Setelah bercerai, lalu mengundurkan diri sebagai seorang Ajudan pribadi. Akhirnya pria yang akrab disapa 'Jo' itu kembali menerima sebuah tawaran pekerjaan dari Denis yang tak lain adalah temannya saat sejak masih SMA.
Dia yang biasanya mengawal wanita-wanita paruh baya, seorang istri dari beberapa petinggi. Kini dia di hadapkan dengan seorang gadis keras kepala berusia 20 tahun, Jasmine Kiana Danuarta. Sosok anak pembangkang, dengan segala tingkah laku yang membuat kedua orang tuanya angkat tangan. Hampir setiap Minggu terkena razia, entah itu berkendara ugal-ugalan, membawa mobil di bawah pengaruh alkohol, ataupun melakukan balapan liar. Namun itu tak membuatnya jera.
Perlahan sifat Kiana berubah, saat Jo mendidiknya dengan begitu keras, membuat sang Ayah Danuarta meminta sang Bodyguard pribadi untuk menikahi putrinya dengan penuh permohonan, selain merasa mempunyai hutang budi, Danu pun percaya bahwa pria itu mampu menjaga putri semata wayangnya dengan baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggika15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cream sup.
"Kamu sudah baikan?"
Tanya Danu ketika melihat putrinya menuruni setiap anak tangga dengan langkah pelan.
Wajah yang terlihat lebih segar, mengenakan Hoodie abu-abu, dengan celana jeans berwarna hitam. Sepertinya gadis itu sudah bersiap untuk pergi.
"Hari ini aku mau ke Mall. Beli sepatu sama beberapa skincare aku yang habis." Jelas Kiana seraya mendudukan diri di kursi meja makan.
Berbagai macam hidangan sudah tersedia. Itu pasti karena beberapa asisten rumah akan menyiapkannya pagi-pagi sekali. Namun, Kiana tak melihat keberadaan ibunya, entah masih sibuk merawat mawar-mawarnya, atau bahkan berkutik di dapur berusaha membuatkan sarapan untuk putrinya.
"Sudah memberi kabar kepada Jovian?" Danu menatap Kiana.
"Belum. Mungkin langsung saja nanti kalau Om Jovian nya sudah sampai."
"Kamu sudah tidak keberatan? Jika Jovian selalu mengikutimu kemanapun kamu pergi?" Danu menatap wajah putrinya lekat-lekat.
"Ah kamu sudah bangun sayang? Lihat apa yang Mama buatkan untukmu!"
Herli menyela percakapan antara ayah dan anak itu. Seraya mendekat sambil membawa nampan berisikan satu mangkuk besar, dan beberapa mangkuk kecil di sampingnya.
"Cream sup?" Raut wajah Kiana seketika berbinar.
Herlin mengangguk. Dia membawa satu mangkuk, kemudian mengisinya dengan cream sup yang baru selesai dia buat.
"Papa mau juga? Atau roti saja?"
Wanita itu bertanya, kemudian meletakan mangkuk milik Kiana tepat di hadapan gadis itu.
"Sepertinya hari ini mau cream sup juga."
Herlin kembali meraih mangkuk, mengisinya dengan makanan yang hampir menyerupai bubur. Hanya saja teksturnya lebih lembut, tidak sekental bubur nasi, dan yang sangat terlihat membedakan keduanya adalah tambahan jagung, dan ayam yang di potong dadu, juga rasa yang sedikit manis, tidak se gurih bubur pada umumnya.
Kiana terlihat sangat lahap. Dia menikmati sarapan hari ini tanpa banyak berbicara, bahkan beberapa kali dia menyodorkan mangkuknya yang sudah kosong, meminta Herlin untuk kembali mengisinya.
"Kamu suka?" Herlin tersenyum bahagia.
Kiana mengangguk.
"Aku belum pernah nemuin cream sup seenak buatan Mama. Sakit aku pasti langsung sembuh, semalam saja makan sup ayam wortel buatan Mama, aku langsung sehat lagi." Kiana memuji ibunya.
"Begitu? Baguslah kalau kamu sakit tidak perlu meminum obat Dokter lagi, hanya perlu makan masakan Mama bukan?"
"Iya, … masakan Mama penuh cinta, jadi tidak ada yang bisa melawan itu, termasuk penyakit sekalipun."
Herlin mengusap dadanya, sambil tersenyum penuh haru.
"Bagaimana? Apa sekarang masih pusing?" Danu bertanya.
"Tidak. Semalam kan aku minum pereda nyeri, jadi sekarang sembuh, … tapi biasanya nanti siang suka kambuh lagi, dan harus cepat-cepat minum obatnya."
Kiana menggeser mangkuk berisikan cream sup yang sudah habis. Kemudian meraih tisu, dan mengusap kedua sudut bibirnya, setelah itu meraih gelas air hangat untuk dia minum sampai benar-benar habis.
"Tidak tambah lagi?"
"Aku kenyang." Kiana menggelengkan kepalanya.
"Mau pergi?" Tanya Herlin.
Kiana menganggukan kepalanya.
"Mau nyari sepatu sama beli beberapa skincare." Dia bangkit, lalu kembali berjalan menaiki tangga menuju kamarnya yang terletak di lantai dua.
"Sendirian?" Herlin berteriak ketika putrinya sudah benar-benar berada di lantai atas.
"Memangnya boleh?"
Gadis itu balik bertanya dengan teriakan tak kalah kencangnya. Herlin diam untuk beberapa saat, menghentikan aktivitas sarapannya, kemudian beralih kepada Danu.
"Pah? Apa kamu serius dengan ucapanmu waktu itu?" Herlin berbisik.
Danu tersenyum.
"Serius?"
Danu mengangguk, pria itu meraih gelas air minumnya, lalu meneguk sampai habis setengah.
"Bahkan aku sudah berbicara dengan Jovian."
Kata-kata itu jelas membuat tubuh Herlin membeku seketika. Dia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini, karena jika suaminya sudah berbicara, maka itu akan segera terjadi dengan cara yang Danu miliki tentunya.
"Kamu masih takut? Tidak setuju dengan Jovian karena dia 17 tahun lebih tua dari pada putriku?"
"Bukan Joviannya yang aku masalahkan disini. Melainkan sikap Kiana yang sangat berbeda dari gadis pada umumnya, aku takut Jovian tidak bisa, lalu menceraikan putriku di usianya yang sangat muda. Kamu tidak tahu Pah! Bisa saja sekarang Jovian bertahan hanya karena sikap profesionalnya terhadap kita, terutama kepadamu."
Wanita itu masih sangat ketakutan.
"Kamu tenang saja. Aku tahu bagaimana Jovian melalui Denis."
"Lalu?"
"Dia pria baik. Dan jika pernah gagal, maka istrinya lah yang menggugat Jovian, … bukan Jovian yang menceraikan istrinya."
Herlin menghela nafasnya.
"Lalu bagaimana dengan Kiana? Kamu yakin dia tidak akan menolak?"
"Soal Kiana itu mudah. Walaupun tidak mau dia tetap akan menuruti apa yang kita lakukan, … termasuk ucapan dan permintaan kamu yang selalu dia turuti." Ujar Danu kepada istrinya.
Herlin menggelengkan kepalanya, wanita itu merasa sedikit takut, jika Kiana menolak dan Danu tetap memaksa, maka yang akan terjadi adalah sebuah pemberontakan seperti biasa.
"Tapi, Pah …"
Herlin langsung mengatupkan mulut, wanita itu diam ketika Kiana kembali turun, menenteng sebuah tasnya, dengan minyak wangi yang seketika tercium hampir keseluruhan ruangan.
Entah berapa banyak minyak wangi yang gadis itu semprotkan.
"Aku berangkat dulu ya, Ma … Pah!" Pamit Kiana.
"Memangnya Jo sudah datang? Apa ini tidak terlalu pagi? Masih jam delapan, Mall belum buka." Tanya Herlin.
Wanita itu bangkit dan berjalan mengikuti kemana langkah kaki Kiana tertuju.
"Kalau terlalu siang pasti macet. Jadi aku sengaja berangkat pagi."
Herlin terus berjalan di belakang putrinya sampai benar-benar keluar dari dalam rumah. Pandangannya mengedar, mencari mobil milik Jovian yang belum terlihat keberadaannya.
"Tunggu sampai Jovian datang, Kia!" Herlin berbicara.
"Nanti Om Jovian suruh nyusul sajalah. Aku takut terjebak macet kalau terlalu siang, ini akhir pekan Mah. Orang-orang keluar untuk menghabiskan waktu liburnya."
"Jadi?"
"Aku bawa mobil sendiri." Ucap Kiana kepada ibunya.
Gadis itu berjalan cepat menghampiri dimana ruangan para supir berada. Bahkan Kiana terdengar segera memanggil-manggil salah satu nama supir dan meminta kunci mobilnya.
"Pak Heri, Pak?"
"Tidak tunggu Jovian saja?" Herlin berteriak lagi.
"Nggak Ma." Jawabnya sambil berdiri di ambang pintu, menunggu kunci mobilnya yang sedang diambilkan.
"Baiklah Mama masuk, hati-hati oke?"
Kiana mengangguk, dan setelahnya Herlin kembali berjalan memasuki rumah.
"Terimakasih, Pak Heri." Kiana tersenyum saat menerima kuncinya.
"Sama-sama, Non."
Dengan perasaan bahagia Kiana melempar-lempar kuncinya ke udara, sembari terus berjalan mendekati mobil sedan putih kesayangan nya, sampai terdengar suara gerbang rumah dibuka, dan masuklah mobil hitam Jovian, yang langsung berhenti tepat di samping mobilnya.
"Mau kemana?" Pria itu langsung turun saat melihat Kiana sudah dalam keadaan siap.
"Mau beli sepatu sama skincare." Kiana berdiri tepat di samping mobilnya.
Jovian tidak berbicara lagi, pria itu hanya menatapnya lalu merebut kunci mobil yang ada dalam genggaman Kiana begitu saja.
"Kenapa tidak bilang dari semalam? Kan saya bisa datang lebih pagi, … saya kira kamu tidak akan kemana-mana karena masih sakit." Jovian membukakan pintu untuk Kiana seperti biasa.
Sementara gadis itu hanya mengulum senyumnya, berusaha menahan sesuatu yang hampir meledak di dalam dada sana.
"Ke mall mana?"
"SMS."
"Baiklah, pakai sabuk pengamannya dengan benar." Pinta Jovian.
Pria itu segera menutup pintu mobil di samping Kiana, berjalan ke arah sisi kanan, membuka pintu dan masuk di kursi kemudi seperti biasa.