NovelToon NovelToon
TABIB KELANA 2

TABIB KELANA 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Spiritual / Matabatin
Popularitas:228.2k
Nilai: 5
Nama Author: Muhammad Ali

Buku ini adalah lanjutan dari buku Tabib Kelana.
Menceritakan perjalanan hidup Mumu yang mengabadikan hidupnya untuk menolong sesama dengan ilmu pengobatannya yang unik.
Setelah menikah dengan Erna akan kah rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada onak dan duri dalam membangun mahligai rumah tangga?
Bagai mana dengan Wulan? Apa kah dia tetap akan menjauh dari Mumu?
Bagai mana dengan kehadiran Purnama? Akan kah dia mempengaruhi kehidupan rumah tangga Mumu.
Banyak orang yang tidak senang dengan Mumu karena dia suka menolong orang lain baik menggunakan ilmu pengobatannya atau menggunakan tinjunya.
Mumu sering diserang baik secara langsung mau pun tidak langsung. Baik menggunakan fisik, jabatan dan kekuasaan mau pun melalui serangan ilmu yang tak kasat mata.
Akan kah hal tersebut membuat Mumu berputus asa dalam menolong orang yang membutuhkan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dendam

Dua tahun yang lalu, saat Wildan pulang ke Bengkalis dari tugas menjaga perbatasan, rumahnya tidak lagi sama.

Suasana muram menyelimuti seisi rumah, tidak ada lagi tawa ayahnya yang biasanya menyambutnya setiap kali kembali.

Ketika melangkah masuk, hatinya tercekat melihat ibu dan saudaranya menangis di sudut ruangan. Ayahnya telah tiada.

Wildan terdiam, perasaannya campur aduk antara duka dan kemarahan. Dia belum bisa memahami sepenuhnya apa yang terjadi.

Satpam keluarga yang bernama Rahman lalu menceritakan sesuatu yang membuat darah Wildan mendidih.

“Ayahmu sebenarnya bisa selamat, Wildan...” Kata Rahman, suaranya terdengar penuh kesedihan.

“Tapi dukun muda yang menangani ayahmu tidak bertanggung jawab. Dia meninggalkan ayahmu begitu saja saat kondisinya memburuk. Kalau saja dia tidak pergi, ayahmu mungkin masih hidup sekarang.”

Mata Wildan menyipit, kemarahan mengalir di dalam dirinya.

“Siapa dukun itu, Pak Rahman? Apa yang dia lakukan hingga ayahku meninggal?”

Rahman menghela napas panjang. “Namanya Mumu. Dia seorang dukun muda yang konon katanya sangat hebat."

Banyak yang memujinya, tapi aku tidak percaya sepenuhnya. Saat ayahmu sakit keras, dia memang datang dan memberi pengobatan, tapi entah kenapa, saat kondisi ayahmu memburuk, Mumu justru pergi dengan alasan dia harus berangkat ke daerah lain."

"Kami coba memanggilnya lagi, tapi dia tak mau datang. Hingga akhirnya... ya, ayahmu tidak tertolong.”

Dari situ, dendam itu mulai tumbuh di hati Wildan. Setiap malam, bayangan ayahnya yang terbaring lemah terus menghantui pikirannya.

Wildan bersumpah, dia akan menemukan Mumu dan menuntut pertanggungjawaban atas kematian ayahnya.

Namun karena tugas mendadak yang harus dia lakukan sehingga balas dendam itu terpaksa tertunda-tunda dalam waktu yang sangat lama.

Baru kini lah Wildan dapat cuti panjang sehingga dia perlu menuntaskan dendamnya.

Walau pun waktu telah lama berlalu namun hal itu tidak lah menyurutkan dendamnya.

Oleh karena itu, dengan tak kenal lelah Wildan mulai melacak keberadaan Mumu.

Dengan berbagai koneksi dan relasi yang dimilikinya dari masa tugasnya sebagai penjaga perbatasan, sedikit demi sedikit Wildan mulai menemukan titik terang.

Mumu, sang dukun muda yang dulu dianggap penyebab kematian ayahnya, ternyata pindah ke daerah Jogja.

Infonya masih terlalu umum, sehingga Wildan kesulitan mencari keberadaan Mumu di kota Jogja yang luas itu.

Malam itu, di sebuah kafe kecil di pinggir kota Bengkalis, Wildan bertemu dengan seorang kenalannya yang bernama Heru, seorang informan terpercaya yang punya koneksi luas di berbagai daerah.

“Aku dengar kamu masih mencari Mumu.” Kata Heru sambil mengaduk kopi di depannya.

“Aku punya kabar buatmu.”

Wildan mengangkat alis, matanya penuh perhatian.

“Kabar apa, Heru? Jangan bilang kabar ini berkaitan dengan Mumu. Terus terang aku sudah lama mencari dia.”

Heru menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu berbicara pelan namun jelas.

“Dukun muda itu sekarang bekerja di salah satu rumah sakit yang di Jogja. Namun rumah sakit yang mana satu, aku belum sempat menyelidikinya."

“Rumah sakit?” Wildan mengulangi info itu, seolah sedang memetakan lokasinya di kepalanya.

“Itu bukan masalah besar. Kalau benar dia di sana, aku akan ke sana. Terima kasih banyak atas informasinya, Heru."

Heru tidak menanggapi sebaliknya dia menatap Wildan dengan serius.

“Tapi, Wildan... kamu yakin Mumu benar-benar bersalah? Maksudku, banyak dukun atau tabib yang tidak bisa menyembuhkan pasien karena keterbatasan mereka. Mungkin ada penjelasan lain?”

Wildan menggeleng tegas, matanya menyala penuh dendam.

“Aku sudah mendengar semuanya, Heru. Dukun itu yang membiarkan ayahku meninggal."

"Kalau saja dia tidak pergi begitu saja, ayahku mungkin masih hidup. Ini bukan soal kemampuan, ini soal tanggung jawab.”

Heru menarik napas panjang, lalu mengangguk.

“Baiklah, kalau kamu memang yakin. Tapi berhati-hatilah, Wildan. Kadang apa yang kita tahu bisa jadi tidak seluruhnya benar.”

Wildan hanya terdiam, hatinya sudah tertutup oleh dendam yang dia pendam selama ini. Tidak ada yang bisa mengubah pikirannya sekarang.

...****************...

Mumu sedang duduk di ruang tamu, menggendong anaknya, Arrazi, yang sedang tertidur dalam dekapan.

Suara televisi yang menyala di latar belakang hanya terdengar sayup-sayup, karena pikirannya melayang jauh, mencoba memahami perubahan sikap Erna yang sudah berlangsung beberapa hari terakhir.

Hari ini, tanpa diduga, Erna berkata sesuatu yang membuat Mumu semakin cemas.

"Yah, untuk sementara waktu Bunda mau pulang ke rumah orang tua Bunda." Ucap Erna tiba-tiba, saat mereka berdua duduk di meja makan usai sarapan.

"Ayah sama Arrazi tetap di sini saja."

Mumu mengangkat wajahnya, terkejut. Dia tak menyangka Erna akan mengatakan hal itu.

"Kenapa, Nda? Apakah Ayah telah melakukan kesalahan kepada Bunda?" Tanya Mumu hati-hati, mencoba membaca ekspresi istrinya.

Namun Erna tetap tak bergeming. Wajahnya datar, tanpa emosi, seolah-olah tak ada yang perlu dijelaskan.

Alih-alih menjawab, Erna hanya berdiri, meraih kunci mobil yang tergantung di dekat pintu, lalu tanpa sepatah kata pun, dia keluar dari rumah.

Mumu hanya bisa terdiam, masih memproses kata-kata yang baru saja didengarnya.

Di luar, suara mesin mobil menyala, diikuti dengan raungan pelan roda yang mulai bergerak menjauh. Mumu menunduk, berusaha meredam perasaan bingung yang mulai menyeruak. Mengapa Erna tiba-tiba seperti ini? Apakah ada sesuatu yang dia tidak ketahui?

Tak lama setelah Erna pergi, Buk Fatimah, datang bersama suaminya, Pak Wahab.

Mereka baru saja pulang dari pasar untuk membeli berbagai bahan untuk stok.

"Erna kemana, Mumu?" Tanya Buk Fatimah sambil meletakkan tas belanjaan di atas meja.

Mumu menatap mereka dengan senyum tipis, mencoba menyembunyikan kegundahannya.

"Dia tiba-tiba teringat ibunya di rumah, jadi dia ingin pulang, Buk." Jawab Mumu.

Namun, Bu Fatimah yang sudah lama mengenal Erna tahu ada sesuatu yang salah.

"Tumben mendadak begini.Biasanya pulang kan bersama kamu dan anak mu. Apa kalian ada masalah?" Tanya Buk Fatimah lebih lanjut, matanya menelisik wajah Mumu yang tampak tenang.

Mumu menggeleng, "Tak ada masalah apa-apa, Buk. Lagi pula rumahnya pun dekat jadi kapan-kapan bisa bolak balik ke sini lagi."

Pak Wahab, yang sejak tadi diam, mendesah pelan.

"Kadang perempuan memang begitu, Mumu. Ada saatnya mereka merasa butuh waktu sendiri, terutama kalau sedang banyak pikiran."

Mumu mengangguk pelan, meskipun hatinya masih penuh pertanyaan.

Dia berpikir keras, mencoba mengingat kembali apakah ada hal yang membuat Erna merasa kesal atau kecewa dengannya.

Tapi seingatnya ia tak pernah membuat istrinya kesal atau kecewa.

Malam harinya Mumu mencoba menelpon Erna. Dia biasanya tak bisa berpisah dengan Arrazi jika malam tiba.

Namun telpon tidak dijawab dan pesan pun hanya dibaca tanpa dibalas.

"Hmmm..."

Mumu hanya bisa menghela nafas. Kadang kala seorang istri menuntut suami supaya bisa membaca pikiran dan hati manusia.

1
Yandi Maulana
Memang gak ada kata "jika" sebelumnya /Facepalm/
Suwardi Sumantri
Sayang sekali Mumu terlalu baik hati , seharusnya bapak sama anaknya dikasih pelajaran biar tidak songong dan semakin memupuk dendam dikemudian hari.
Kalau cuma dipukul tidak sampai babak belur tidak akan kapok.
... Silent Readers
👣👣👣👣👣
... Silent Readers
🐾🐾🐾🐾🐾
Rikarico
next banyak2 thor
tirta arya
ya dikempesin biar keplnya ga gede lah..gonblok banget nih anak!..🤪🤪🤪🤲😜😜😜😝😝😝😝
Mohammad Djufri
ah bang ali, memang sengaja nampaknya, menggantung cerita....
padahal masih bisa dilanjut....😄👍🙏
Leni Agustina
lalu lanjut lagi
Sarita
krrekk ,ternyata Mumu kebal senjata .dan si jaka langsung tumbang kena totokan yg mematikan
Casudin Udin
Lalu..
bersambung...
Muchtar Albantani
lalu lau
icih maricih
lalu...apa thor?!
... Silent Readers
👣👣👣👣👣
Sirot Judin
lanjut.....
Leni Agustina
lanjut
Saad Kusumo Saksono SH
Luar biasa
Suwardi Sumantri
Kalau Desta bisa kebakaran jenggot nih kalau sampai tahu Mala mendatangi rumah Mumu
Puspa Dewi kusumaningrum
hah mesti begt y
Rikarico
next
Muchtar Albantani
mumuh
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!