(Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata!)
Demi mendapatkan uang untuk mengobati anak angkatnya, ia rela terjun ke dunia malam yang penuh dosa.
Tak disangka, takdir mempertemukannya dengan Wiratama Abimanyu, seorang pria yang kemudian menjeratnya ke dalam pernikahan untuk balas dendam, akibat sebuah kesalahpahaman.
Follow IG author : Kolom Langit
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia bukan wanita baik-baik
"Bunda ..." Suara panggilan lemah membuat Via berbalik saat berada di ambang pintu. Ia menatap putri kecilnya yang sedang terbaring, lalu melangkah mendekat dan duduk di bibir tempat tidur. Tangannya membelai lembut wajah mungil gadis kecil itu, dengan senyuman tulus seorang ibu.
"Kenapa, Sayang?"
"Bunda dalimana? Tadi Lyla cali-cali Bunda gak ada," Suara cadel menggemaskan yang selalu menjadi alasan bagi Via untuk bahagia. Mata yang sayu, wajah pucat dan bibir kering. Tubuh lemah gadis kecil itu bahkan tak membuat semangat hidupnya berkurang. Dan, Mendengar panggilan bunda dari bibir Lyla saja membuat Via menemukan semangat hidupnya.
"Bunda kan cuma keluar sebentar. Lyla tidak menangis kan?" tanya Via diikuti anggukan pelan oleh Lyla.
"Lyla kan kuat, Bunda. Gak boleh nangis-nangis. Nanti Bunda syedih kalau Lyla nangis," ucapnya sambil tersenyum.
Via menyembunyikan air matanya. Semangat Lyla dalam melawan sakitnya menjadi kekuatan baginya untuk berjuang.
Jangan menangis Via, Lyla saja tidak menangis! Via berusaha menguatkan hatinya yang rapuh.
Wanita itu melirik jam di dinding yang masih menunjukkan pukul tiga dini hari. Sambil tersenyum, ia mengusap wajah gadis kecil itu. "Lyla tidur lagi, ya. Ini kan masih malam. Lihat! Di luar masih gelap!" menunjuk ventilasi yang jelas terlihat bahwa hari masih gelap.
"Iya, Bunda. Tapi Lyla mau bobo sama Bunda."
"Kalau begitu Lyla berdoa dulu ya!"
Dengan senyuman, Lyla mengangkat kedua tangannya lalu berdoa. Setiap kata yang terucap dari bibir mungilnya adalah kekuatan bagi Via. Lyla, seorang gadis kecil penderita kanker dengan semangat yang menyala.
Setelah berdoa, Via membaringkan Lyla sehingga posisi mereka kini saling memeluk. Dengan kelembutan, Via mengusap rambut gadis kecil itu hingga tertidur.
*****
Pagi menjelang...
Seperti biasa, Via akan menyuapi Lyla sarapan dahulu, sebelum berangkat kerja. Hari itu ia memutuskan akan mengundurkan diri dari butik tempatnya bekerja selama bertahun-tahun itu dan fokus merawat istri Tuan Gunawan. Bayaran yang ditawarkan Tuan Gunawan dapat ia gunakan untuk pengobatan Lyla.
"Syudah kenyang, Bunda!" ucap Lyla.
"Kan buburnya belum habis, Sayang. Sedikit lagi ya. Kasihan makanannya tidak habis. Nanti nangis kalau dibuang."
"Kalau dibuang makanannya syedih ya, Bunda?"
"Iya, Sayang. Selain itu, dosa loh, kalau buang-buang makanan."
"Ya udah, Lyla mau habisin bubulnya, Bunda." Via menyuapkan lagi beberapa sendok bubur, hingga piring itu kosong.
Setelah memberi obat pada gadis kecilnya, Via berangkat menuju tempatnya bekerja. Seperti biasa dengan naik bus. Jarak panti asuhan dan butik tempat Via bekerja tidak begitu jauh, sehingga hanya butuh waktu dua puluh menit, Via telah tiba di butik ternama itu.
Saat hendak memasuki bangunan itu, bersamaan dengan dua pria tampan yang baru saja keluar dari sana. Seketika Via menunduk saat berpapasan dengan salah satu dari dua pria itu. Wira ternyata adalah teman dari anak pemilik butik itu.
Wira menatap Via dengan tajam. Sangat jelas terlihat aura kebencian dari sorot matanya. "Van, siapa dia?" tanya Wira pada Ivan.
"Dia Via, Wira. Salah satu karyawan ibuku," jawab Ivan.
Wira melirik wanita di depannya, dari ujung kaki ke ujung kepala. Tatapan mengintimidasi nya seakan mampu membelah tubuh Via menjadi dua bagian. Sementara Via masih menunduk malu. Ia masih ingat pernah bertemu Wira saat pertama kalinya ia menginjakkan kaki di tempat terkutuk itu.
"Pe-permisi, Mas! Saya mau ke dalam," ucap Via tanpa berani mengangkat kepalanya.
"Silakan, Via!" balas Ivan.
Wira masih menatap pintu kaca yang baru saja dilewati Via dengan wajah menggeram, hingga tepukan mendarat di bahunya.
"Ada apa, Wir? Kenapa kau menatap Via seperti itu?" tanya Ivan penasaran.
"Sudah berapa lama dia bekerja di butik ibumu?"
"Sepertinya sudah lama. Aku juga tidak begitu mengenalnya. Kau tahu kan, aku baru pulang dari luar negeri beberapa bulan ini dan aku juga jarang kemari."
Wira memejamkan matanya kasar. Tangannya yang tadi mengepal geram perlahan terbuka, pertanda kemarahannya mulai menyurut. Laki-laki berperawakan tinggi tegap itu menghela napas beberapa kali. Teringat pada temuannya semalam.
"Van, dia itu bukan perempuan baik-baik. Dia wanita penghibur."
Ivan nampak sangat terkejut mendengar ucapan Wira. Ia belum dapat percaya sepenuhnya. "Apa maksudmu, Wira? Oke, aku belum terlalu mengenal Via. Tapi dia itu wanita baik-baik. Pembawaannya tenang, ahlaknya baik, dan aku beberapa kali melihatnya beribadah."
Wajah Wira yang tadinya sudah tenang, kembali menggeram. "Dia wanita malam! Aldi pernah membayarnya untuk menghabiskan malam bersama. Dan semalam, aku melihatnya lagi dengan seseorang yang sangat kukenal, keluar dari tempat hiburan."
"Siapa?" tanya Ivan penasaran.
Dengan wajah kesal bercampur sedih, Wira menjawab, "Ayahku! Wanita penggoda itu keluar dari tempat itu bersama ayahku. Mereka pergi bersama, Van!"
Jika saja yang mengatakan itu bukan Wira, Ivan pasti tak akan percaya begitu saja. Terlebih, Via adalah karyawan kesayangan ibunya. "Kau yakin?"
"Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Van. Ayahku ... teganya dia berbuat begini padahal ibuku sedang sakit. Karena itulah pagi ini aku memutuskan mundur dari perusahaan. Aku mau bekerja di kantor mu saja. Terserah jabatan apapun yang mau kau berikan padaku!"
"Tapi ayahmu bukan orang seperti itu!"
"Van, siapapun bisa berubah! Bagaimana dengan Shera yang pergi dengan laki-laki lain? Tidak ada manusia yang benar-benar suci!"
Mendengar Wira menyebutkan nama Shera, Ivan akhirnya menyerah. Wira tidak pernah mau menyebutkan nama yang sangat ingin dilupakannya itu. Tidak ingin sahabatnya itu berlarut-larut dalam kesedihannya, Ivan akhirnya mengalihkan pembicaraan.
"Baiklah, kalau begitu ayo kita ke kantor saja."
Mereka kemudian menuju sebuah mobil yang terparkir di depan bangunan besar itu. Sambil melajukan mobil, sesekali Ivan melirik Wira yang masih tampak jelas sisa-sisa kemarahan di wajahnya.
"Van, kalau bisa minta ibumu memecat wanita itu dari butiknya. Wanita malam itu tidak pantas bekerja di tempat yang layak seperti di butik ibumu."
"Aku akan bicarakan dengan ibu. Masalahnya ibuku sangat menyukai Via. Dia terus memuji-mujinya. Katanya, dia belum pernah bertemu wanita sebaik dan sejujur Via."
"Itu semua hanya topeng." Bayang-bayang kebersamaan ayahnya dengan Via semalam kembali bermunculan di benar Wira. Semalam, saat akan pulang ke rumahnya, tanpa sengaja Wira melewati tempat hiburan dimana ayahnya dan Via baru saja keluar bersama. Mengingat itu, rasanya Wira ingin memaki-maki Via. "Aku harus menjauhkan wanita itu dari ayahku. Tapi bagaimana caranya?"
"Sebenarnya aku belum yakin apa yang kau bicarakan, Wir! Kau yakin, semalam tidak sedang mabuk?" tanya Ivan ingin memastikan. Wira pun menyahut dengan berdecak kesal.
"Aku tidak minum semalam. Oh ya... Wanita itu tinggal dimana?"
"Aku tidak tahu dimana persisnya! Tapi yang aku tahu, dia tinggal di panti asuhan."
*****
Jangan lupa like dan komennya 🤭🤭