Prolog:
Dulu, aku selalu menganggapnya pria biasa miskin, sederhana, bahkan sedikit pemalu. Setelah putus, aku melanjutkan hidup, menganggapnya hanya bagian dari masa lalu. Tapi lima tahun kemudian, aku bertemu dengannya lagi di sebuah acara gala mewah, mengenakan jas rapi dan memimpin perusahaan besar. Ternyata, mantan pacarku yang dulu pura-pura miskin, kini adalah CEO dari perusahaan teknologi ternama. Semua yang aku tahu tentang dia ternyata hanya kebohongan. Dan kini, dia kembali, membawa rahasia besar yang bisa mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1 Bagian 3 Kenangan
Nadia duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi jendela yang terbuka. Udara malam masuk perlahan, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Ia mencoba memejamkan mata, tetapi pikirannya terlalu gaduh. Sosok Reza kembali membayangi pikirannya, membuat hatinya terasa sesak.
Tiga tahun berlalu, tetapi kenangan itu tidak pernah benar-benar pergi. Nadia ingat betul bagaimana semuanya dimulai saat-saat indah yang kini terasa seperti mimpi.
Dia dan Reza pertama kali bertemu di sebuah kedai kopi kecil di dekat kantornya. Saat itu, Nadia tidak sengaja menumpahkan kopinya ke meja tempat Reza duduk. Dengan senyumnya yang menawan, Reza menawarkan tisu dan malah meminta maaf terlebih dahulu, meski jelas-jelas itu bukan salahnya.
"Itu hari pertama kita berbicara," gumam Nadia, membiarkan dirinya larut dalam nostalgia.
Mereka mulai bertukar cerita, awalnya tentang hal-hal sederhana seperti pekerjaan dan hobi. Namun, percakapan ringan itu perlahan berubah menjadi diskusi mendalam tentang mimpi dan harapan. Nadia selalu kagum dengan cara Reza memandang dunia, penuh semangat dan optimisme, meski ia tahu hidup Reza tidaklah mudah.
Malam itu, Nadia tidak bisa tidur. Senyum Reza terus bermain di kepalanya, mengisi ruang yang sebelumnya kosong.
Hubungan mereka berjalan begitu alami. Nadia ingat bagaimana Reza selalu berusaha untuk membuatnya tertawa, meski hanya dengan lelucon receh yang sering kali tidak lucu.
Suatu hari, saat hujan deras, Reza menjemputnya dari kantor dengan sepeda motor tuanya. Meski mereka berdua basah kuyup, Reza tetap terlihat senang.
“Kita terlihat seperti dua orang yang baru kabur dari film romantis,” candanya sambil tertawa.
Nadia menggeleng, mencoba menahan tawa. “Film romantis apanya? Kita malah terlihat seperti orang nekat.”
Namun, di tengah dinginnya hujan, Nadia merasa hangat. Bersama Reza, hidupnya terasa lengkap.
Taman kecil itu adalah tempat favorit mereka. Setiap minggu, Reza selalu membawakan Nadia bunga liar yang ia petik di jalan menuju taman.
“Aku tahu ini bukan mawar atau bunga mahal lainnya,” ujar Reza suatu kali, menyerahkan setangkai bunga daisy. “Tapi bunga ini mengingatkanku padamu—sederhana tapi sangat cantik.”
Nadia tersenyum, wajahnya memerah. Ia tahu Reza tidak punya banyak uang, tetapi ia tidak peduli. Baginya, perhatian Reza jauh lebih berharga daripada hal-hal materi.
Mereka sering duduk di bangku kayu tua, berbicara tentang mimpi mereka. Reza pernah berjanji, “Suatu hari nanti, aku akan membuatmu bangga, Nadia. Aku akan membuktikan bahwa aku bisa memberikan dunia ini padamu.”
Saat itu, Nadia hanya mengangguk, tidak pernah menyangka bahwa janji itu akan menjadi alasan Reza pergi.
Kenangan malam perpisahan mereka kembali menyelimuti Nadia. Taman kecil itu, kata-kata Reza, dan rasa sakit yang begitu dalam semuanya terasa nyata, seolah-olah baru terjadi kemarin.
Dia ingat bagaimana Reza menatapnya dengan mata penuh kesedihan. Saat itu, Nadia tidak mengerti mengapa Reza harus pergi. Hanya kata-kata samar tentang melindunginya dan dunia penuh kebohongan yang membuat Nadia semakin bingung.
“Kenapa kau tidak memberiku kesempatan untuk mengerti?” Nadia berbisik, suaranya terdengar lemah di tengah keheningan malam.
"Kembali ke Masa Kini"
Nadia mencoba mengenyahkan kenangan itu, tetapi semuanya terasa terlalu nyata. Ia bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air. Tangannya gemetar saat memegang gelas.
“Aku harus berhenti memikirkan ini,” katanya pada dirinya sendiri, meski ia tahu itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.
Dia kembali ke sofa dan memandangi ponselnya. Ia teringat pada pesan dari Lina dan tugas-tugas kantor yang menantinya esok hari.
Namun, meski ia berusaha keras untuk fokus pada kehidupannya sekarang, bayangan Reza selalu ada di sana, mengintip dari sudut pikirannya.
“Reza,” gumamnya pelan, matanya menerawang. “Kau adalah bab yang belum selesai dalam hidupku. Tapi aku tidak tahu apakah aku ingin membuka lembaran itu lagi.”
Malam semakin larut, dan Nadia tahu bahwa ia harus tidur. Namun, seperti malam-malam sebelumnya, ia hanya bisa berbaring dengan mata terbuka, menatap langit-langit, membiarkan pikirannya bermain-main dengan kenangan yang tidak pernah benar-benar pergi.