Bagaimana perasaanmu jika teman kecilmu yang dahulunya cupu, kini menjadi pria tampan, terlebih lagi ia adalah seorang CEO di tempatmu bekerja?
Zanya andrea adalah seorang karyawan kontrak, ia terpilih menjadi asisten Marlon, sang CEO, yang belum pernah ia lihat wajahnya.
Betapa terkejutnya Zanya, karena ternyata Marlon adalah Hendika, teman kecilnya semasa SMP. Kenyataan bahwa Marlon tidak mengingatnya, membuat Zanya bertanya-tanya, apa yang terjadi sehingga Hendika berganti nama, dan kehilangan kenangannya semasa SMP.
Bekerja dengan Marlon membuat Zanya bertemu ayah yang telah meninggalkan dirinya sejak kecil.
Di perusahaan itu Zanya juga bertemu dengan Razka, mantan kekasihnya yang ternyata juga bekerja di sana dan merupakan karyawan favorit Marlon.
Pertemuannya dengan Marlon yang cukup intens, membuat benih-benih rasa suka mulai bertebaran dan perlahan berubah jadi cinta.
Mampukah Zanya mengendalikan perasaannya?
Yuk, ikuti kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Velvet Alyza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertunangan.
Sabtu, hari pertunangan Marlon dan Ayra.
"Mama senang kamu nurut kata kakekmu, asal kamu tau, kakekmu cuma mau yang terbaik untuk kamu, sayang..." Fenty merapihkan dasi Marlon.
"Tapi kenapa Mama dulu melawan kakek dan tetap nikah sama papa?" Tanya Marlon.
"Karena Mama masih muda, Mama belum tau apa yang terbaik untuk Mama." Jawab Fenty.
"Maksud Mama, Mama menyesal nikah sama Papa?" Marlon menatap langsung ke mata Fenty.
Fenti terdiam, ia memalingkan wajah, tak mau menatap mata putranya.
"Ayo kita ke depan, kakek dan papamu sudah siap." Ajaknya.
"Ma, aku mau tanya sesuatu. Aku udah nurut kata Mama dan kakek, tolong kali ini jawab pertanyaanku dengan jujur." Marlon memegang bahu Fenty, menatap mata Mamanya itu.
"Apa yang sebenarnya terjadi pada aku sewaktu SMP?"
Fenty menepis tangan Marlon.
"Berapa kali Mama harus bilang, kamu dulu kecelakaan saat kelulusan, lalu kamu lupa ingatan. Saat sibuk ngurus kamu di rumah sakit, rumah kita kebakaran, dan gak tersisa apapun. Ingat kecelakaan itu aja Mama trauma, Marlon. Tolong jangan tanyakan itu terus."
"Kalau begitu, di mana aku sekolah sewaktu SMP?" Marlon kembali memegang bahu Mamanya, menuntut jawaban.
"Marlon, gak ada gunanya kamu tau dimana kamu sekolah, kamu gak akan ingat." Fenty pergi meninggalkan kamar Marlon.
Pelataran rumah orangtua Marlon telah penuh dengan dekorasi untuk pertunangan Ayra dan Marlon, di pelataran itu sudah hadir para tamu undangan, mereka adalah para pemegang saham Great Corps, dan juga pemegang saham Bina Usaha, perusahaan kakek Marlon.
Marlon menyeringai melihat para tamu undangan yang datang. Pertunangan ini murni karena bisnis, kakeknya sangat berambisi memperbesar perusahaannya, sehingga setuju untuk melakukan merger dengan perusahaan Gilang.
Zanya dan Radit ikut hadir di acara itu, mereka berdua berdiri di belakang Marlon yang saat itu mengenakan setelan jas berwarna krem, dilengkapi dasi polos berwarna abu. Radit mengenakan baju batik modern dengan warna dominan coklat, sementara Zanya memakai rok lilit batik berwarna cokelat dengan atasan tunik warna krem.
"Za, kalau orang-orang gak tau, bisa-bisa elu yang dikira calon tunangan Pak Marlon, baju lu matching banget sama dia." Bisik Radit sambil tertawa.
Zanya melihat bajunya, dan tersadar. "Iya juga! Gimana dong?" tanyanya.
"Tenang aja, orang-orang pasti tau kok, calon tunangan Pak Marlon gak mungkin pake baju yang gak bermerk atau dibuat desainer ternama." Ledek Radit. Zanya melirik ke arah Radit, lalu ia mendelikkan matanya sambil mengangkat satu sudut bibirnya.
Gilang bersama keluarga besarnya tiba di rumah Marlon. Ayra berjalan diapit oleh mama dan papanya, ia mengenakan gaun terusan brukat berwarna krem. Ayra terlihat sangat cantik dengan tatanan rambut cepol tinggi yang dihiasi rantai mutiara serta beberapa helai rambut di samping kanan dan kiri sebagai poni yang membingkai wajah kecilnya.
Hati Zanya diliputi rasa cemburu melihat Ayra yang diperlakukan bak putri raja oleh Gilang. Gilang membuangnya, kemudian menikah lagi dengan wanita lain, lalu memiliki seorang putri lagi. Apakah Ayahnya itu tidak ingat sama sekali pada Zanya, putri pertamanya? sementara ibu Zanya harus pontang panting mencari nafkah sambil membesarkan Zanya sendirian, tanpa bantuan siapapun.
Tak terasa airmata menggenang di pelupuk mata Zanya, ia merasa sedih teringat penderitaan sang ibu selama hidupnya. Ia pun mengerjap-ngerjapkan matanya agar air mata itu tidak menetes ke pipinya.
"Kepada Tuan Marlon dan Nona Ayra, dipersilakan ke depan untuk melakukan tukar cincin." Sang pembawa acara memanggil Ayra dan Marlon.
Marlon melangkah dengan mantap dan percaya diri, Fenty dan Tito berjalan di samping kanan dan kirinya. Ayra melangkah anggun sambil menggandeng kedua orangtuanya. Fenty memegang kotak yang berisi cincin pasangan sambil tersenyum sumringah.
Herman duduk sambil tersenyum melihat cucunya yang akan bertukar cincin untuk mengukuhkan hubungannya dengan Ayra, sekaligus mengukuhkan hubungan bisnisnya dengan Gilang. Sekretaris Herman yang duduk disampingnya, membisikkan sesuatu dan memperlihatkan layar tablet.
Marlon mengambil cincin dari kotak yang dipegang oleh Mamanya, ia bersiap memakaikan cincin ke jari manis Ayra. Ayra terlihat begitu bahagia, ia tak henti-hentinya tersenyum. Ia mengulurkan tangan, bersiap menerima cincin yang akan Marlon sematkan di jarinya.
"Berhenti!!" Herman berteriak dari tempat duduknya.
Marlon, Ayra dan kedua orangtua mereka menoleh bersamaan, mereka terkejut oleh suara Herman. Fenty terheran-heran melihat sang Papa yang memasang tampang marah.
"Hentikan semua ini!!" Ulang Herman sekali lagi.
"Pertunangan ini sepenuhnya batal! Semuanya silahkan pergi." Herman berjalan masuk ke rumah.
Para tamu undangan terlihat bingung karena pertunangan yang tiba-tiba dibatalkan sepihak oleh Herman. Fenty mengejar Herman ke dalam rumah, sementara Gilang sekeluarga terlihat kebingungan. Marlon menyimpan kembali cincin di kotaknya, yang kini dipegang oleh Tito. Ayra terlihat hampir menangis.
"Kak Marlon, Ayo pakaikan cincinnya!" pintanya sambil menahan tangis.
"Maaf, Ayra. Aku melangsungkan pertunangan ini karena perintah kakekku, dan aku membatalkannya juga karena perintah kakekku." Marlon mengangguk pamit dan berjalan menuju rumah, namun Ayra tidak membiarkannya, Ayra menarik tangan Marlon dan nyaris berlutut.
"Aku cinta sama kamu, Kak! Aku tulus cinta sama kamu! Tolong nikahi aku walau kakek Herman gak setuju." Ayra terlihat putus asa, ia menangis sambil terus memegang tangan Marlon.
Gilang dan istrinya berusaha menenangkan putri mereka yang mulai hilang kendali, Ayra terus meronta-ronta sambil tangannya terus menahan Marlon.
Radit dan Zanya saling tatap, mereka terkejut dengan kejadian yang begitu cepat. Pertunangan bos mereka batal dan terjadi kehebohan. Ditambah lagi calon tunangan bos mereka menangis meraung-raung seperti kesurupan. Zanya menatap Marlon yang berdiri dengan wajah tenang, lalu menatap Gilang yang terlihat tak berdaya. Ia kasihan terhadap ayahnya itu, namun ada rasa puas juga, seolah Zanya senang Gilang merasakan rasa sakit hati, walau sedikit. Tanpa sadar Zanya tersenyum sekilas, dan Marlon melihat senyuman itu.
"Ayo kita pulang Ayra!" Gilang membentak putrinya yang susah dikendalikan. Istrinya terkejut karenanya, Ayra yang sejak tadi menahan Marlon sambil memangis pun perlahan melepaskan cengkeramannya.
"Ada apa sih sebenarnya ini,Pa?" tanya sang istri kepada Gilang sambil menangis.
Gilang menggemeretakkan giginya, sepertinya ia sudah tahu apa yang membuat Herman murka dan membatalkan pertunangan ini. Ia pun berjalan pergi, diikuti istrinya yang menggandeng paksa anaknya.
"Ayo kita ke wisma!" ajak Marlon kepada Radit dan Zanya. Kedua asistennya itu pun segera membawakan barang-barang Marlon dan tergopoh-gopoh mengikuti Marlon menuju parkiran yang terletak di belakang rumah.
"Radit, kamu dan Zanya ke wisma, aku mau pergi ke suatu tempat, biar aku nyetir sendiri." Ujar Marlon.
Radit dan Zanya saling tatap, wajah mereka menunjukkan kekhawatiran, lalu Zanya berlari mengikuti Marlon.
"Biarkan saya temani Anda, Pak!" ujarnya cemas.
"Tidak usah, kalian berdua istirahat aja, terimakasih sudah membantu mempersiapkan semuanya." Ucap Marlon.
"Pak, biarkan saya ikut, saya kan yang bertanggung jawab atas urusan di luar Great Corps, saya akan ikut, sebagai bentuk tanggung jawab saya sebagai asisten." Zanya pantang menyerah.
"Baiklah, kalau kamu memaksa." Marlon naik ke mobil, dan Zanya segera naik ke mobil Marlon.
Radit terlihat lega karena akhirnya ada Zanya yang menemani bosnya, walau ia tidak tahu kemana tujuan Marlon. ia pun segera naik mobil dan mengemudi menuju wisma.