Ketika adik-adiknya sudah memiliki jodoh masing-masing, Ara masih diam tanpa progres. Beberapa calon sudah di depan mata, namun Ara masih trauma dengan masa lalu. Kehadiran beberapa orang dalam hidupnya membuat Ara harus memilih. Teman lama atau teman baru? Adik-adik dan keluarganya atau jalan yang dia pilih sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veraya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17 : Kepercayaan dan rasa takut
Saka sedang duduk di sofa ruang tamu sambil menyangga dahinya ketika Devin sudah kembali ke rumah. Devin merasakan aura di sekitar kakaknya gelap dan dingin.
"Kak...kamu...baik-baik saja?"
Saka masih belum menjawab. Devin bingung antara senang karena kakaknya mencium Ara atau sebaliknya. Kehadiran Risty bisa jadi membuka luka lama di hati Saka. Devin tidak tahu harus beli obat jenis apa dan di mana. Yang dia tahu sejauh ini, pengobatan alternatif-nya adalah Ara.
"Kalian sudah resmi pacaran? Aku lihat tadi kamu..." Devin mengisyaratkan tanda ciuman dengan pucuk-pucuk jarinya yang beradu.
"Aku...malah mengacaukan rencana, Vin. Aku nggak tahu kalau tindakanku itu bisa memicu traumanya Ara."
"Dia punya trauma dicium?"
"Kemungkinan pelecehan. Sampai sejauh mana, aku tidak tahu. Dia tidak mau bicara apa-apa tadi "
"Sekarang dia di mana?"
"Tidur di dalam."
"Tidur?"
"Dia habis minum obat."
Saka mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Dia sempat ikut merasa sesak ketika Ara kesulitan bernafas. Dia terpaksa memberi obat pada Ara. Dia tidak mungkin menggunakan metode yang sama seperti yang Ara lakukan padanya dulu. Bagaimana dia bisa menenangkan Ara kalau Saka sendirilah sumber ketakutan itu.
Devin berdecak sambil menatap pintu kamar.
"Kalau dia bangun, bicara baik-baik padanya, Kak."
Saka mengangguk lemah. Hatinya masih pilu ketika melihat Ara histeris tadi. Saka terpaksa membawa Ara ke kamar demi keamanan.
"Aku perlu meninggalkan kalian berdua atau..."
"Tidak perlu. Kamu ke atas aja. Baca lagi cerita The Dreamer. Aku curiga kalau kisah itu benar-benar nyata. Apa kita bisa selidiki sesuatu dari situ?"
Devin mengernyitkan dahi sambil mencoba mengingat kembali adegan demi adegan dalam cerita.
"Baiklah. Aku ke atas."
"Thanks, Vin. Untung ada kamu."
"Nggak jadi buang aku ke Segitiga Bermuda?"
Dahi Saka mengkerut, dari mana Devin tahu isi pikirannya?
...* * * * *...
Saka masuk ke kamar dengan langkah seringan dan sepelan mungkin. Dia tidak ingin membangunkan istirahat Ara. Saka duduk di samping tempat tidur sambil memandangi wajah Ara yang pucat. Hatinya berdesir, antara iba, cemas, dan marah. Marah pada dirinya sendiri yang sembrono mencium tanpa izin.
Sungguh, tindakannya itu spontan untuk meyakinkan Risty bahwa Saka sudah memiliki tambatan hati selain dirinya. Saka hanya ingin mengusir Risty dan menandakan bahwa eranya telah usai. Tapi luapan hasrat itu malah menjadi bencana tak terduga.
Dering telepon terdengar dari dalam tas Ara. Tadinya Saka diamkan, tapi dering itu terus berulang sampai tiga kali. Saka mengambil ponsel Ara dan melihat ada nama 'Bukan Papa' di layar.
Saka menimbang-nimbang apakah harus diangkat atau tidak. Bagaimana kalau ini dari keluarganya? Mungkin mereka ada kabar mendesak yang harus Ara tahu.
"Halo?"
"Siapa ini? Mana Ara?" Suara seorang wanita terdengar dari seberang. Saka menduga itu adalah Mamanya Ara.
"Saya Saka. Ini Mamanya Ara?"
"Iya. Saka? Tante kaget kok suara cowok yang angkat telepon. Ara-nya di mana?"
"Ara lagi di kamar mandi, Tante."
"Ara ketemuan sama kamu?"
"Iya. Ara nganterin pesanan ke rumah saya. Maaf kalau saya nggak sopan nyuruh Ara ke rumah saya."
"Ooh...gitu. Nggak apa-apa. Tante nelpon cuma mau nitip martabak manis nanti. Tolong sampaikan ke Ara ya. Kalian santai aja."
"Iya, Tante. Nanti Saka sampaikan ke Ara."
"Makasih, ya."
Percakapan itu berakhir. Saka menghembuskan nafas lega. Bukan Papa, berarti Mama. Logika sederhana. Saka masih sempat tersenyum tipis.
Tiba-tiba ponsel di tangan Saka direbut oleh Ara yang sudah bangun.
"Ara...kamu sudah bangun? Sudah mendingan?"
Ara tidak menjawab. Dia memasukkan ponsel ke dalam tas tanpa ekspresi.
"Mau ke mana, Ra?"
Ara masih tidak menjawab pertanyaan Saka. Dia berjalan cepat menuju pintu. Saka menahannya dengan genggaman di tangan.
"Tunggu, kamu nggak bisa pergi dengan kondisi begini. Paling nggak minum dulu. Aku ambilkan air putih."
"Nggak perlu. Lepasin."
"Ara, please jangan kayak gini. Aku minta maaf sama kamu, aku benar-benar menyesal sudah kelewatan."
Ara tetap berusaha melepaskan genggaman tangan Saka.
“Kamu trauma karena pernah dilecehkan?” tanya Saka tiba-tiba.
Ara menutup kedua telinganya.
Hati Saka semakin perih karena dugaannya benar. Jika Ara sampai ketakutan seperti ini, berarti yang pernah dia alami sangatlah berat.
“Kamu harus keluar dari sana, Ara. Aku bisa bantu kamu.” tangan Saka kini berpindah ke bahu Ara
“Dengan cara apa? Melakukan hal yang sama?” sangkal Ara ketus.
“Tidak, bukan begitu.”
“Sudah, Mas. Aku butuh waktu untuk sendiri dulu. Ini memang kesulitanku, dan aku yang harus menyelesaikannya. Maaf kalau situasinya jadi nggak nyaman buat kita.”
“Ara…okelah kamu boleh marah sama aku, tapi jangan pulang sendirian. Aku minta Devin antar kamu pulang ya."
"Nggak perlu. Aku bawa motor."
"Apalagi naik motor. Bahaya. Kamu masih belum stabil. Kalau nggak mau sama Devin, kamu panggil saja temen kamu yang anak band itu untuk jemput dan antar kamu pulang."
"Nggak perlu repotin dia. Aku bisa sendiri."
"Atau aku telpon keluargamu?"
"JANGAN!!"
Seketika mata Ara kembali mengisyaratkan luka dan rasa takut. Saka semakin bingung harus berbuat apa. Akhirnya dia hanya bisa melepaskan tangan Ara dan mundur perlahan.
"Baiklah. Terserah kamu. Mama kamu minta dibelikan martabak manis. Kamu makan juga. Makanan manis bisa memperbaiki suasana hati yang buruk. Minum yang hangat-hangat. Istirahat. Lupakan aku. Hari ini saja. Jangan lama-lama."
Ara tidak sanggup menatap mata Saka. Hatinya sudah kacau balau. Dia melangkah menjauhi Saka. Meninggalkan rumah yang menjadi saksi bisu dua peristiwa yang berkebalikan. Antara kepercayaan dan rasa takut.
...* * * * *...
Sampai di rumah, Mama hanya mengelus kepala Ara sambil berkata, "Usaha yang bagus, Kak." Setelah itu ngacir ke ruang tengah sambil membawa kresek martabak manis dari tangan Ara.
Ara mengernyit heran, Mamanya jarang sekali memanggilnya Kakak. Apakah percakapannya dengan Saka tadi membuat Mamanya jadi baik hati dan tidak sombong?
Apapun itu. Untunglah. Mama tidak tahu apa yang terjadi. Ara berharap tidak ada yang tahu matanya sembap. Dia memakai kacamata untuk kamuflase.
Ara memandang punggung Mamanya yang kini takzim menyimak drakor sambil ngemil martabak manis. Sejak kapan Mamanya suka nonton drakor? Batin Ara.
Ara menjatuhkan tubuhnya di atas kasur dengan posisi wajah menelungkup di bantal. Semenit. Dua menit. Tiga menit. Ara mengangkat kepalanya sambil megap-megap mengambil nafas.
Dia telentang menghadap langit-langit kamar. Kembali mengingat wajah Saka yang mendekat. Dia bergidik sendiri.
Apakah aku tidak bisa dekat lagi dengan laki-laki? Batinnya. Ketakutan itu sudah dia simpan selama bertahun-tahun. Hanya segelintir orang yang tahu.
Tapi kenapa pas Mas Saka sakit aku bisa menyentuh punggung dan tangannya? Apakah itu reaksi spontan? Apakah karena empati?
Ara menyentuh bibirnya sendiri. Rasa bibir Saka yang beradu dengan bibirnya masih menyisakan memori yang lekat. Lalu tiba-tiba muncul bibir orang lain yang sangat dibencinya. Ara memejamkan matanya erat-erat demi mengusir luapan memori.
Ara melihat ponselnya, terlihat sebuah pesan dari Saka. Dia menanyakan apakah Ara sudah sampai rumah atau belum.
Ara ragu untuk membalasnya. Namun jika tidak dia balas, Saka bisa jadi mencarinya sampai ke rumah. Ara membalas pesan Saka dengan singkat lalu mematikan ponselnya.
Ara mengambil pena emasnya dari dalam tas, membuka jurnalnya, lalu menulis dalam diam.