Laki-laki asing bernama Devan Artyom, yang tak sengaja di temuinya malam itu ternyata adalah seorang anak konglomerat, yang baru saja kembali setelah di asingkan ke luar negeri oleh saudaranya sendiri akibat dari perebutan kekuasaan.
Dan wanita bernama Anna Isadora B itu, siap membersamai Devan untuk membalaskan dendamnya- mengembalikan keadilan pada tempat yang seharusnya.
Cinta yang tertanam sejak awal mula pertemuan mereka, menjadikan setiap moment kebersamaan mereka menjadi begitu menggetarkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Evrensya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Midnight Story
Wanita itu dimana-mana tetaplah sama. Hal yang paling menyebalkan baginya adalah ketika kesalahannya di tunjukkan di depan matanya. Adalah hal yang wajar jika Anna bereaksi seperti itu. Tapi Devan sendiri sangat tidak suka ketika Anna bersikap seolah ingin lepas darinya.
"Anna! atas dasar apa kau berpikiran seperti itu? ini bukan uang untuk menyingkirkan mu! ini adalah bonus yang menandakan perpanjangan masa kerjamu disini!"
"Tapi saya kira saya akan di pecat karna telah tertidur saat jam kerja, bukankah itu adalah kesalahan besar? di tambah lagi dengan begitu banyak kesalahan yang lainnya, bagaimana anda bisa memaklumi nya?"
"Memangnya ada kata-kata pecat yang keluar dari mulutku? kau tidak berhak membuat kesimpulan sendiri." Devan tanpa sadar berucap cukup keras.
"Oke, maaf," jawab wanita cupu itu singkat, kepalanya menunduk. Ada setitik rasa bersalah mulai timbul di benak nya. Duh! Sudah berapa banyak kesalahan yang sudah ia perbuat hari ini. Anna benar-benar mengutuk dirinya sendiri tiada henti. Entah kenapa, mimpi buruk itu masih menguasai emosinya saat ini.
Devan memperhatikan gerak bibir Anna yang merona merah ranum, sebab air telah menghapus bersih warna lipstik yang melapisinya. "Kau jangan terlalu sering meminta maaf. Kecuali jika aku benar-benar menunjukkan letak kesalahanmu."
"Baik, Boss," hanya itu yang Anna katakan.
"Ambillah uang ini, dan kembali lah bekerja besok seperti semula." Suara Devan berubah lebih lembut.
"Terimakasih," Anna kemudian meraih apa yang di berikan Devan untuknya, dan meletakkannya ke dalam saku celananya yang dalam yang kini nampak menonjol.
"Ternyata kau bukan wanita yang naif." Tukas Devan.
Anna langsung mengerti apa maksud dari kalimat yang di lontarkan Devan untuknya.
"Apakah maksud anda karna saya tidak menolak uang yang anda berikan ini? jumlahnya memang sangat besar, tapi anda bilang ini adalah hasil dari kerja keras saya hari ini. Saya bukan wanita materialistis, tapi saya memang bekerja disini untuk mendapatkan uang. Jadi intinya saya menerima uang ini dengan tanpa beban."
"Bagus! jawaban yang seperti inilah yang ingin aku dengar darimu." Devan mengangguk kan kepala dengan menyunggingkan senyuman puas. Matanya menatap lekat wajah wanita yang sangat memikat di balik kamuflase nya itu. Keindahan yang tersembunyi di balik itu, hanya Devan yang mampu melihat.
"Terimakasih banyak," Anna senang karena Devan selalu menanggapinya dengan baik. Suasana hatinya pun kembali membaik.
"Lalu, apa kau ingin pekerjaan dengan level yang lebih tinggi dari seorang cleaning service? maukah kau menjadi sekertaris pribadi ku yang bisa aku andalkan?" tanya Devan penuh harap, agar Anna tertarik dengan tawaran nya.
"Saya menyukai pekerjaan saya saat ini. Meskipun terlihat rendahan, tapi saya merasa nyaman. Dari pada berdiri di puncak dengan cara instan, itu pasti akan membuat sosok saya menjadi perhatian banyak orang, terutama mereka yang telah bekerja keras mengabdikan diri untuk Devaradis. Maaf Boss, hanya saja saya tidak ingin menjadi sorotan, saya lebih suka di tempat paling rendah, bahkan tak terlihat." Jelas Anna.
Devan menarik kursinya agar lebih menempel pada meja, kedua tangannya menjadi tumpuan bagi tubuhnya yang condong ke depan, lebih dekat dengan Anna. "Apa kau yakin menolak tawaranku? memang banyak karyawan yang ingin berada di posisi ini, tapi aku belum menemukan orang yang tepat. Setelah kau datang, aku merasa kau memiliki kemampuan yang luar biasa untuk duduk di posisi ini, membantu segala urusanku yang berkenaan dengan perusahaan."
"Tapi saya benar-benar tidak bisa menerimanya." Mata Anna menoleh ke sana-sini, seolah menyimpan segumpal kecemasan dan keraguan.
Lengan Devan yang panjang itu meraih tangan Anna, kemudian menariknya agar lebih mendekat kepadanya. Lalu Devan sedikit mengangkat tubuhnya, menyerahkan diri hingga mendekati wajah Anna. "Apakah ada alasan lain selain yang kau katakan tadi?" bisiknya cukup keras.
"Boss!" Anna mencoba menarik diri. Tapi otot Devan yang kuat menahannya itu tak bisa ia kalahkan.
"Atau kau— mulai ingin menghindari ku? apa menurutmu aku bersikap terlalu kejam padamu?" suara Devan terdengar begitu di tekan, sehingga nyaris tak terdengar sempurna. Hanya hembusan nafasnya yang begitu panas yang menyentuh permukaan kulit leher Anna bagian belakang.
"Sama sekali tidak!" sahutan Anna langsung membuat pria di dekatnya membuat senyuman nakal.
"Kalau begitu, mengapa kau menolak tawaran ku?" tanyanya sekali lagi.
Anna terdiam sesaat. Memikirkan apakah harus berkata jujur atau tidak, memberikan alasan kalau Ibunya tidak mengizinkan nya menonjolkan diri lebih dari pada ini. Ah, situasi inipun, seandainya Ibu mengetahuinya, ia pasti akan hancur. Tapi bukankah agak berlebihan, kalau menuturkan alasan pribadi sebagai alasan penolakan?
"Saya hanya, tidak memiliki apapun yang ingin saya capai dalam hidup ini." jawab Anna menyembunyikan rapat-rapat kebenaran yang sesungguhnya.
"Mustahil!" bantah Devan dalam hati. Devan kemudian melepaskan Anna. "Baiklah, aku mengerti." Ia mengangguk pelan, seolah penuh pengertian.
"Eh? Apakah itu alasan yang bisa di terima secara rasional oleh Devan? Bukankah itu adalah alasan yang cukup aneh untuk di katakan?" Anna justru meragukan pengertian Devan padanya.
"Saya pikir, anda akan mengatakan, bahwa itu adalah alasan yang aneh dan tidak masuk akal." Anna langsung mengatakan apa yang di pikirkan Devan secara gamblang.
Ya, meskipun Devan pada akhirnya tertangkap basah juga, tapi bijaknya kalimat yang di lontarkan nya membuat Anna menghentikan dugaannya. "Apapun keputusan mu, aku akan menghargai nya. Lagipula aku tidak mungkin memaksakan kehendak ku pada orang lain, meskipun aku sangat menginginkan nya."
"Maksudnya?" Anna merasa bingung dengan maksud dari kalimat terakhir yang di ucapkan Devan. "Menginginkan apa?"
"Bukan apa-apa, tak perlu di pikirkan. Jika suatu saat nanti kau berubah pikiran, selalu ada tempat terbaik untukmu di Devaradis." Sahut Devan, memberikan janji.
"Terima kasih Boss." Kepala Anna tertekuk lagi ke depan. bersungguh-sungguh berterimakasih. "Kalau begitu, saya pamit untuk pulang."
"Mari aku antar," tawar Devan seraya bangkit dari duduknya.
"Tidak perlu Boss, saya lebih baik pulang sendiri," Anna langsung menolak karena sungkan.
"Harus!" Devan menghempaskan nafas kuat-kuat, lalu meletakkan tangan kirinya di atas meja, dan menyodorkan tangan kanannya ke hadapan Anna. Saat ini Devan sedang dalam posisi yang kembali condong ke arah Anna. "Coba lihat jam berapa ini," ucapnya.
Anna bukannya malah melirik arloji yang ada di pergelangan tangan Devan, iris matanya justru salah fokus ke arah kemeja Devan yang menganga lebar, menampilkan susunan garis kotak-kotak di perutnya hingga menonjolkan dada bidang yang putih bersih, aroma wangi tubuhnya menyeruak menyelimuti indra penciuman Anna yang tajam.
Bisa-bisanya dalam kondisi seperti ini, malah memperhatikan objek yang tidak seharusnya menjadi pusat perhatiannya. Seperti yang di ucapkan Devan siang tadi, kalau seorang pelayan harus profesional kerja dalam kondisi apapun. Anna buru-buru mengalihkan pandangannya.
"Lihatlah, sudah lebih dari jam dua malam, memangnya kau akan pulang dengan jalan kaki? mana ada kendaraan umum beroperasi pada tengah malam." Devan tersenyum nakal, sembari menatap Anna dalam-dalam.
Suara Devan yang berat, langsung mengalihkan fokus Anna pada objek yang seharusnya ia lihat. Setelah memperhatikan titik-titik pada benda berbentuk bulat di pergelangan tangan pria itu, Anna terhenyak kaget. "Lewat tengah malam???" mulutnya menganga, matanya terbelalak.
Anna pikir sekarang masih sekitar jam enam sore menjelang malam, ternyata malah sudah lebih dari jam dua belas malam. Itu artinya ia telah menghabiskan hari ini hanya dengan tidur saja.
Anna langsung berlutut kembali begitu menyadari kesalahan besar yang telah di perbuat nya. "Maafkan saya Boss, saya telah—"
"Bangun!" potong Devan. Jangan bertingkah seperti itu lagi. Kan sudah aku katakan, jangan terus-terusan berucap maaf. Salah dan benar itu hanya atas penilaian ku semata, kau tidak punya hak menentukannya!" Devan sungguh tidak suka wanita di depannya ini merendahkan diri di hadapannya.
"Bb- baik," Anna tergagap, dan segera berdiri dengan patuh.
"Pergilah, dan bereskan barangmu. Temui aku di basement dalam lima menit!"
"Baik, saya akan segera kesana setelah mengambil sisa barang saya di loker."
"Oke." Devan pun mempersilahkan Anna keluar dari ruangannya, sedangkan ia sendiri segera mempersiapkan diri untuk pulang.
Kini, Devan sudah menunggu di dalam mobilnya, dan Anna pun tampak sudah berdiri di pintu garasi. Devan sengaja menyalakan lampu mobilnya untuk memberikan kode bagi wanita yang menenteng tas hitam itu untuk datang kepadanya. Dengan cepat, Anna langsung menangkap kode yang di dapatkan nya dan segara mengambil melangkah cepat menghampiri mobil hitam yang didalamnya sudah terisi oleh pemiliknya.
"Masuk!" perintah Devan setelah pintu mobil di buka lebar.
Anna mengangguk, lalu segara menempati tempat duduknya yang telah di sediakan, tepat di samping si Boss yang akan menyetir. Anna menutup pintu mobil dengan sedikit bantingan keras. Lalu mencoba memasang sabuk pengaman, namun ia kesulitan.
Devan yang sedang memperhatikan gerak-gerik Anna bertanya, "tidak bisa lagi?"
"Iya," Anna menjawab dengan wajah polos.
"Kau sangat pandai pada masalah yang besar, tapi mengapa kau malah kesulitan pada hal-hal yang sederhana."
"Itu karna saya tidak pernah naik mobil pribadi seperti ini." Anna menorehkan mata yang masih sedikit memerah, karna tidur dalam waktu yang cukup lama. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Anna merasakan kepuasan yang begitu menyenangkan dalam lelapnya. Mengapa di ruangan Devan terasa begitu menenangkan? Seolah ia sedang terbaring tenang di taman syurga.
Setiap malam, Anna tak pernah lelap. Bukan, bukan sama sekali ia tak pernah kesulitan dengan kondisinya, tetapi, bayangkan saja, bagaimana ia bisa tertidur saat harus bertarung melawan mimpi buruk yang selama bertahun-tahun selalu menjadi bagian dari tidurnya. Perasaan cemas, traumatis, entah mengapa begitu berani menonjolkan diri di kala otak dan hatinya sedang beristirahat. Itulah alasan mengapa ia mengkonsumsi tumbuhan jenis salvia divinorum itu, sebagai obat penenang alami.
Yah, meski malam ini pun tidurnya tak luput dari serangan mimpi buruk, tapi Anna rasa itu tidak terlalu buruk, karna mimpi buruk itu hanya hadir di penghujung waktu yang memang mengharuskan nya untuk bangun.
"Benarkah? Kau sama sekali belum pernah?" kedua alis Devan bertaut seolah tak percaya mendengar pernyataan Anna.
Suara Devan menyadarkan Anna dari tatapan kosongnya. "Iya," jawabnya kemudian di sertai anggukan.
Devan menjulurkan tangan untuk membantu Anna. Lengannya yang besar dan berotot itu meraih tali belt yang menempel pada sisi kursi yang di duduki oleh Anna.
"Oke, kalau begitu biar aku ajari," seperti siang tadi saat mengajari Anna mengikat dasi, saat ini Devan pun ia mengajari Anna bagaimana cara memasang sabuk pengaman yang benar.
"Mulai sekarang kau juga wajib tau cara memasang sealt belt yang benar. Mudah saja, kau tinggal pakai bagian atas dengan benar, lalu perhatikan tali bagian bawah harus di posisi bagian bawah pinggang, agar kekuatan sabuk menopang tubuhmu lebih kuat. Kemudian perhatikan jangan sampai sabuk terpelintir, dan yang terakhir kau harus mendengar suara klik saat proses penguncian. Done!"
Ini bukan hanya mengajari dengan teori saja, tapi Devan langsung mempraktekkan nya pada tubuh Anna yang terlihat menegang, dengan menempelkan diri dalam-dalam pada sandaran kursi. Anna mewanti-wanti agar jangan sampai bersentuhan dengan Devan, yang kini terlalu dekat dengannya.
Bahkan hembusan nafas pria itu pun dapat Anna rasakan. Hingga aroma tubuh sensual yang meningkatkan sensitivitas itu sangat menggangu otak Anna. Tapi apa boleh buat, sejak tadi sentuhan itu sudah terjadi.
"Kenapa kau bereaksi seperti itu? aku tidak berniat buruk padamu. Aku bukan pria mesum yang jahat. Aku hanya mengajarimu, itu saja." Devan kembali duduk santai pada kursi kemudinya, setelah memasang kan sealt belt di tubuh Anna yang kaku. Yah, memang tidak di pungkiri, adegan tadi itu cukup membuat keintiman diantara mereka, tapi Devan benar-benar tidak memiliki niat buruk sedikitpun.
"Ayo kita berangkat sebelum malam semakin larut." Devan pun menyalakan mesin mobilnya dan melaju keluar dari basement yang ada di lantai dasar di bawah tanah, menuju gerbang utama yang disana sudah berjaga dua orang satpam.
"Selamat jalan Boss besar, semoga anda selamat sampai tujuan," mereka memberikan salam hormat ketika mobil yang di kendarai Devan keluar menuju jalan besar.
Malam yang senyap. Suara mobil menderum membelah jalanan yang legam. Melaju kencang menembus kabut hitam yang tebal. Meliuk-liuk, melintasi jejeran perumahan yang sepi. Sedangkan Anna masih membeku dalam posisi duduk yang tegap lurus, tidak tau harus menanggapi seperti apa ucapan Devan, tadi. Yang jelas Anna telah di timbun oleh rasa malu yang berkali-kali lipat.
"Sebutkan alamat rumahmu," kata Devan di sela-sela ketegangan yang masih nampak mengunci ekspresi Anna.
Lalu Anna pun menyebutkan nya dengan terbata. Setelah itu tidak ada percakapan lagi yang muncul di antara mereka sepanjang perjalanan, hanya ada suara mesin mobil yang memecah kesunyian malam, hingga mereka sampai pada alamat yang di tuju.
Mobil hitam itu sampai pada jalanan dengan aspal yang sedikit rusak dan berlubang, Anna meminta mobil itu berhenti di depan gang sempit dengan jalan yang cukup menanjak naik, jelas kendaraan roda empat tidak dapat masuk kesana. "Benar rumahmu di daerah sini?" tanya Devan memastikan.
"Iya benar," jawab Anna lembut. "Terimakasih sudah bersedia mengantar saya."
"Bukan masalah. Oiya kau lupa ini," Devan menyodorkan kaca mata bulat kehadapan Anna.
"Oh ya," Anna tidak ingat kapan ia melepas benda ini. Padahal seharusnya aksesoris penting ini tidak boleh lepas darinya. Entah bagaimana bisa benda ini ada pada Devan. "Sekali lagi terimakasih atas pengertian dan kebaikan hati anda Boss."
"Kau sudah berlalu banyak mengucapkan kata-kata itu, berterima kasih lah secukupnya saja."
"Baiklah, kalau begitu saya harus keluar sekarang." Anna berpamitan.
Devan membatu Anna menguak pintu mobil dari samping, lalu mempersilahkan Anna keluar dengan isyarat tangan. Setelah itu, Anna pun turun dari pintu yang terbuka.
Namun begitu Anna tiba di luar, dan suara pintu mobil telah di tutup kembali oleh sang pemilik. Alangkah terkejutnya ia ketika mendapati Ibunya saat ini tengah berdiri disana, di bawah tiang listrik yang menjulang. Sorot matanya yang menyala garang, memandang Anna seperti monster yang hendak menerkam korbannya.
"Ibu?!" tubuh Anna langsung bergetar hebat, tas hitam yang di pegangnya pun sampai jatuh ke tanah, semua otot yang menyangga tubuhnya terasa lemas seketika.
"Bukankah Ibu mengatakan akan pergi dalam waktu yang cukup lama? Mengapa tiba-tiba ada disini?" batinnya di gerogoti oleh rasa takut yang besar.
Sedangkan Devan yang masih berdiam diri di dalam mobil, memperhatikan kedua orang yang sedang saling tatap-menatap dalam atmosfer aneh nan mencekam. Ia pun tidak berniat untuk meninggalkan Anna sendirian.
mampir di novelku ya/Smile//Pray/