Demi menyelamatkan nama baik keluarganya, Audrey dipaksa menggantikan adik tirinya untuk menikahi Asher, seorang tuan muda yang dikenal cacat dan miskin. Audrey yang selama ini dianggap anak tiri yang tidak berharga, harus menanggung beban yang tak diinginkan siapa pun.
Namun, hidup Audrey berubah setelah memasuki dunia Asher. Di balik kekurangan fisiknya, Asher menyimpan rahasia besar yang bahkan keluarganya sendiri tak pernah tahu. Perlahan, Audrey mulai menyadari bahwa suaminya bukan pria biasa. Ada kekuatan, kekayaan, dan misteri yang tersembunyi di balik sosok pria yang diabaikan itu.
Ketika rahasia demi rahasia terungkap, Audrey mendapati dirinya terjebak di antara cinta, intrik, dan bahaya yang tak pernah ia bayangkan. Siapkah Audrey menghadapi kenyataan tentang Asher? Dan apakah takdir yang mempertemukan mereka adalah kutukan atau justru anugerah terbesar dalam hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qaeiy Gemilang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Karena Dia Suamiku
Asher di dorong oleh Franklin memasuki perusahaan dengan wajah tegas tanpa ekspresi. Wajahnya yang serius dan penuh ketegasan menarik perhatian karyawan di dalam bangunan tersebut.
“Selamat datang, Tuan!” para karyawan menyapa sambil membungkuk.
Asher melewati para karyawan-karyawan itu dengan kursi roda sambil berkata, “Apakah kalian berpikir bahwa aku perlu menghabiskan waktu ku untuk menyapa kalian?” cibirnya angkuh.
“Maaf, Tuan, kami hanya ingin memberikan salam dan menyambut Anda dengan baik.” Ucap mereka.
“Hentikan basa-basi kalian. Karena itu hanya akan membuang waktuku!” sentak Asher.
Asher segera berlalu menuju ke ruang meeting yang telah dihadiri oleh para dewan direksi dan juga paman pertama, Tuan Gavin dan paman kedua yaitu, Tuan Henry. Kedua paman itu telah duduk di meja panjang di ruang rapat yang elegan, dengan ekspresi wajah yang jelas menunjukkan ketidak sukaan mereka terhadap kedatangan Asher. Apalagi, Asher yang akan menjadi pewaris perusahaan.
“Sepertinya, Asher belum siap mengambil alih perusahaan ini. Lebih baik, pewaris diberikan saja kepada yang lebih tua.” Tuan Henry membuka pembicaraan saat ruang rapat itu diselimuti keheningan dan ketegangan.
“Benar sekali. Apalagi seorang pria yang cacat? Bukannya menghina. Namun, hanya saja, kamu berjalan pun harus dibantu oleh orang lain. Lantas, bagaimana kau akan berdiri tegak memimpin sebuah perusahaan?” ucap Gavin kali ini.
Asher yang dari tadi mendapatkan cibiran dari kedua pamannya, dengan penuh ketegasan duduk di antara ke dua pamannya yang tampaknya tidak menyukainya. Ekspresi wajah mereka mengisyaratkan penghinaan dan skeptisisme terhadap kemampuan Asher.
“Baiklah, aku sudah cukup dengan sikap merendahkan ini! Aku tidak akan lagi mentolerir perlakuan seperti ini.” Asher menatap tajam ke arah kedua Pamannya.
“Paman, aku mungkin lebih muda dan kurang berpengalaman, tetapi itu bukan alasan untuk menghina dan meremehkan ku di depan semua orang!” sambung Asher menekan.
“Oh, maafkan kami, jika kami membuat anda tersinggung. Sebenarnya, Kami telah membangun perusahaan ini dari awal, sedangkan kamu anak ingusan, tiba-tiba datang dan menjadi penerus! Lantas usaha kami yang tua, akan digeser olehmu begitu saja, huh?” Gavin mencibir.
Asher mengangkat satu alisnya, “Apakah Paman benar-benar berpikir bahwa aku tidak menghargai usaha yang telah Paman lakukan? Aku sangat menyadari betapa sulitnya membangun perusahaan ini. Tetapi, aku juga memiliki visi dan ide yang bisa membawa kami ke tingkat yang lebih tinggi. Muda dan tuanya, kita bisa lihat dari cara mereka mengatasi problem dalam perusahaan,” ucap Asher.
Tuan Henry paman kedua menggelengkan kepalanya. “Visi dan ide? Apa yang bisa anak ingusan sepertimu tawarkan? Kamu baru saja mulai mengenal bisnis ini. Dan sekarang kamu berpikir bahwa kamu bisa mengajari kami? Hah, Lucu sekali!”
Asher tersenyum sinis, “aku tidak pernah mengklaim bahwa aku bisa mengajari Anda berdua, Paman. Tetapi aku percaya bahwa sebagai generasi baru, kita harus membuka pikiran kita terhadap inovasi dan perubahan. Aku siap untuk bekerja keras, belajar dari pengalaman kalian semua, dan membawa perusahaan ini ke arah yang lebih baik.”
Ruang rapat itu kini menjadi tegang karena perdebatan para pewaris. Para kolega yang hadir dalam rapat tersebut hanya menyimak apa yang terjadi di ruangan meeting itu.
Jika dikatakan, keadaan ini bukanlah sebuah rapat. Melainkan, para generasi yang membuktikan siapa yang layak menduduki kursi kekuasaan.
“Jika ayah masih keras kepala ingin menjadikanmu seorang penerus, kedepannya aku tidak akan mengikuti rapat semacam ini lagi,” pungkas Gavin.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sementara Audrey kini sedang bersiap-siap untuk menjenguk neneknya. Wanita itu berpikir, jika menunggu Asher mungkin akan lama. Jadi dia memutuskan untuk pergi menemani neneknya.
“Nyonya, anda mau ke mana?” tanya Luwan ketika melihat Audrey melangkah ke arah pintu keluar.
Audrey memutar tubuhnya dan menatap ke arah Luwan. “Oh... Luwan, aku hanya ingin keluar sebentar. Karena mau ke rumah sakit menjenguk nenek,” jawab Audrey.
“Tapi, Nyonya jangan lama-lama. Aku takut jika tuan kembali dan tidak menemukan anda. Apa, aku meminta supir untuk mengantar Nyonya saja?”
Audrey melambaikan kedua tangannya di dada dengan cepat. “Ti-tidak perlu, Luwan. Aku bisa naik taksi. Janji, sebelum Asher pulang, aku sudah berada di rumah.” Tolak Audrey karena tidak ingin merepotkan.
“Baiklah kalau begitu, Nyonya. Kamu harus berhati-hati.”
Audrey tersenyum lebar. “Oke, Luwan!” jawabnya yang kemudian memutar tubuh.
Dengan tangan berayun, Audrey melangkah keluar dari bangunan kediaman Asher. Saat wanita itu memutar tubuhnya ke arah bangunan, dia dapat melihat bangunan yang sangat megah di hadapannya.
“Ini bohongan, kan? Atau mimpi jika aku tinggal di rumah semewah ini? Apakah ini memang rumah Asher? Atau... rumah sengketa?” pikir Audrey.
Setelah puas mengamati rumah tersebut, Audrey melangkah ke arah gerbang. Namun, sudah beberapa menit Audrey menapakkan kakinya, namun Audrey tidak menemukan adanya tanda-tanda pintu gerbang. Yang Audrey temui hanya taman yang luas dan air mancur ukuran besar yang terletak di tengah-tengah taman.
Audrey merasa sudah mulai lelah. “Haduh, ini rumah atau lapangan golf? Sepertinya, kawasan rumah ini setara dengan satu kecamatan.” Audrey sedikit membungkuk, sambil meraup oksigen-menyeka peluh yang mengucur di dahinya.
“Nyonya, mari aku antar ke gerbang!”
Luwan berhenti dengan mobil golf di sisi Audrey. “Oh, terima kasih, Luwan.” Audrey segera naik ke atas mobil golf tersebut.
Setelah memastikan Audrey telah duduk dengan aman, Luwan pun melaju. Pandangan Audrey hanya terfokus dengan apa yang dia lihat saat mobil mini itu bergerak.
“Wah, luasnya!” gumam Audrey dengan takjub.
“Nyonya, apakah anda tahu tuan siapa?” tanya Luwan.
Audrey tersentak ketika Luwan memberikan pertanyaan. “Tidak. Karena aku tidak peduli Asher itu siapa. Dari awal aku menerimanya sebagai suamiku, itu artinya aku sudah berkomitmen dan berjanji kepada Tuhan. Jika aku harus menerima Asher dalam kondisi apapun. Mau Asher sakit, maupun dia sehat dan mau Asher miskin, ataupun dia kaya. Jadi, siapapun Asher, dia tetap suamiku. Maka dari itu, aku tidak begitu peduli tentang latar belakang Asher!” jawab Audrey dengan jujur.
Mendengar jawaban Audrey, membuat Luwan tersenyum. “Terima kasih,” jawab Luwan.
Audrey mencondongkan wajahnya ke depan. “Terima kasih untuk apa?” tanya Audrey.
“Tidak ada apa-apa, Nyonya. Aku hanya ingin bertanya tanpa ada maksud lain,” jawab Luwan.
Tak lama kemudian, mobil mini tersebut berhenti di depan gerbang. Dengan cepat, Audrey pun meloncat dari mobil itu.
“Terima kasih, Luwan!” ucap Audrey.
Luwan hanya mengangguk...
Setelah mendapatkan anggukkan, Audrey segera keluar dari gerbang dan menahan taksi. “Ke jalan xxx!” ucap Audrey saat dia sudah berada di dalam taksi.
“Baik, Nyonya.” Taksi pun melaju.
“Ke rumah lama terlebih dulu, karena identitasku ketinggalan,” gumam Audrey.
Tak lama, taksi pun menepi di depan rumah kayu. Setelah turun dan membayar taksi, Audrey pun melangkah ke pekarangan rumah dan segera masuk ke dalam rumah kayu itu menggunakan kunci cadangan.
“Mawar?” langkah kaki Audrey terhenti ketika dia melihat taman bunga mawar yang mulai layu. “Duh, bukankah Asher suka duduk menyendiri di sini, ya?” gumam Audrey.
“Aku siram, deh!” buru-buru Audrey melangkah ingin mengambil air. Namun, “Haaaa!” Audrey menjerit saat seorang pria menghadang tubuhnya.
Dengan cepat, Audrey memutar tubuhnya dan berlari dengan kencang. “Bruk!” Audrey meraih kursi dan menjatuhkan kursi-kursi tersebut untuk menghadang pria yang tidak dia kenali.
Salam kenal
Jangan lupa mampir ya 💜