"Kamu tahu arti namaku?" Ucap Acel saat mereka duduk di pinggir pantai menikmati matahari tenggelam sore itu sembilan tahun yang lalu.
"Langit senja. Akash berarti langit yang menggambarkan keindahan langit senja." jawab Zea yang membuat Acel terkejut tak menyangka kekasihnya itu tahu arti namanya.
"Secinta itukah kamu padaku, sampai sampai kamu mencari arti namaku?"
"Hmm."
Acel tersenyum senang, menyentuh wajah lembut itu dan membelai rambut panjangnya. "Terimakasih karena sudah mencintaiku, sayang. Perjuanganku untuk membuat kamu mencintaiku tidak sia sia."
Air mata menetes dari pelupuk mata Zea kala mengingat kembali masa masa indah itu. Masa yang tidak akan pernah terulang lagi. Masa yang kini hanya menjadi kenangan yang mungkin hanya dirinya sendiri yang mengingatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RahmaYesi.614, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidur di gudang
Amel terus mengikuti Lui hingga tiba di depan kamar Acel.
"Maaf Nona, silahkan kembali ke kamar Nona."
"Aku gak mau. Aku rindu kak Lui." rengeknya yang kembali merangkul tangan Lui.
"Nona, jangan seperti ini. Nyonya akan marah jika dia melihat Nona seperti ini."
"Aku tidak peduli. Aku tidak akan melepaskan tangan ini sampai kak Lui mau janji mengajakku nonton dan hanya kita berdua." ancamnya dengan membuat wajah menggemaskan yang selalu meruntuhkan pertahanan Lui.
Cup
Dengan cepat Lui mengecup pipi lembut Amel dan itu membuat Amel merona.
"Lepaskan tangan saya, Nona." bisik Lui lembut yang membuat Amel segera melepaskan tangannya dan berlari cepat masuk ke kamarnya.
"Menggemaskan." Gumam Lui menahan senyum salah tingkahnya karena telah berani mencium pipi gadis yang sudah hampir lima tahun terakhir mengganggu hari harinya.
Ceklekkk
Suara pintu terbuka mengalihkan fokus Lui yang langsung menoleh ke pintu kamar kosong yang dijadikan gudang di ujung lorong sana. Matanya terperangah kaget melihat Zea keluar dari kamar kosong yang dijadikan gudang tempat penyimpanan barang barang tak terpakai milik Acel.
"Nona Zea!"
"Kak Lui."
"Nona tidur di gudang?" tanya Lui menghampiri Zea yang masih berdiri di depan pintu itu.
"Apa Tuan muda meminta Nona tidur di gudang?"
"Gak, Kak. Kak Acel tidak pernah memintaku tidur di kamar ini..."
"Lalu, siapa. Nyonya?!" tebaknya yang langsung diangguki pelan oleh Zea.
"Tuan muda tahu soal ini?"
Dengan cepat Zea menggeleng, "Jangan beritahu kak Acel, Kak. Lagian kamar ini bersih kok dan masih layak ditempati."
"Aku tidak bisa menjanjikan untuk tidak memberitahu Tuan muda, maaf."
"Tapi, Kak..."
Lui sudah melangkah menuju kamar Acel dan menghilang disana. Zea sendiri masih menatap kearah pintu dimana Lui menghilang.
"Percuma, kak Acel tidak akan peduli tentangku sama sekali." bisiknya sebelum akhirnya dia meninggalkan rumah megah itu untuk menuju kafenya.
.
.
.
Lui terpaksa ikut sarapan bersama setelah dipaksa oleh Alia dan Amel. Sarapan telah selesai, Amel sudah berangkat ke kantornya lebih dulu, sementara Handi masih sibuk mengelap kaca mobil yang sama sekali tak berdebu.
"Maaf Nyonya, tapi saya penasaran dengan satu hal."
"Ada apa, Lui. Apa yang membuat kamu pensaran?"
"Em, apa Nyonya memindahkan nona Zea ke gudang?" pertanyaan itu membuat Alia tersenyum geli kemudian dia tertawa yang mencuri perhatian Handi.
"Kenapa kamu begitu peduli pada istri Tuan muda-mu Lui? Apa kamu sudah lupa bagaimana hancurnya Acel saat mengetahui perselingkuhannya?"
"Tidak Nyonya. Saya tidak pernah melupakan kejadian itu. Saya hanya merasa kasihan pada nona Zea yang harus tidur di gudang..."
"Kamu kasihan padanya?" Alia tertawa geli. "Jangan bilang kamu punya perasaan padanya!"
"Bukan seperti itu, Nyonya. Hanya saja..."
"Sudahlah Lui, jangan mengurus yang bukan urusanmu. Dengan begitu, hidupmu akan tetap tenang, nak." ucapnya lembut sambil menyentuh bahu Lui.
"Handi, kita berangkat sekarang!"
"Baik, Nyonya."
Dengan cepat Handi membukakan pintu mobil untuk Alia, kemudian dia ikut masuk ke mobil setelah mengucapkan kata penyemangat pada putranya.
.
.
.
Lui tiba di kantor Acel. Dia segera memberikan USB yang diambilnya di kamar Acel.
"Nona Zea tidur di gudang." ucap Lui dengan bahasa santai. Dia merasa perlu bicara pada Acel sebagai teman bukan sebagai asisten dan boss.
"Lalu?"
"Kau tidak peduli sama sekali?!" suara Lui meninggi yang membuat Acel menatap tajam padanya.
"Kau ingin aku melakukan apa padanya? Kau ingin aku memberinya hatiku seperti dulu? Itu tidak akan pernah terjadi. Bagiku dia hanya alat untuk melengkapi persyaratan menjadi pemilik Sky grup. Tidak lebih dari itu."
Lui kesal mendengar pernyataan Acel barusan. Ya, Acel benar, dia tidak harus memberikan hatinya lagi pada Zea, tapi Lui mau setidaknya Acel memperlakukan Zea layaknya manusia yang harus diberikan kenyamanan dan rasa aman, bukan malah membuat Zea hidup dalam kesengsaraan dan menyedihkan seperti saat ini.
"Aku tau kau tidak akan pernah mengampuni siapapun yang telah mengkhianatimu, tapi lihatlah dia sebagai manusia, Cel. Setidaknya kau harus mengucapkan rasa terimakasih padanya karena bersedia kau nikahi. Lagi pula kau akan segera menjadi pemilik Sky grup, setidaknya berilah dia tempat tinggal yang nyaman bukan tempat kotor itu."
"Kau tidak perlu mengajariku untuk berbelas kasih pada manusia, Lui. Asal kau tau, aku sudah sangat berbaik hati padanya dengan tidak mencekik lehernya atau merusak wajahnya!" teriak Acel kesal bercampur amarah yang berapi api.
Lui pun terdiam, Acel marah saat ini. Bagi orang lain itu akan sangat menakutkan. Tapi, Lui yang sudah mengenal Acel jauh lebih dari siapapun hanya melihat goresan luka yang masih sangat dalam dan kerinduan yang tak berani dia akui.
"Maafkan aku. Aku terlalu ikut campur urusanmu." Lui akhirnya mengalah.
"Apakah Tuan muda masih ingin saya terus mengawasi nona Zea?" lanjut Lui yang kembali menjadi seorang bawahan Akash Ceilo Sandrio.
"Tidak usah. Mulai sekarang biarkan saja dia. Kamu hanya kerjakan tugasmu seperti biasa. Aku tidak ingin hubungan kita menjadi renggang hanya karena simpatimu pada Zea."
"Baik, Tuan muda. Sekali lagi saya minta maaf." Lui pun segera keluar dari ruangan itu menuju ruangannya sendiri yang ada di sebelah ruangan Acel.
Suasana hatinya tidak enak karena terlalu ikut campur urusan Tuannya. Namun, mengenang Zea yang dibawa ke rumah utama untuk disiksa membuat naluri kemanusiaannya terganggu.
.
.
.
Zea tidak datang ke kafe hari ini, dia justru sedang berada di rumah bakti sosial perlindungan perempuan. Dia berada di ruangan salah seorang pengacara wanita yang menurut cerita Ibu panti, wanita inilah tempat Sanah pertama mengadu.
"Nona Zea ingin mencari tahu tentang seorang wanita bernama Sanah?" tanya wanita itu ramah karen dia tahu Zea menantu pemilik rumah bakti ini.
"Iya, mbak."
Sebentar wanita itu tampak memeriksa tumpukan kertas yang ada di belakang kursinya dan juga yang tersusun di rak. Setelah cukup puas mencari, akhirnya dia tersenyum lega.
"Ini saya temukan berkas laporan mbak Sanah dua belas tahun yang lalu, Nona."
Segera Zea memeriksa berkas laporan tersebut yang mana dalam laporan itu dituliskan bahwa Sanah menuntut keadilan karena telah dilecehkan oleh salah satu karyawan dari rumah bakti sosial.
"Lalu, bagaimana kelanjutan tuntutan ini, mbak?" tanya Zea penasaran.
"Seingat saya mbak Sanah menarik kembali tuntutannya, karena karyawan itu meminta maaf dan tidak bermaksud melakukan pelecehan. Hanya sebatas itu, Nona."
Zea mencengkeram erat kertas ditangannya. Mendengar penuturan wanita ini membuatnya semakin yakin bahwa Alia berada di balik semua yang dialami Sanah dan Rudi.
Dia meninggalkan tempat itu dengan perasaan marah, namun belum bisa melakukan apapun untuk membalas mereka.
"Lihatlah, Handi. Wanita itu akhirnya memperlihatkan taringnya. Sudah aku bilang habisi dia, tapi kamu malah memintaku untuk melepaskannya!" teriak Alia memaki Handi saat mereka melihat Zea dari ruang pemantau CCTV.
"Tenanglah Nyonya, saya akan segera mengurusnya."
"Aku tidak mau tau. Bagaimanapun caranya lenyapkan dia dari kehidupanku!"
"Akan saya lakukan apapun demi kenyamanan Nyonya." ucap Handi patuh.