Hanzel Faihan Awal tak menyangka jika pesona janda cantik penjual kue keliling membuat dia jatuh hati, dia bahkan rela berpura-pura menjadi pria miskin agar bisa menikahi wanita itu.
"Menikahlah denganku, Mbak. Aku jamin akan berusaha untuk membahagiakan kamu," ujar Han.
"Memangnya kamu mampu membiayai aku dan juga anakku? Kamu hanya seorang pengantar kue loh!" ujar Sahira.
"Insya Allah mampu, kan' ada Allah yang ngasih rezeky."
Akankah Han diterima oleh Sahira?
Yuk pantengin kisahnya, jangan lupa kasih bintang lima sama koment yang membangun kalau suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cucu@suliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BTMJ2 Bab 17
Dion merasa kesal dan kecewa terhadap kehidupannya, karena wanita yang dia bela ternyata dengan teganya mengusir dirinya.
Wanita itu yang mandul dan tidak bisa memiliki keturunan, tetapi wanita itu yang memaksa dirinya untuk melakukan hal jahat. Bahkan, wanita itu juga yang marah karena dia tidak bisa menuruti hal jahat yang diinginkan oleh wanita itu.
"Dasar wanita sialan! Wanita brengsek! Bisa-bisanya dia mengusirku dan memperlakukanku seperti binatang," ujar Dion.
Cukup lama pria itu duduk di pinggir jalan, dia sedang berpikir ke mana dia harus pergi. Hampir seluruh harta yang dia punya ada di tangan Risma, tetapi entah lama kemudian dia tersenyum miris.
"Apa gue pulang aja ke rumah kedua orang tua gue?" tanya Dion berbicara kepada dirinya sendiri.
Selama ini Dion selalu memperlakukan orang tuanya dengan baik, dia selalu memberikan uang bulanan yang cukup kepada kedua orang tuanya.
Bahkan, Dion dulu tega meninggalkan Sahira karena ingin menjadi pengusaha sukses yang bisa memanjakan kedua orang tuanya dengan harta.
Selama hampir delapan tahun dia menikah dengan Risma, tentunya jika ada keuntungan lebih saat dia mendapatkan project besar, dia itu akan memberikan uang yang lebih pula kepada kedua orang tuanya.
"Ya, gue mending pulang aja. Untuk urusan perceraian gue sama Risma, semoga bonyok gak sedih dan marah."
Dion akhirnya mencegat taksi, tentunya tujuan utamanya adalah pergi ke rumah kedua orang tuanya. Saat tiba di sana, dengan ragu dia melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam rumah kedua orang tuanya itu.
"Dion, kamu pulang, Nak?"
Wanita paruh baya yang wajahnya mirip dengan Dion itu menghampiri putranya, lalu dia memeluk putranya dan mengajak putranya itu untuk duduk di atas sofa.
"Iya, Bun. Dion pulang, sepertinya Dion bukan pulang hanya sebentar saja. Mau numpang dulu sama Bunda dan Ayah," jawab Dion.
"Loh, kok mau numpang? Maksudnya bagaimana? Kenapa kamu bilang tinggal di rumah kami tidak hanya sebentar?"
Ayahnya Dion turut berbicara, dia merasa heran mendengar apa yang dikatakan oleh putranya itu. Karena tidak biasanya Dion mengatakan hal yang seperti itu.
Saat pria itu masih lajang saja Dion jarang sekali tinggal di rumah, setelah bekerja dia selalu tinggal di apartemen milik pria itu. Apartemen yang dulunya terlihat sederhana tapi begitu nyaman untuk putranya.
Kedua orang tuanya selalu berkata kalau Dion harus tinggal di rumah mereka, tetapi dia selalu berkata ingin mandiri. Dia selalu berkata ingin mengembangkan usahanya, ingin merintis usahanya dari kecil sampai besar. Ingin membahagiakan kedua orang tuanya agar tidak susah di masa tuanya.
"Aku diceraikan oleh Risma, aku diusir dan dicampakkan." Dion berbicara sambil menunduk lesu.
"Apa? Apa kamu melakukan kesalahan?"
"Risma meminta aku untuk mengambil Cia dari Sahira, aku tak bisa melakukannya. Jadi, Risma membuangku."
Kedua orang tuanya nampak menghela napas berat, tentu saja berita tentang Sahira yang dulu dihamili Dion tapi dibuang oleh Dion sudah beredar luas. Keduanya sebenarnya kecewa kepada anaknya, tetapi mereka tak bisa berkata-kata.
Walau bagaimanapun juga Dion adalah putra mereka, Dion adalah anak yang begitu berbakti dan selalu berusaha untuk membahagiakan keduanya. Mereka tak bisa memaki atau membenci Dion begitu saja.
"Kalau begitu mulailah hidup yang baru," ujar Ayahnya Dion.
"Kamu juga harus bertaubat, jangan menjadikan seseorang untuk menjadi jembatan kekuasaan. Lihatlah sekarang seperti apa keadaannya," ujar Ibunya Dion.
"Ya, Bun. Aku salah," ujar Dion.
"Padahal Sasa merupakan wanita yang begitu baik sekali, penurut dan sangat manis. Bunda sampai merasa tak percaya saat pertama kamu bilang dia hamil anak pria lain, jujur Bunda kecewa saat tahu kalau kamu sudah berbohong selama itu."
"Maaf, Bun. Dion salah, dulu dia terlalu terobsesi untuk menjadi orang kaya."
"Tak apa, sekarang cepatlah makan dan istirahat. Nanti kamu bisa memulai usaha baru dengan uang yang selalu kamu kasih dalam setiap bulannya kepada kami."
"Bun, Yah. Aku--- "
"Tak perlu banyak bicara lagi, jadilah manusia yang lebih baik. Pergunakan nanti uang itu dengan baik, tentunya untuk usaha yang sesuai dengan jumlah uang yang ada. Jangan ingin instan dalam melakukan segala hal," ujar Ayahnya Dion.
"Ya, tidak semua yang instan itu baik, Dion. Jadilah manusia cerdas," ujar Bunda Dion.
Sebenarnya kedua orang tuanya Dion begitu ingin sekali bertemu dengan Cia, apalagi setelah mengetahui kalau Cia adalah anak kandung dari Dion. Setelah mereka mengetahui wajah anak itu begitu mirip dengan Dion, tetapi mereka malu, takut diusir dan tidak diterima kedatangannya.
"Ya, Ayah, Bunda. Terima kasih," ujar Dion malu bercampur senang karena ternyata malah kedua orang tuanya yang bisa membantu dirinya di sangat susah seperti ini.
Di lain tempat.
Setelah makan malam bersama dengan ibundanya, Hanzel mengajak anak dan juga istrinya untuk pulang. Dia langsung masuk ke dalam ruang kerja, sedangkan Sahira membantu Cia untuk membersihkan tubuhnya dan menina bobokan anaknya itu.
Hanzel bukannya tidak ingin bermesraan dengan istrinya, tetapi ada hal yang harus dia kerjakan mengenai pekerjaan dan harus diselesaikan malam ini juga.
"Alhamdulillah, akhirnya selesai juga."
Hanzel meregangkan otot-otot lelahnya, setelah itu dia keluar dari dalam ruang kerjanya dan masuk ke dalam kamar utama. Saat dia masuk, Hanzel melihat istrinya yang sudah lelap dalam tidurnya.
Wanita itu menggunakan baju tidur panjang, Sahira bahkan membalut tubuhnya dengan selimut sampai sebatas pinggang. Namun, entah kenapa wanita itu terlihat begitu menggoda di mata Hanzel.
"Aih! Kenapa dia begitu seksi?"
Mata Hanzel rasanya tidak bisa berkedip, dia ingin terus menatap wajah istrinya. Bahkan, dia ingin memperhatikan seluruh bagian tubuh istrinya tersebut.
"Duh! Bibirnya bikin aku pengen ngecup," ujar Hanzel saat melihat bibir Sahira yang nampak sedikit terbuka.
Hanzel lalu merebahkan tubuhnya di samping istrinya, lalu dia memeluk Sahira dari belakang karena istrinya itu tidur menyamping.
Tangan pria itu tanpa dikomando terlihat menelusup masuk ke dalam piyama tidur yang digunakan oleh istrinya, tangan itu dengan nakalnya memijat kedua benda kenyal yang nampak menggoda itu.
"Engh!"
Sahira yang terganggu nampak menggeliatkan tubuhnya, wanita itu bahkan menepis tangan Hanzel. Padahal, matanya nampak tertutup.
"Yang, pengen." Hanzel berbisik tepat di cuping telinga istrinya.
Sahira tidak terbangun, wanita itu malah terlihat menggeser letak tubuhnya dan mengusap telinganya. Hanzel yang melihat akan hal itu langsung berdecak.
Padahal Sahira sudah merasa kelelahan, dia ingin beristirahat karena dari pagi sampai sore mereka sudah melakukannya. Wanita itu nampak begitu kelelahan, karena Ini pertama kalinya dia kembali melakukannya setelah berpuasa bertahun-tahun.
"Ayang, ih! Aku pengen," ujar Hanzel yang langsung naik ke atas tubuh istrinya.
Pria itu terlihat tidak sabar sekali, Hanzel bahkan langsung menyesap bibir istrinya dengan lembut. Tentu saja mata Sahira langsung terbuka mendapatkan perlakuan seperti itu dari suaminya.
"Kamu mau apa?" tanya Sahira setelah mendorong wajah suaminya.