Hanya karena Fadila berasal dari panti asuhan, sang suami yang awalnya sangat mencintai istrinya lama kelamaan jadi bosan.
Rasa bosan sang suami di sebabkan dari ulah sang ibu sendiri yang tak pernah setuju dengan istri anaknya. Hingga akhirnya menjodohkan seseorang untuk anaknya yang masih beristri.
Perselingkuhan yang di tutupi suami dan ibu mertua Fadila akhirnya terungkap.
Fadila pun di ceraikan oleh suaminya karena hasutan sang ibu. Tapi Fadila cukup cerdik untuk mengatasi masalahnya.
Setelah perceraian Fadila membuktikan dirinya mampu dan menjadi sukses. Hingga kesuksesan itu membawanya bertemu dengan cinta yang baru.
Bagaimana dengan kehidupan Fadila setelah bercerai?
Mampukah Fadila mengatasi semua konflik dalam hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lijun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4.
"Kamu yakin ini tempat kita bisa jual rumah, Dwi?" Tanya Fadila sembari menatap bangunan di depannya.
"Iya, kamu gak lihat spanduknya di depan. Ini perusahaan properti punya temen aku, kamu pasti bakalan dapet harga ok di sini." Dwi menarik tangan Fadila agar mengikutinya.
Sedangkan Fadila menarik tangan Sinta, dan jadilah mereka berjalan berantai saling menggandeng.
"Kita jadi seperti mau nyeberang, ya. Pada hal cuma mau masuk ke perusahaan." Fadila mengangguk setuju dengan apa yang di katakan Sinta.
Setelah mengikuti beberapa prosedur di perusahaan itu. Fadila akhirnya biaa melakukan proses penjualan.
Rumah Fadila mendapatkan penawaran besar karena letaknya yang sangat strategis menurut pihak pembeli.
Belum lagi si cerewet Dwi yang terus saja mengoceh pada temannya yang merupakan pemilik perusahaan itu.
"Kamu semakin lama semakin cerewet, Dwi." Pria dewasa yang sejak tadi bicara pada Dwi melihat gadis itu.
"Memang," sahut Dwi acuh.
"Jangan acuh-acuh, nanti aku nya semakin gemes sama kamu." Pria itu mencubit pipi Dwi pelan.
"Apaan sih Devan? Jangan lebay." Dwi mengusap pipinya pura-pura sakit, pada hal cubitan Devan sama sekali tidak sakit.
"Gak papa lebay kalau demi kamu." Devan tersenyum manis pada Dwi yang membuat gadis itu merona malu.
Sinta menyenggol bahu Fadila yang sedang fokus pada wanita di depannya, hingga wanita itu menoleh.
"Lihat tuh temen kamu, hatinya lagi berkembang-kembang." Fadila melihat ke arah Dwi yang nampak malu-malu bersama Devan.
"Lagi jatuh cintrong dia." Sinta mengangguk setuju dengan ucapan Fadila.
Setelah semua urusannya selesai, dan Fadila juga sudah mendapatkan uangnya yang langsung di transfer ke rekeningnya.
Sebelumnya Fadila sempat membuat rekening baru untuknya. Karena rekening lamanya berada dalam pengawasan Febri, dan pria itu juga bisa mengetahui semua uang masuk dan keluar dari rekening Fadila.
Fadila juga meminta waktu 3 hari pada pihak pembeli untuk membereskan barang-barang pribadinya. Pihak pembeli setuju dengan permintaan Fadila itu.
"Hati-hati, Dwi. Nanti malam aku dateng ke rumah, ucap Devan sembari tersenyum.
Dwi hanya membalas dengan anggukan dan senyum malu-malunya. Gadis itu juga segera masuk ke dalam mobil di mana Fadila dan Sinta sudah menunggu.
Saat mobil sudah melaju, Dwi masih saja terus tersenyum.
"Jodohku, kapan kah kamu akan menghampiri daku yang jomblo ini. Betapa menyedihkannya nasib jomblo yang merana saat ada orang yang sedang jatuh cinta."
"Berhenti menggodaku," ucap Dwi saat tahu kalimat Sinta menyindir dirinya.
"Oh menggodaku, godalah aku." Fadila ikutan bersuara.
"Hah ... Begini memang kalau punya temen yang satu jomblo akut, yang satu calon janda." Dwi geleng kepala.
"Aku ini janda menggoda tahu," ucap Fadila bangga pada dirinya sendiri.
"Kalau gitu kamu harus tunjukkan kalau kamu cantik dan mempesona, Fa. Ganti semua baju kamu, yang lama itu sumbangin aja. Kalau kamu sudah punya usaha nanti, kita ganti style kamu." Sinta memberi masukan.
"Bener tuh, kamu harus buktikan sama ibu mertua julidin kamu. Kalau selama ini dia sudah salah menilai kamu." Dukung Dwi juga.
"Aku juga sepemikiran sama kalian sebenernya," ucap Fadila.
"Kalau gitu tunggu apa lagi? Nanti aku bakalan caritahu harga saham di beberapa perusahaan papiku. Aku bakalan minta papi untuk usahakan supaya kamu bisa punya walau sedikit saham di sana." Sinta memberi solusi pada Fadila.
"Nah iya, di perusahaan papinya Sinta walau kamu punya sedikit saham juga sudah dapat banyak keuntungan." Dwi melirik Fadila.
"Kira-kira berapa harganya per 1%, Sin?" Tanya Fadila.
"Ya gak tahu lah aku, nanti kita diskusikan dulu sama papiku." Sinta melihat Fadila.
"Oke, lagian aku gak yakin kalau uang ku sekarang cukup." Fadila memegangi tas selempangnya ragu.
"Memangnya berapa semua uang yang sudah kamu kumpulkan sekarang?" Tanya Dwi.
"Berapa, ya? Uang dari jual perhiasan tadi 200 juta semuanya. Kalau dari jual rumah, 2 milyar lebih."
Kedua mata Sinta berbinar mendengar ucapan Fadila.
"Itu sih bisa buat beli 10% sampai 15% saham di perusahaan, papi." Semangat Sinta.
"Kalau bisa yang 2 milyar saja yang mau ku invertasikan. 200 jutanya untuk kebutuhan hidup sampai nanti aku dapet penghasilan tetap kalau investasinya berhasil. Trus apartemennya kalau dapet nanti baru uang sewanya untuk kebutuhan hidup. Yang 200 juta untuk tabungan masa depan."
Fadila mengatakan semua rencananya pada kedua sahabatnya yang selalu mendukungnya itu.
"Kalau memang begitu rencana kamu, kami berdua cuma bisa selalu mendukung dan membantu kamu supaya bisa mendapatkan yang terbaik." Dwi tersenyum manis pada Fadila.
"Iya bener, tapi sekarang kita selesaikan dulu si buaya buntung yang sudah hianati kamu itu, Fa." Sinta melihat Fadila.
"Hah ... Pada hal dulu dia begitu romantis dan peehatian. Tapi sekarang malah begini jadinya rumah tanggaku, dulunya ku kira bakalan langgeng karena kami slaing mencintai."
Fadila merebahkan kepalanya di sandaran kursi mobil. Menerawang masa lalu saat Febri berjanji akan setia pada pernikahan mereka dan selalu mencintainya.
Tali kenyataannya sangatlah berbeda, hanya karena sang ibu yang selaku mengungkit jasanya dalam membesarkan Febri. Wanita tua itu ingin selalu di turuti, jika tidak maka mengancam akan mengakhiri hidup.
"Itulah resiko kalau punya mertua yang cuma memandang status, Fa." Sinta menatap tak tega Fadila yang kembali bersedih.
"Bebet, bobot, bibit, yang jadi perhitungan mereka. Kenapa gak sekalian sama tunasnya, batangnya, daunnya, buahnya? Kan komplit tuh jadinya." Gurau Dwi mencairkan suasana.
"Jadi pohon dong nanti kalau begitu." Sinta terkekeh mendengar ucapan Dwi.
"Memang pohon. Pohon kaktus," ucap Fadila tersenyum pada kedua temannya.
"Berduri dong," sahut Dwi.
"Durinya yang gimana dulu nih? Banyak jenisnya kaktus dengan berbagai jenis duri yang berbeda pula." Sinta menatap Dwi dan Fadila bergantian.
"Kaktus yang di padang pasir itu, yang durinya segede jarum." Dwi berucap sembari membelokkan mobilnya memasuki pekarangan rumah mewah orang tuanya.
"Sudahlah, jangan membahas si kaktus terus. Nanti bisulan dia kalau terus di bahas," ucap Fadila yang membuat Dwi dan Sinta tersenyum kecil.
Rencana mereka berdua mengalihkan kesedihan Fadila berjalan lancar.
"Pak, tolong bawain koper di bagasi kelantai atas." Dwi berucap pada supir yang selalu menyambut ke datangan tuannya untuk memasukkan mobil ke garasi.
"Baik, Non." Si bapak langsung membuka bagasi dan melakukan apa yang di katakan Dwi.
Ketiga perempuan masuk ke dalam runah Dwi, ini bukan kali pertama bagi Fadila dan Sinta datang ke rumah itu. Bahkan mereka sudah sangat akrab dengan orang tua masing-masing.
Hanya Fadila saja yang tidak punya orang tua, jadi orang tua Dwi dan Sinta menganggap wanita iti sebagai anak mereka juga. Dan itu membuat Fadila senang karena memiliki keluarga.