NovelToon NovelToon
Jendela Sel Rumah Sakit Jiwa

Jendela Sel Rumah Sakit Jiwa

Status: sedang berlangsung
Genre:Tamat / Cintapertama / Horror Thriller-Horror / Cinta Terlarang / Cinta Murni / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Pihak Ketiga
Popularitas:7.7k
Nilai: 5
Nama Author: AppleRyu

Dokter Fikri adalah seorang psikiater dari kepolisian. Dokter Fikri adalah seorang profesional yang sering menangani kriminal yang mengalami gangguan kepribadian.

Namun kali ini, Dokter Fikri mendapatkan sebuah pasien yang unik, seorang gadis berusia 18 tahun yang mempunyai riwayat penyakit kepribadian ambang (borderline).

Gadis itu bernama Fanny dan diduga membunuh adik tiri perempuannya yang masih berumur 5 tahun.

Apakah Dokter Fikri biaa menguak rahasia dari Fanny?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AppleRyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17 : Ilusi?

Pria itu mengeluarkan sebuah dokumen dari saku jasnya dan meletakkannya di meja. "Ini adalah bukti yang akan mengubah segalanya. Tapi hati-hati, Nazam tidak akan tinggal diam." Setelah mengucapkan kata-kata itu, dia bergegas pergi, meninggalkan aku dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.

Aku menatap dokumen itu dengan penuh kebingungan. Dengan tangan gemetar, aku membuka dokumen tersebut dan mulai membacanya. Setiap kata yang tertulis membuat jantungku berdegup kencang dan pikiranku berputar-putar.

"Ini... ini tidak mungkin," gumamku, mencoba mencerna apa yang tertulis di depan mataku.

Dokumen itu mengungkapkan sebuah eksperimen terbaru yang dirancang untuk merusak kinerja otak manusia. Salah satu korbannya, yang disebutkan dengan jelas dalam dokumen tersebut, adalah aku sendiri. Mereka telah menguji teknik baru yang menyebabkan delusi, paranoia, dan kerusakan memori.

Aku merasakan kemarahan yang mendidih di dalam diriku. Semua kebingungan, ketakutan, dan rasa tidak berdaya yang kualami ternyata adalah hasil dari eksperimen biadab ini. Dengan marah, aku meremas dokumen itu di tanganku dan bergegas keluar dari ruangan, mencari Michelle.

Aku menemukannya di lorong rumah sakit, sedang berbicara dengan seorang perawat. Aku mendekatinya dengan langkah cepat, wajahku memerah karena amarah. "Michelle!" seruku, menarik perhatiannya.

Michelle menoleh dengan kaget. "Dr. Fikri, ada apa?"

Aku mengangkat dokumen yang ada di tanganku, meskipun terlipat dan terjepit karena kemarahanku. "Apa maksud dari dokumen ini?!" teriakku.

Michelle tampak bingung. "Dokumen apa? Aku tidak mengerti."

Aku merasakan frustasi yang memuncak. "Dokumen ini! Tentang eksperimen merusak otak manusia! Tentang aku yang menjadi korban!"

Dengan tangan yang gemetar, aku mencoba membuka dokumen itu untuk menunjukkan padanya. Tapi saat aku membuka lipatan kertas itu, aku tersadar bahwa tanganku kosong. Tidak ada dokumen, tidak ada kertas. Hanya udara kosong di antara jariku.

Aku merasa pusing dan bingung. "Tapi... tadi ada di sini. Aku baru saja membacanya," gumamku, mencoba memahami apa yang terjadi.

Michelle mendekat dengan hati-hati, suaranya lembut dan penuh perhatian. "Dr. Fikri, tenanglah. Tanganmu kosong, tidak ada dokumen apapun."

Aku menggelengkan kepala, berusaha mencari jawaban di dalam diriku sendiri. "Tidak, aku yakin ada dokumen itu. Seseorang memberikannya padaku."

Tanpa berpikir panjang, kemarahan dan kebingunganku mendorongku untuk menuduh. "Michelle, jangan bilang kamu menggunakan trik sulap untuk menghilangkan dokumen itu! Apakah kamu mencoba menutup-nutupi sesuatu dengan keahlian sihirmu?"

Michelle tampak terkejut dan bingung. "Apa? Dr. Fikri, aku tidak mengerti apa yang kamu maksud. Aku tidak menggunakan trik sulap."

Aku merasakan kemarahan dan kebingungan semakin menguasai diriku. "Tapi aku jelas-jelas melihat dokumen itu! Kamu pasti melakukan sesuatu!"

Michelle menatapku dengan penuh empati. "Dr. Fikri, mari kita duduk dan berbicara. Kamu sudah melalui banyak hal."

Aku merasa seluruh dunia di sekelilingku mulai runtuh. Tidak ada dokumen, tidak ada bukti. Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Apakah semua ini hanya permainan dari pikiranku yang kacau?

Aku mengikuti Michelle ke ruangan perawatan dan duduk dengan lemas di kursi. Pikiranku terus berputar, mencoba membedakan kenyataan dari ilusi. Apa yang nyata? Apa yang hanya ada di dalam kepalaku?

Michelle duduk di depanku, matanya menatapku dengan penuh perhatian. "Dr. Fikri, mari kita kembali ke tujuan awal kamu. Kamu datang ke rumah sakit ini untuk menyelidiki kasus Fanny, bukan?" tanyanya lembut.

Aku mengangguk pelan, masih terhuyung antara kenyataan dan delusi. "Ya, benar. Aku datang untuk menyelidiki Fanny. Tapi semua ini... semua ini terasa begitu membingungkan sekarang."

Michelle menatapku dengan penuh pengertian. "Baik, sekarang fokuslah pada tujuan awal kamu. Apa yang membuat kamu merasa ada konspirasi di sekitar kamu? Kenapa kamu berpikir semuanya berhubungan dengan ancaman yang kamu terima?"

Aku merasa sedikit terombang-ambing, tapi kata-kata Michelle memaksa aku untuk merenung. "Aku... aku merasa ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini. Nazam mengancamku, dan dokumen itu mengungkapkan sesuatu tentang eksperimen yang dilakukan padaku. Tapi mungkin... mungkin aku terlalu banyak berpikir."

Michelle mengangguk lembut. "Kita perlu memastikan bahwa kamu tetap fokus pada penyelidikan kasus Fanny. Jangan biarkan keraguan dan kebingungan mengalihkan perhatian kamu dari tujuan utama. Fanny masih menjadi pusat dari semua ini, dan kamu memiliki tanggung jawab untuk mengungkap kebenaran."

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan pikiranku. "Aku tahu. Tapi aku harus menunjukkan sesuatu. Aku menerima panggilan dari Nazam, dan aku menyimpan riwayat panggilannya di ponselku."

Aku mengeluarkan ponselku dari saku dan menavigasi ke daftar panggilan terakhir. Namun, saat aku mengarahkan ponselku, aku baru menyadari bahwa ponsel itu tidak ada di tanganku.

Aku menatap tangan kosongku dengan kebingungan, kemudian dengan panik mencari ponselku di sekitar ruangan. "Di mana ponselku? Aku jelas-jelas melihatnya sebelumnya!"

Michelle menatapku dengan ekspresi bingung dan cemas. "Dr. Fikri, aku tidak melihat ponsel di tangan kamu. Mungkin kamu membayangkannya."

Hatiku berdebar kencang. "Tapi aku yakin ponselku ada di sini. Aku baru saja melihat riwayat panggilan itu!"

Aku merasakan panik meningkat. Keringat dingin membasahi dahi dan jari-jariku bergetar. "Di mana ponselku? Aku yakin aku melihatnya tadi!"

Michelle menatapku dengan ekspresi bingung dan cemas, tetapi nada suaranya tetap tenang. "Dr. Fikri, maaf, aku tidak melihat ponselmu. Mungkin kamu membayangkannya."

Kemarahanku mulai memuncak lagi. "Kamu pasti melakukan sesuatu! Bagaimana mungkin ponselku hilang begitu saja? Ini tidak mungkin!"

Tanpa bisa menahan kemarahan dan frustrasi, aku membanting dokumen-dokumen di meja. Kertas-kertas berserakan di lantai, dan beberapa barang lain juga terlempar. "Semua ini tidak masuk akal! Kamu pasti melakukan sesuatu, kan? Ini pasti ada hubungannya dengan trik sulapmu atau apapun itu!"

Michelle mundur sedikit, terkejut oleh ledakan kemarahan dan tindakan destruktifku. "Dr. Fikri, tenanglah. Aku tidak melakukan apa-apa. Ini hanya keadaan yang sulit."

Hatiku berdebar dengan cepat, dan aku merasa semua yang ada di sekelilingku mulai berputar. Aku menatap Michelle dengan kemarahan yang membakar dan merasa bahwa semuanya, dokumen yang hilang, ponsel yang menghilang, adalah bagian dari konspirasi yang lebih besar. "Kamu mengerti apa yang aku maksud? Ini semua pasti direncanakan! Kamu menghapus semua bukti untuk menutupi sesuatu!"

Michelle mencoba meredakan situasi. "Dr. Fikri, aku minta maaf jika kamu merasa seperti ini. Aku benar-benar tidak tahu apa-apa tentang kehilangan dokumen dan ponselmu. Marilah kita duduk dan berbicara dengan tenang."

Aku merasa seluruh dunia seakan runtuh di hadapanku. Kegelapan kebingungan dan kemarahan yang menyesakkan membuatku merasa terjebak. Aku terhuyung-huyung dan hampir berteriak. "Tidak! Aku tidak bisa tenang! Ada sesuatu yang sangat salah di sini, dan aku harus menemukan kebenarannya!"

Dengan kemarahan yang tak tertahan, aku meraih benda-benda di meja dan membantingnya ke lantai. Benda-benda berserakan, dan suasana semakin kacau. Aku merasa kehilangan kontrol dan dikelilingi oleh kebingungan yang menyiksa.

Michelle, dengan ekspresi penuh pengertian dan kecemasan, berusaha meredakan situasi. "Dr. Fikri, mungkin kamu hanya perlu waktu untuk menenangkan diri. Cobalah untuk berpikir jernih dan fokus pada tujuan awal kamu."

Kemarahanku semakin memuncak, dan aku merasa dunia di sekelilingku bergetar dengan intensitas yang mengerikan. Aku menatap Michelle dengan tatapan penuh kemarahan. "Ini semua hanya trik! Kamu pasti menghilangkan semuanya untuk menutup-nutupi sesuatu!"

Michelle tampak terkejut dan cemas, tetapi dia berusaha tetap tenang. "Dr. Fikri, kamu perlu menenangkan diri. Ini tidak akan membantu jika kamu terus seperti ini."

Kemarahanku tidak bisa dikendalikan. Aku melangkah mendekat, merasakan kekuatan amarahku yang tak tertahan. "Kamu tidak mengerti! Aku harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi!"

Michelle mencoba menjauh, tetapi itu hanya memicu kemarahanku lebih lanjut. Aku menatapnya dengan mata penuh kebencian dan, dalam keadaan putus asa, aku melayangkan pukulan ke arah Michelle. Pukulan itu mengenai bahunya, dan dia terjatuh ke lantai dengan kaget dan kesakitan.

Michelle, terkejut dan kesakitan, berusaha bangkit sambil memegang bahunya. "Dr. Fikri, berhenti! Ini tidak akan menyelesaikan masalah!"

Namun, aku merasa semakin kehilangan kendali. Aku terus mendekat, berusaha memaksakan diri untuk mencari jawaban. Michelle, dengan ekspresi cemas dan penuh pengertian, segera menghubungi bantuan melalui interkom di ruangan. Dalam waktu singkat, beberapa petugas keamanan tiba untuk menangani situasi.

Mereka dengan cepat bergerak untuk menanggapi situasi yang semakin memburuk. Aku merasakan tanganku diborgol dan tubuhku dikuasai oleh kekuatan mereka. Aku melawan, tetapi jumlah mereka yang lebih banyak dan kekuatan mereka membuatku tak berdaya. Mereka membawaku ke ruang bawah tanah rumah sakit, tempat penjara kecil yang tanpa cahaya.

Aku berusaha meronta-ronta dan berteriak, tetapi semua usahaku sia-sia. Mereka mendorongku ke dalam lubang gelap itu dan menutup pintu logam di depanku. Dalam kegelapan yang pekat dan udara yang pengap, aku merasakan ketidakberdayaan yang mendalam.

Aku berteriak dalam kemarahan dan frustrasi, tetapi tidak ada yang menjawab. Terjebak dalam kegelapan, aku merasa semakin jauh dari kenyataan dan semakin bingung mengenai apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana aku bisa keluar dari situasi ini.

Dalam kegelapan yang menyesakkan dan udara yang pengap, aku merasa seolah terjebak dalam sebuah ruang tanpa akhir. Dinding penjara kecil itu terasa semakin sempit, dan aku tidak bisa melihat apa-apa di sekelilingku selain kegelapan yang pekat.

Kemarahanku, yang sebelumnya sudah menyala-nyala, kini menjadi api yang membakar di dalam diriku. Aku merasakan kemarahan yang membara, membengkak hingga mencapai titik puncaknya. Setiap detik di dalam lubang ini hanya menambah rasa sakit dan frustrasi yang aku rasakan.

Aku berteriak keras, memukul dinding dan lantai dengan sekuat tenaga, tetapi semuanya sia-sia. Setiap pukulan hanya membuat telinga ku bergetar dengan gema yang tak henti-hentinya, menambah kesadaran betapa terjebaknya aku di tempat ini.

“Apa yang mereka lakukan padaku?!” teriakku dalam kegelapan, suara ku menggema di ruang sempit. “Ini semua tidak adil! Aku harus tahu kebenarannya!”

Aku duduk di sudut lubang, tubuhku terasa lelah dan sakit. Terbayang dalam pikiranku wajah Michelle yang tampak penuh kepedihan dan kekhawatiran. Namun, kemarahan lebih besar daripada rasa bersalah atau penyesalan. Aku merasa dikhianati dan dipermainkan, dan dendam mulai menggerogoti hatiku.

Aku menyandarkan punggungku ke dinding dingin, berusaha menenangkan napasku yang terengah-engah. Dalam kegelapan yang mencekam, hanya ada aku dan suara kemarahan yang terus-menerus bergetar di dalam kepalaku. Setiap kali aku mengingat wajah Michelle dan petugas yang membawaku ke sini, rasa dendamku semakin menggebu.

“Suatu hari nanti, aku akan keluar dari sini,” gumamku dengan penuh tekad. “Dan ketika saatnya tiba, aku akan membalas semua ini. Aku akan mengungkap kebenaran, dan mereka akan merasakan apa yang aku rasakan sekarang!”

Aku merasa seolah seluruh dunia menentangku, dan rasa dendam yang membara di hatiku menjadi satu-satunya pendorongku untuk terus bertahan. Dalam kegelapan itu, hanya ada satu keyakinan yang jelas, aku tidak akan membiarkan ini berakhir seperti ini. Aku akan mencari kebenaran dan membalas dendam pada semua yang telah membuatku terjebak di sini.

1
Livami
kak.. walaupun aku udah nikah tetep aja tersyphuu maluu pas baca last part episode ini/Awkward//Awkward//Awkward/
aarrrrgh~~~
Umi Asijah
masih bingung jalan ceritanya
ᴬᵖᵖˡᵉᴿʸᵘ
Novelku sendiri
Livami
orang kayak gitu baik fiksi ataupun nyata tuh bener2 bikin sebel dan ngerepotin banget
Livami
huh.. aku suka heran sama orang yang hobinya ngerebut punya orang... kayak gak ada objek lain buat jadi tujuannya...
Umi Asijah
bingung bacanya..😁
ᴬᵖᵖˡᵉᴿʸᵘ: Ada yang mau ditanyain kak?
total 1 replies
Livami
terkadang kita merasa kuat untuk menghadapi semua sendiri tapi ada kalanya kita juga butuh bantuan orang lain...
Livami
ending episode bikin ademmm
Livami
ok kok semangat thor
Livami
woo.. licik juga Tiara
semangat tulis ya Thor /Rose/
bagus ceritanya
Livami
bagus Lo Thor.. ditunggu up nya.. semangat/Determined//Determined//Determined/
LALA LISA
tidak tertebak...
Sutri Handayani
pffft
LALA LISA
ending yang menggantung tanpa ada penyelesaian,,lanjut thoor sampai happy ending
LALA LISA
benar2 tak terduga ..
LALA LISA
baru ini aku Nemu novel begini,istimewa thoorr/Rose/
ᴬᵖᵖˡᵉᴿʸᵘ: Terimakasiiih
total 1 replies
LALA LISA
cerita yg bagus dengan tema lain tidak melulu tentang CEO ..semangat thoorr/Rose/
Reynata
Ngeri ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!