Zen Vessalius adalah nama yang pernah menggema di seluruh penjuru dunia, seorang pahlawan legendaris yang menyelamatkan umat manusia dari kehancuran total. Namun, waktu telah berubah. Era manusia telah berakhir, dan peradaban kini dikuasai oleh makhluk-makhluk artifisial yang tak mengenal masa lalu.
Zen, satu-satunya manusia yang tersisa, kini disebut sebagai NULL—istilah penghinaan untuk sesuatu yang dianggap tidak relevan. Dia hanyalah bayangan dari kejayaan yang telah hilang, berjalan di dunia yang melupakan pengorbanannya.
Namun, ketika ancaman baru muncul, jauh lebih besar dari apa yang pernah dia hadapi sebelumnya, Zen harus kembali bangkit. Dengan tubuh yang menua dan semangat yang rapuh, Zen mencari makna dalam keberadaannya. Mampukah ia mengingatkan dunia akan pentingnya kemanusiaan? Atau akankah ia terjatuh, menjadi simbol dari masa lalu yang tak lagi diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Vessalius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11 PERSIAPAN AWAL MENUJU AKHIR
Sebelum matahari sempat memancarkan sinarnya, aula pelatihan di Kastil Lumoria sudah dipenuhi oleh para penghuni yang bersiap memulai hari dengan latihan. Udara pagi yang dingin tidak mengurangi semangat mereka. Masing-masing terlihat serius, mengerahkan kemampuan terbaik dalam memanipulasi mantra yang telah diajarkan.
Di tengah aula, Zen berdiri dengan penuh percaya diri. Tangannya membentuk gestur khusus, mantranya menciptakan pusaran cahaya yang menyilaukan. Semua mata tertuju padanya. Setiap gerakan yang ia lakukan tampak penuh presisi, memperlihatkan kemajuan pesat yang ia capai dalam waktu singkat.
Eryon mengamati dengan seksama, matanya penuh rasa bangga sekaligus kagum. "Kemampuanmu meningkat drastis, Zen. Kau bahkan sudah melewati ekspektasi awalku," ujarnya sambil mengangkat tongkat sihirnya.
"Namun, ini belum cukup. Kau harus mencoba mantra kuno ini," lanjutnya. Ia mulai melafalkan serangkaian kata-kata kuno yang menggema di aula, menciptakan pola energi berwarna emas di udara. Pola tersebut berputar dan membentuk sebuah lingkaran besar, dipenuhi simbol-simbol misterius yang bercahaya lembut.
Zen memperhatikan dengan serius, matanya terpaku pada gerakan dan intonasi Eryon. "Apakah ini salah satu mantra terkuat yang kau pelajari, Eryon?" tanyanya, penuh rasa ingin tahu.
Eryon tersenyum tipis. "Bukan hanya kuat, tetapi juga rumit. Mantra ini bisa mengubah jalannya pertempuran, tetapi membutuhkan konsentrasi penuh dan energi yang sangat besar. Aku yakin kau mampu mencobanya."
Tanpa ragu, Zen mengulurkan tangannya ke arah pola energi tersebut. Ia memejamkan mata, merasakan aliran sihir yang mengalir melalui tubuhnya. Dengan perlahan, ia melafalkan mantra kuno itu, meniru gerakan Eryon. Cahaya di aula semakin terang, tekanan energi memenuhi ruangan, membuat beberapa peserta pelatihan mundur ke belakang dengan takjub.
Saat mantra itu mencapai puncaknya, sebuah ledakan cahaya terjadi, membentuk perisai besar yang melingkupi seluruh aula. Para penghuni terdiam, terpesona oleh kekuatan dan kecemerlangan mantra tersebut.
Eryon tertawa kecil. "Luar biasa, Zen! Aku tahu kau akan menguasainya."
Zen membuka matanya, terlihat sedikit lelah tetapi tersenyum puas. "Aku masih harus berlatih lebih banyak, tetapi aku rasa kita mulai siap menghadapi apa pun yang akan datang."
Pagi itu, atmosfer di Lumoria dipenuhi semangat. Para penghuni yang baru saja menyaksikan Zen mempraktikkan mantra kuno memuji kepemimpinannya dan kemampuannya. Suara obrolan yang penuh antusiasme memenuhi aula pelatihan. Beberapa orang berkomentar, “Dengan Raja seperti Zen, kita pasti bisa menghadapi apa pun!”
Kata-kata itu membuat Zen tersenyum. Ia merasa dukungan dari rakyatnya adalah kekuatan terbesar yang ia miliki. Dari kejauhan, Selvina memperhatikan senyuman Zen dengan bangga. Ia melambaikan tangan kepadanya, dan Zen membalasnya dengan anggukan dan lambaian tangan.
Cahaya matahari mulai menerobos masuk melalui jendela-jendela besar kastil. Para pelayan dengan sigap membawa nampan berisi makanan ke aula, diikuti para wanita yang membantu menyiapkan hidangan. Aroma roti panggang dan sup hangat menguar di udara, membangkitkan selera para penghuni.
Semuanya berkumpul di meja panjang yang telah disiapkan, Zen duduk di tengah, ditemani oleh Selvina dan Eryon. Percakapan berlangsung hangat, semua orang berbicara tentang latihan tadi dan harapan mereka untuk masa depan. Zen memimpin doa singkat sebelum makan dimulai, mengucapkan syukur atas persatuan dan kekuatan mereka.
Selvina yang duduk di samping Zen sesekali menyelipkan senyum lembut, mendukungnya tanpa perlu banyak kata. Zen merasakan kehadirannya seperti dorongan tak terlihat, membuatnya semakin yakin bahwa mereka mampu menghadapi apa pun yang akan datang.
Setelah makan selesai, Zen berdiri dan mengangkat cangkirnya. "Hari ini kita melangkah lebih dekat menuju persiapan kita. Aku yakin, dengan usaha dan semangat yang kalian tunjukkan, kita akan menyambut tamu-tamu kita dengan kehormatan dan kekuatan. Teruslah berlatih dan bersiap, karena usaha kita akan membuahkan hasil yang besar."
Sorak-sorai memenuhi aula. Hari itu mereka makan bersama tidak hanya dengan rasa kenyang, tetapi juga dengan semangat baru yang menyala-nyala. Dalam hati mereka, keyakinan pada Zen sebagai pemimpin mereka semakin kuat.
Sementara itu, di kejauhan, Selvina merenung. Hari-hari semakin dekat menuju perjamuan penting itu. Dia tahu, perjuangan baru saja dimulai, tetapi dengan Zen di sisinya, segalanya terasa mungkin.
Hari-hari berlalu dengan penuh dedikasi. Seluruh penghuni Lumoria bekerja keras, baik di aula pelatihan, dapur, maupun taman istana. Persiapan yang dilakukan semakin matang, semuanya dipenuhi semangat dan harapan. Zen duduk di ruang kerjanya, ditemani tumpukan dokumen dan catatan strategi yang disusun bersama Eryon. Pandangannya serius, menghitung waktu yang tersisa menuju hari yang ditentukan.
"Dua bulan lagi," gumam Zen sambil mengetukkan pena ke meja. "Kita akan mengirim undangan di bulan kedua. Tidak ada ruang untuk kesalahan."
Selvina masuk ke ruangan dengan membawa secangkir teh hangat. Dia melihat ekspresi Zen yang penuh beban dan tersenyum lembut. "Semua sudah berjalan dengan baik. Kamu tidak perlu terlalu khawatir," ujarnya menenangkan.
Zen menghela napas panjang. "Aku hanya ingin memastikan semuanya sempurna, Selvina. Kita harus menunjukkan bahwa Lumoria siap menyambut mereka—dan siap menghadapi apa pun."
Selvina menaruh cangkir teh di meja dan duduk di sampingnya. "Dengan usaha yang telah kita lakukan, aku yakin mereka akan terkesan. Para penghuni Lumoria juga percaya padamu, Zen. Itu sudah lebih dari cukup."
Di luar kastil, Eryon memimpin pelatihan intensif bersama para penghuni. Mereka mempelajari formasi pertahanan baru, mengasah keterampilan sihir, dan memperkuat stamina fisik mereka. Eryon sesekali tersenyum bangga melihat perkembangan mereka.
"Kalian luar biasa," seru Eryon sambil mengamati mereka yang berlatih tanpa lelah. "Raja kita akan bangga memiliki kalian sebagai pengikutnya."
Hari demi hari, persiapan semakin mendekati kesempurnaan. Para pekerja kastil sibuk memastikan segala hal, mulai dari dekorasi hingga makanan yang akan disajikan saat perjamuan. Semua dilakukan dengan teliti, penuh semangat untuk memperlihatkan yang terbaik kepada tamu-tamu dari ras lain.
Waktu berlalu dengan cepat. Tersisa satu setengah bulan menuju hari besar itu. Zen berdiri di balkon kastil, memandang matahari terbenam yang menghiasi langit Lumoria. Selvina bergabung di sampingnya.
"Kita akan siap," kata Selvina, suaranya penuh keyakinan.
Zen tersenyum dan menggenggam tangannya erat. "Aku percaya pada Lumoria, dan aku percaya pada kita."
Di sisi lain, suasana di markas besar ras Beast dan Firlinione semakin memanas. Para pemimpin mereka berkumpul di aula besar yang dipenuhi ornamen dan simbol kebesaran masing-masing ras. Wajah mereka penuh gairah perang, tatapan tajam mengarah pada meja bundar di tengah ruangan, di mana peta besar dunia terbentang, menampilkan posisi strategis Lumoria.
"Kita sudah cukup menunggu!" ujar Rokan, pemimpin ras Beast, seorang pria bertubuh besar dengan mata menyala-nyala. Ia menggebrak meja dengan tinjunya, suaranya menggema di ruangan itu. "Mereka tidak akan pernah memberikan jawaban yang kita harapkan. Ini hanya alasan untuk menunda kekalahan mereka!"
Dari sisi lain meja, Aelaris, pemimpin Firlinione, seorang wanita dengan rambut perak yang bersinar di bawah cahaya lilin, mengangkat tangannya dengan tenang. "Tenang, Rokan. Kita tidak bisa bertindak gegabah. Batas waktu masih ada, dan mereka mungkin sedang mempersiapkan jawaban mereka."
"Tidak ada alasan untuk mempercayai mereka!" balas Rokan dengan suara menggelegar. "Zen Vessalius adalah ancaman! Dia bukan hanya pahlawan dari dunia lain; dia adalah entitas yang bahkan tidak seharusnya ada di dunia ini. Kehadirannya cukup untuk menghancurkan keseimbangan!"
Seorang penasihat Firlinione berdiri, wajahnya penuh kebijaksanaan yang mencerminkan pengalaman berabad-abad. "Tapi jika kita menyerang terlalu cepat, kita akan kehilangan dukungan dari fraksi netral. Ingat, tidak semua pihak setuju dengan perang ini. Kita harus menunggu batas waktu, atau setidaknya membiarkan mereka membuat langkah pertama."
Suasana ruangan menjadi tegang. Rokan menatap tajam penasihat itu, rahangnya mengeras. "Dan jika mereka tidak merespons? Jika mereka menggunakan waktu ini untuk memperkuat pertahanan mereka?"
Aelaris menenangkan suasana dengan nada tegas. "Kalau itu terjadi, kita akan siap. Kita akan memanfaatkan waktu ini untuk mengatur strategi lebih baik. Jangan lupa, perang bukan hanya soal kekuatan, tapi juga kecerdikan."
Semua pemimpin saling bertukar pandang. Meski keinginan untuk menyerang membara di hati mereka, argumen penasihat tersebut masuk akal. Jika mereka bertindak gegabah, ada risiko besar mereka akan kalah bukan hanya di medan perang, tetapi juga kehilangan dukungan politik dari ras lain.
Sementara itu, di sudut ruangan, seorang pengintai memberikan laporan. "Lumoria tampaknya sedang memperkuat pertahanan mereka. Latihan di sana berjalan setiap hari. Raja Zen sendiri aktif memimpin mereka."
Mendengar laporan itu, Rokan mendengus dengan kesal. "Tentu saja. Dia ingin pamer kekuatan sebelum kita menghancurkan semuanya."
Aelaris tersenyum tipis, sebuah senyum yang penuh perhitungan. "Biarkan mereka mempersiapkan diri. Ini akan menjadi permainan panjang. Saat mereka berpikir sudah siap, itulah saat kita mengguncang segalanya."
Di Lumoria, suasana semakin mantap dan penuh persiapan. Zen dan Selvina telah memutuskan untuk melangkah lebih jauh dengan mengatur protokol serta aturan khusus untuk menyambut tamu undangan, jika mereka benar-benar memutuskan untuk datang. Suasana kastil penuh kesibukan, namun tetap terorganisir dengan baik, mencerminkan keteguhan dan tekad mereka dalam menghadapi situasi ini.
Ajudan kepercayaan Zen dan Selvina—Kael Myrion, Lira Evenshade, dan Theros Draegen—menerima tugas penting untuk mengantarkan surat balasan ketika waktu yang ditentukan tiba. Mereka dipilih karena kecerdikan, keberanian, dan loyalitas mereka yang tak tergoyahkan terhadap Lumoria. Zen memberikan arahan kepada mereka di ruang strateginya.
"Ketika saatnya tiba," ujar Zen dengan nada tegas, "kalian harus memastikan surat ini tiba dengan selamat di tangan para pemimpin Beast dan Firlinione. Ini bukan sekadar surat; ini adalah lambang kehormatan Lumoria dan niat kita. Jangan biarkan apa pun menghalangi kalian."
Kael menepuk dadanya dengan penuh percaya diri. "Kami akan memastikan surat itu tiba, bahkan jika kami harus melawan seluruh pasukan mereka."
Selvina, yang berdiri di samping Zen, menambahkan dengan suara lembut namun tegas, "Dan jika mereka memilih untuk mengabaikan undangan kita, maka biarkan mereka menyaksikan bahwa kita tidak gentar. Seluruh Lumoria akan siap, baik untuk berdamai maupun untuk berperang."
Sementara itu, seluruh wilayah Lumoria dipenuhi dengan aktivitas persiapan. Para penghuni bekerja sama mendekorasi kastil dan bangunan sekitarnya. Bendera kerajaan berkibar megah di atas menara, kain-kain indah menghiasi jalan-jalan utama, dan bunga-bunga bermekaran di sepanjang taman istana.
Dekorasi itu bukan sekadar untuk menyambut tamu, tetapi juga sebagai taktik psikologis. Jika para tamu undangan datang, mereka akan merasa dihormati dan disambut dengan baik. Namun, jika undangan itu diabaikan atau ditolak, semua ini menjadi simbol tekad dan kekuatan Lumoria—menunjukkan bahwa mereka siap menghadapi apa pun, baik pertemuan damai maupun peperangan.
Selvina berdiri di balkon istana, mengamati hiruk-pikuk di bawahnya dengan penuh perhatian. Ia menarik napas panjang, lalu berkata kepada Zen yang berdiri di sisinya, "Kita sudah melakukan segalanya. Sekarang, kita tinggal menunggu dan melihat langkah apa yang akan mereka ambil."
Zen mengangguk perlahan, pandangannya penuh keteguhan. "Apapun yang terjadi, Lumoria tidak akan mundur. Kita akan menghadapi ini dengan kepala tegak."
Hari yang telah ditentukan semakin mendekat, dan atmosfer di Lumoria terasa semakin tegang namun penuh kesiapan. Semua persiapan telah matang, dari dekorasi kastil yang megah hingga strategi diplomasi yang telah dirancang dengan cermat. Zen dan Selvina berdiri di balkon istana, menyaksikan persiapan terakhir yang dilakukan oleh para penghuni Lumoria.
Di halaman depan, tiga ajudan kepercayaan mereka—Kael Myrion, Lira Evenshade, dan Theros Draegen—bersiap untuk perjalanan penting menuju wilayah ras Beast dan Firlinione. Sebuah kereta kuda mewah dengan lambang kerajaan Lumoria telah siap menanti. Surat undangan, yang ditulis dengan tangan Zen dan Selvina, tersimpan aman dalam kotak khusus yang dihiasi dengan ukiran emas dan segel kerajaan.
Zen berjalan mendekati mereka dengan langkah mantap. "Ini adalah misi yang penting, bukan hanya untuk Lumoria, tetapi juga untuk masa depan semua ras. Pastikan surat ini sampai ke tangan Aelaris dan Rokan tanpa cela."
Kael tersenyum percaya diri sambil memegang kendali kuda. "Percayakan pada kami, Yang Mulia. Tidak ada yang akan menghentikan kami, bahkan jika kami harus melewati rintangan terberat."
Selvina memberikan tatapan penuh keyakinan kepada mereka. "Kami menaruh kepercayaan besar pada kalian. Hati-hati di jalan, dan pastikan untuk menjaga kehormatan Lumoria dalam setiap langkah."
Lira dan Theros menunduk hormat. "Kami akan memastikan misi ini sukses, Yang Mulia," jawab Theros dengan nada serius.
Kereta pun mulai bergerak, perlahan meninggalkan gerbang utama kastil. Para penghuni Lumoria berkumpul di sepanjang jalan, melambaikan tangan mereka sebagai tanda dukungan dan doa untuk keselamatan perjalanan para pembawa pesan. Zen dan Selvina memandang kepergian mereka dari balkon dengan perasaan campur aduk.
"Seminggu perjalanan hingga mereka tiba di sana," ucap Selvina, suaranya lembut namun penuh makna.
Zen mengangguk, matanya tetap tertuju pada kereta yang semakin menjauh. "Dan seminggu lagi sebelum kita tahu bagaimana jawaban mereka. Sampai saat itu, kita harus tetap bersiap untuk segala kemungkinan."
Hari-hari yang menegangkan dimulai. Zen dan Selvina mengisi waktu mereka dengan memastikan setiap aspek persiapan berjalan lancar, baik untuk menyambut tamu maupun untuk kemungkinan menghadapi ancaman. Sementara itu, Kael, Lira, dan Theros melaju dengan tekad, membawa surat undangan yang akan menentukan nasib Lumoria dan seluruh dunia di sekitarnya.
Bersambung!