Genre: Action, Drama, Fantasy, Psychological, System
Seluruh siswa kelas 3A tidak pernah menyangka kalau hidup mereka akan berubah drastis ketika sebuah ritual aneh menarik mereka ke dunia lain. Diberikan gelar sebagai "Pahlawan Terpilih," mereka semua mendapat misi mulia untuk mengalahkan sang Raja Iblis dan menyelamatkan dunia asing tersebut. Di antara mereka ada Hayato, siswa yang dikenal pendiam namun selalu memiliki sisi perhatian pada teman-temannya.
Namun, takdir Hayato justru terpecah dari jalur yang diharapkan. Ketika yang lain menerima berkat dan senjata legendaris untuk menjadi pahlawan, Hayato mendapati dirinya sendirian di ruangan gelap. Di sana, ia bertemu langsung dengan sang Raja Iblis—penguasa kegelapan yang terkenal kejam. Alih-alih membunuhnya, Raja Iblis memberikan tawaran yang tak bisa Hayato tolak: menjadikannya "Villain Sejati" untuk menggantikan posisinya dalam tiga tahun mendatang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nov Tomic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
— BAB 17 — Kebenaran Part 2 —
Lorong Dungeon yang gelap mendadak terasa lebih sesak. Napasku berat, dada ini seperti terhimpit batu besar. Luka-luka yang belum sempat sembuh sepenuhnya—membuat setiap gerakan terasa menyiksa.
Di hadapanku, Kenta berdiri dengan posisi siap menyerang. Bola api di tangannya menyala dengan terang, sorot matanya dingin, penuh keyakinan. Ayana berada tidak jauh darinya, tongkat sihir yang dihiasi kristal hijau menggenggam erat di tangannya. Sisanya, teman-teman sekelasku, berbaris membentuk formasi setengah lingkaran, mengepungku dari segala arah.
"Kau sudah kalah, Hayato. Tidak ada tempat untukmu melarikan diri," ujar Kenta dengan suara yang bergema di dalam ruangan batu ini.
Aku diam, berusaha mencari celah, tetapi satu-satunya hal yang bisa kulakukan hanyalah mundur hingga punggungku menempel di dinding dingin. Tidak ada jalan keluar.
"Kenapa?" tanyaku, meskipun tahu jawabannya tidak akan memberiku apa-apa. "Kenapa kalian melakukan ini? Aku tidak pernah meminta untuk menjadi bagian dari kekacauan ini."
Ayana menatapku, ekspresinya tak berubah. Suaranya terdengar lembut, tetapi menusuk seperti belati. "Karena kau bukan salah satu dari kami. Kau... calon Raja Iblis. Ini takdir kami untuk mengalahkanmu, Hayato."
Kenta mengangkat tangan kanannya yang menyala, siap melancarkan serangan mematikan. "Sudah cukup bicaranya. Selamat tinggal, Hayato."
Bola api raksasa melesat cepat ke arahku. Aku hanya bisa mengangkat tanganku, refleks mencoba melindungi diriku. Namun, saat itu juga, keajaiban terjadi.
Sistemku, yang sebelumnya diam seperti batu, tiba-tiba muncul. Layarnya bersinar terang, menutupi pandanganku dengan huruf-huruf merah menyala:
[Syarat Terpenuhi!]
[Skill Null diaktifkan: Gesek kedua telapak tangan ke atas untuk menggunakan skill!]
Jantungku berdegup kencang. Skill Null? Itu yang muncul di kristal pengujian sebelumnya, hal yang membuat semua orang menganggapku lemah. Tapi, tidak ada waktu untuk ragu. Bola api itu semakin mendekat.
Dengan kedua tangan gemetar, aku menggesekkan telapak tanganku ke atas sesuai instruksi.
Saat itulah segalanya berubah.
Gelombang energi dingin mengalir dari tubuhku, menghantam ruangan seperti angin badai. Cahaya gelap merembes dari tanah, merambat ke dinding dan langit-langit, menggantikan batu kasar dengan permukaan hitam mengilap, seperti cermin yang memantulkan kehampaan.
Ruangan Dungeon itu perlahan-lahan memudar. Dinding-dindingnya lenyap, dan yang tersisa hanyalah kekosongan tanpa batas. Garis-garis energi gelap mengalir di udara, menciptakan pola-pola abstrak yang tidak pernah kulihat sebelumnya.
Aku berdiri di tengah-tengah barier baru ini, auraku terasa berbeda. Sebuah suara yang tenang dan dingin bergema di dalam pikiranku, seperti bisikan dari kehampaan itu sendiri:
[Skill Null: Kehampaan Tanpa Batas telah aktif.]
[Semua entitas dalam area ini tunduk pada hukum kehampaan. Tidak ada yang bisa bergerak, menyerang, atau melawan kecuali yang memiliki kekuatan yang setara.]
Kenta, Ayana, dan teman-teman sekelasku terdiam di tempat, tubuh mereka membeku seolah-olah waktu telah berhenti untuk mereka. Bola api yang tadi melesat ke arahku berhenti di udara, apinya perlahan meredup dan lenyap, ditelan oleh kegelapan barierku.
"A-apa ini?!" Kenta berusaha berbicara, tetapi suaranya terdengar teredam, seperti jauh di kejauhan. "Kenapa aku tidak bisa bergerak? Apa yang kau lakukan, Hayato?!"
Aku tidak menjawab. Aku hanya menatap mereka dengan tenang, merasakan kehampaan ini mengalir di sekitarku. Ini adalah barierku. Tempat di mana segalanya berhenti, terhenti oleh kekosongan tanpa batas.
Ayana mencoba mengangkat tongkat sihirnya, tetapi sia-sia. Ia menggertakkan giginya, berjuang melawan tekanan tak kasatmata yang membuat tubuhnya tak bisa bergerak. "Hayato, hentikan ini! Apa yang sebenarnya kau lakukan?!"
Aku perlahan melangkah maju. Setiap langkahku menciptakan gema kecil di lantai barier yang seperti cermin.
"Ini bukan keinginanku, Ayana. Tapi ini adalah kekuatan yang kalian paksa keluar dari diriku," ujarku dengan suara rendah, tanpa emosi. "Kalian memutuskan untuk memburuku. Aku hanya bertahan."
Kenta berteriak marah, mencoba memaksakan tubuhnya untuk bergerak, tetapi semakin ia berusaha, semakin ia terlihat lemah. "Hayato! Lepaskan kami sekarang juga! Kau pengecut yang hanya bisa bersembunyi di balik kekuatan aneh ini!"
Aku berhenti, berdiri di depan mereka. Dengan satu gerakan tangan, aku membuat bola energi gelap kecil terbentuk di telapak tanganku. Bola itu perlahan berputar, menciptakan aliran energi yang memancar ke segala arah.
"Kalian semua menganggapku lemah. Tapi lemah bukan berarti tak berbahaya." Aku menatap Kenta, bola energi itu melayang ke arahnya dan berhenti tepat di depan wajahnya. "Dan sekarang, kalian yang ada di posisi tak berdaya."
Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Napasnya terengah-engah, keringat dingin mengalir di dahinya.
Aku menarik napas dalam, lalu menggenggam bola energi itu hingga menghilang. "Aku tidak ingin membunuh kalian. Dunia ini butuh pahlawan, meski pahlawan-pahlawan itu telah melupakan siapa aku sebenarnya."
Aku berbalik, berjalan menjauh. Barierku perlahan memudar, mengembalikan Dungeon ke bentuk aslinya. Teman-teman sekelasku terjatuh ke lantai, terengah-engah seolah-olah mereka baru saja dilepaskan dari beban yang luar biasa.
Aku tidak menoleh ke belakang selama beberapa saat. Dalam pikiranku, hanya ada satu kesadaran:
Jika menjadi Raja Iblis adalah takdirku, maka aku akan memeluknya sepenuhnya.
Aku kemudian berdiri di ujung ruangan Dungeon, berbalik memandang mereka yang masih terbaring lemah di lantai. Tubuh-tubuh yang sebelumnya penuh semangat kini terlihat rapuh, meskipun mata mereka menyiratkan kebencian yang mendalam.
Teman-teman sekelasku—kelas 3A, orang-orang yang seharusnya menjadi rekan seperjuanganku, kini adalah musuhku. Tak ada yang lebih ironis dari ini.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikiran yang terus berkecamuk. Saat itu, aku tahu ini adalah waktu yang tepat untuk mengucapkan selamat tinggal.
"Jadi, ini akhirnya, ya?" suaraku terdengar berat, bahkan bagiku sendiri.
Kenta mendongak, wajahnya penuh amarah. "Kau... pengecut. Kau hanya lari dari tanggung jawabmu."
Aku menggeleng perlahan, melangkah maju hingga berdiri tepat di depan mereka. "Lari? Tidak, Kenta. Justru aku yang selama ini memikul tanggung jawab yang kalian abaikan." Aku berhenti sejenak, membiarkan kata-kataku meresap.
"Kalian terlalu terburu-buru, terlalu terobsesi dengan tugas mengalahkan Raja Iblis. Kalian lupa bahwa dunia ini jauh lebih rumit daripada sekadar pertempuran antara kebaikan dan kejahatan."
Ayana mencoba bangkit, tetapi tubuhnya masih terlalu lemah. "Jangan bicara seolah-olah kau lebih baik dari kami. Kau Raja Iblis, musuh semua orang. Kau adalah alasan kenapa kami tidak bisa kembali ke dunia lama."
Aku tersenyum kecil, meski terasa getir. "Mungkin kau benar, Ayana. Tapi aku tidak meminta takdir ini. Sama seperti kalian, aku hanya mencoba bertahan di dunia yang tak pernah kuminta untuk kumasuki."
Keadaan hening sejenak. Aku kembali memandang mereka satu per satu, mengenang momen-momen ketika kami masih bersama sebagai teman sekelas. Gelak tawa di ruang kelas, kebersamaan di saat belajar kelompok—semua itu kini terasa seperti mimpi yang terlalu jauh untuk digapai kembali.