari sudut bibir Lita, membasahi lantai. Dia mencoba untuk bangkit, tetapi tubuhnya terasa lemas, tak berdaya. Bruno berdiri di atasnya, menatap Lita dengan tatapan yang penuh kebencian. Lita hanya bisa memejamkan mata,
menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ketakutan yang luar biasa memenuhi hatinya.
Arsy menyaksikan semua itu dengan mata terbelalak, tubuhnya gemetar hebat. Dari tempatnya terbaring, dia melihat dengan jelas bagaimana Bruno dengan kejamnya melemparkan Lita ke lantai. Rasa sakit yang menusuk memenuhi dadanya, bukan hanya karena melihat penderitaan istrinya, tetapi juga karena menyadari betapa lemah dan tak berdayanya dirinya.
Tubuhnya sendiri terasa remuk, nyeri yang hebat menjalar di sekujur tubuhnya. Darah segar mengalir dari luka-lukanya, membasahi lantai. Dia mencoba untuk bergerak, untuk berteriak meminta tolong, tetapi tenaganya telah terkuras habis. Dia hanya bisa terbaring diam, menyaksikan adegan mengerikan tersebut dengan mata yang tak berdaya.
Setiap gerakan Bruno, setiap pukulan, terasa seperti pukulan yang juga menimpa dirinya. Dia merasa seperti sedang di ujung maut, terjebak dalam situasi yang tak mungkin dia hindari. Rasa putus asa yang mendalam memenuhi hatinya, dipadukan dengan rasa sakit yang luar biasa. Dia hanya bisa berharap, semoga seseorang datang untuk menyelamatkan mereka, sebelum semuanya terlambat. Air mata mengalir deras di pipinya, mencampur dengan darah yang mengalir dari lukanya. Dia merasa sangat kecil, sangat lemah, dan sangat tak berdaya di hadapan kekejaman Bruno.
Di tengah rasa sakit yang luar biasa dan keputusasaan yang mendalam, sesuatu yang lain mulai merasuk ke dalam kesadaran Arsy. Bayangan samar-samar, suara bisikan yang dingin dan menusuk, mulai bermunculan di benaknya. Dia menyadari, ini bukan sekadar rasa sakit fisik. Ada sesuatu yang lebih mengerikan, sesuatu yang lebih berat daripada rasa sakit di tubuhnya.
Wajah Angelica, keponakannya yang telah lama meninggal, muncul di pikirannya. Arsy mengingat dengan jelas bagaimana dia telah mengakhiri hidup Angelica dengan cara yang keji—mempermainkan rem mobilnya hingga blong. Dia ingat bagaimana Angelica menjerit, bagaimana tubuhnya terpelanting, bagaimana darah segar memenuhi jalanan.
Sekarang, di saat-saat terakhir hidupnya, Arsy merasakan kehadiran Angelica. Bukan kehadiran fisik, tetapi kehadiran yang lebih nyata, lebih dingin, dan lebih mengerikan. Dia merasakan tatapan Angelica yang penuh amarah, yang penuh dengan dendam.
"Ini karma," bisik Arsy dalam hati, suaranya hampir tak terdengar. Dia menyadari bahwa penderitaan yang dialami dirinya dan Lita adalah balasan atas perbuatan kejinya. Angelica, arwah yang penuh amarah, sedang menghantui mereka. Rasa takut yang luar biasa memenuhi hatinya, campur aduk dengan penyesalan yang mendalam. Dia tahu, dia telah melakukan kesalahan yang tak terampuni. Dan sekarang, dia harus membayarnya dengan nyawanya sendiri. Dia merasakan kehadiran Angelica semakin kuat, semakin mencekam, menandakan bahwa akhir hidupnya telah tiba.
Detik-detik berlalu dengan lambat, setiap detik terasa seperti satu abad. Arsy dan Lita terbaring di lantai, tubuh mereka penuh luka, napas mereka semakin pendek dan dangkal. Bruno berdiri di atas mereka, menatap dengan tatapan dingin dan tanpa ekspresi. Dia telah melampiaskan amarahnya, tetapi kepuasan tak terlihat di wajahnya. Hanya ada kekosongan.
Lita merintih pelan, tangannya meraih tangan Arsy yang dingin dan berlumuran darah. Arsy berusaha untuk menggenggam tangan Lita, untuk memberikan sedikit kekuatan, tetapi tenaganya hampir habis. Mereka berdua tahu, ini adalah akhir. Kematian perlahan-lahan menelan mereka, menarik nyawa mereka sedikit demi sedikit.
Mata Lita mulai sayu, pandangannya menjadi kabur. Dia melihat wajah Arsy, wajah yang penuh dengan luka dan keputusasaan. Air mata mengalir dari sudut matanya, mencampur dengan darah yang mengering di pipinya. Dia mencoba untuk berbicara, untuk mengucapkan kata-kata terakhir, tetapi hanya suara desisan yang keluar dari bibirnya.
Arsy juga merasakan nyawanya yang semakin menipis. Dia melihat wajah Lita, wajah yang dicintainya, wajah yang kini tampak pucat dan penuh penderitaan. Dia ingin memeluk Lita, untuk melindungi istrinya dari penderitaan lebih lanjut, tetapi dia tak berdaya. Dia hanya bisa menatap Lita, dengan mata yang penuh dengan cinta dan penyesalan.
Keheningan menyelimuti ruangan, hanya diiringi oleh suara nafas yang semakin lemah dan desisan-desisan yang sesekali terdengar dari bibir Arsy dan Lita. Mereka berdua meregang nyawa di tangan Bruno, dibiarkan mati perlahan-lahan, tanpa belas kasihan. Kematian datang dengan tenang, tetapi juga dengan kekejaman. Dan di atas mereka, Bruno berdiri, menyaksikan akhir tragis dari sepasang suami istri yang malang.
Setelah Arsy dan Lita benar-benar tak bernyawa, Bruno tertawa. Bukan tawa yang riang, tetapi tawa yang dingin, keras, dan hampa. Tawa yang terdengar seperti derai es yang beradu, menciptakan suasana yang lebih mengerikan daripada keheningan sebelumnya. Tawa itu penuh dengan kepuasan sadis, tetapi juga dengan kesepian yang mendalam. Seolah-olah dengan membunuh Arsy dan Lita, Bruno telah melenyapkan sesuatu yang sangat penting baginya, tetapi tanpa menyadari kehilangan itu sendiri.
Setelah beberapa saat tertawa, Bruno berhenti. Dia menatap tubuh Arsy dan Lita yang tergeletak tak berdaya di lantai, tanpa ekspresi. Kemudian, dengan gerakan yang tiba-tiba dan tak terduga, dia mengangkat kedua tangannya. Tubuhnya mulai melayang perlahan, menjauh dari tubuh Arsy dan Lita. Seolah-olah dia bukan manusia biasa, tetapi makhluk supranatural yang memiliki kekuatan untuk terbang.
Dia melayang ke atas, menjauh dari ruangan yang dipenuhi dengan bau darah dan kematian. Dia meninggalkan Arsy dan Lita dalam kesunyian, dalam kematian yang tragis. Tawa terakhirnya masih bergema di ruangan itu, menjadi pengiring kematian yang mengerikan. Bayangannya menghilang di balik kegelapan, meninggalkan keheningan yang membeku dan penuh dengan rasa takut. Kejahatan yang telah dia lakukan akan tetap tinggal, menjadi tanda kematian yang tak terlupakan.