Menceritakan tentang Anis yang pindah rumah, Karena di tinggal kecelakaan oranf tuanya.Rumah tersebut milik tante Parmi yang ada di kampung. Banyak kejadian yang di alami Anis di rumah tersebut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KERTAS PENA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akhir dari Bayang-Bayang
Setelah malam yang penuh ketegangan dan kelegaan itu, Anis bangun dengan perasaan damai yang baru. Udara di rumah tua itu terasa lebih segar, seolah kegelapan yang selama ini bersemayam di dalamnya telah lenyap. Kini, ia merasa lebih tenang meskipun bayangan Fina dan rahasia yang tersimpan di rumah tersebut masih terekam jelas dalam ingatannya.
Pagi itu, Anis keluar dari kamarnya dan mendapati Pak Handoko sedang menyapu di halaman depan, seperti biasanya. Namun, kali ini wajahnya tampak lebih cerah, jauh dari ekspresi suram yang biasanya ia kenakan. Saat melihat Anis, pria tua itu mengangguk hormat.
"Selamat pagi, Nona Anis," sapanya dengan suara yang lebih lembut dari biasanya.
Anis membalas sapaan itu dengan senyuman. “Selamat pagi, Pak Handoko. Bagaimana keadaan rumah ini sekarang?” tanyanya.
Pak Handoko mengangguk perlahan. “Rasanya rumah ini lebih terang, lebih… hidup. Terima kasih telah membantu Fina. Sepertinya, ia sudah mendapatkan kedamaian yang ia cari.”
Anis tersenyum haru, merasakan kebanggaan kecil dalam dirinya. “Saya hanya ingin membantunya. Semua yang terjadi di rumah ini begitu mengganggu. Kini, saya senang ia bisa pergi dengan tenang.”
Namun, meskipun Fina telah pergi, Anis merasakan sebuah dorongan kuat untuk memahami lebih jauh tentang masa lalu keluarga itu, dan kenapa tragedi kelam seperti itu bisa menimpa Fina. Rasa penasaran itu tak sepenuhnya menghilang, melainkan menguat setiap kali ia menatap rumah tua tersebut.
Setelah sarapan bersama Tante Parmi, Anis akhirnya memberanikan diri untuk bertanya lebih lanjut tentang Fina dan masa lalunya. Ia memilih untuk berhati-hati, namun ia tahu bahwa ini adalah kesempatan terakhir untuk menguak seluruh kebenaran.
“Tante Parmi,” Anis mulai sambil menatap tantenya, “bolehkah saya bertanya tentang Fina? Apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya?”
Tante Parmi terdiam sejenak, tatapannya menerawang ke kejauhan. Ada kesedihan dalam matanya, seolah ia menyembunyikan rasa duka yang sudah lama ia pendam. Setelah beberapa saat, ia akhirnya membuka suara.
“Fina… dia adalah adik bungsuku. Kami tinggal di rumah ini bersama orang tua kami ketika kecil. Dulu rumah ini penuh kebahagiaan, tawa, dan kenangan indah. Namun, suatu hari, semuanya berubah. Fina… dia mulai berubah,” suara Tante Parmi terdengar berat, seolah menahan tangis.
“Berubah?” tanya Anis, penasaran.
Tante Parmi mengangguk, menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Fina sering mengeluh mendengar bisikan-bisikan di malam hari, seperti ada yang memanggilnya. Awalnya kami mengira itu hanya khayalan, tapi lama-kelamaan ia semakin terganggu. Ia sering menyendiri, mengurung diri di ruang bawah tanah, dan menghabiskan waktu berjam-jam di sana. Kami semua bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.”
“Apakah keluarga tante pernah mencoba membantunya?” tanya Anis dengan prihatin.
Tante Parmi mengangguk. “Kami memanggil beberapa tabib dan pendeta untuk mendoakan rumah ini dan menenangkan Fina, tapi tidak ada yang berhasil. Hingga suatu malam, Fina… menghilang. Kami menemukannya terbaring di ruang bawah tanah, dan sejak saat itu, rumah ini tak pernah sama lagi. Orang tua kami meninggalkan rumah ini, tidak sanggup menghadapi kenangan pahit itu. Namun, aku… aku tidak bisa meninggalkan rumah ini begitu saja. Aku merasa Fina masih butuh bantuan.”
Anis merasa terharu mendengar cerita itu. Misteri yang melingkupi rumah ini dan tragedi yang menimpa Fina kini mulai terungkap, dan ia merasa bahwa kehadirannya di rumah ini mungkin bukan sekadar kebetulan. Ia mungkin memang ditakdirkan untuk membantu Fina menemukan kedamaian.
Setelah percakapan itu, Anis merasa lebih tenang. Ia tahu bahwa misteri besar telah terpecahkan dan bahwa ia telah membantu Fina melepaskan beban yang selama ini mengikatnya. Beberapa hari kemudian, Anis memutuskan untuk kembali ke kota dan melanjutkan hidupnya. Meskipun ia merasa nyaman di rumah itu, ia tahu bahwa ia tidak bisa tinggal selamanya. Ada hidup yang menantinya di luar sana, dan pengalaman di rumah ini telah mengajarkan banyak hal kepadanya.
Pada hari kepergiannya, Pak Handoko dan Tante Parmi mengantarnya hingga depan rumah. Mereka berdua tersenyum, meskipun ada kesedihan yang tak terelakkan dalam tatapan mereka. Pak Handoko mengangguk penuh hormat, sementara Tante Parmi memeluknya erat.
“Terima kasih, Anis, telah membantu Fina dan kami semua. Kami akan selalu mengingat kebaikanmu,” ujar Tante Parmi dengan penuh haru.
Anis tersenyum. “Ini adalah takdir, Tante. Saya juga berterima kasih atas segalanya. Rumah ini akan selalu memiliki tempat di hati saya.”
Dengan berat hati, Anis akhirnya melangkah pergi, meninggalkan rumah tua itu. Di dalam hatinya, ia merasa damai, mengetahui bahwa Fina telah menemukan kedamaian di sisi lain. Sepanjang perjalanan, Anis tersenyum kecil, merasa bahwa ia telah menyelesaikan sebuah babak penting dalam hidupnya.
Malam itu, ketika ia tiba di rumahnya sendiri, ia merasakan kehangatan dan rasa tenang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Pengalaman di rumah angker itu telah membekas di hatinya, namun ia tahu bahwa semuanya sudah berakhir. Fina telah bebas, dan rumah itu kini bisa kembali menjadi tempat yang tenang dan damai.
Namun, ketika ia hampir terlelap, sebuah bayangan samar tiba-tiba muncul dalam mimpinya. Sosok itu adalah Fina, yang tersenyum kepadanya, penuh rasa terima kasih dan damai. Anis tersenyum dalam tidurnya, mengetahui bahwa ia telah berhasil membantu Fina. Kini, ia merasa lebih kuat, lebih berani, dan siap menghadapi apa pun yang akan datang di masa depannya.