NovelToon NovelToon
Istri Yang Tak Di Anggap

Istri Yang Tak Di Anggap

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:7.3k
Nilai: 5
Nama Author: laras noviyanti

Candra seorang istri yang penurunan tapi selama menjalani pernikahannya dengan Arman.

Tak sekali pun Arman menganggap nya ada, Bahkan Candra mengetahui jika Arman tak pernah mencintainya.

Lalu untuk apa Arman menikahinya ..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon laras noviyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch 19

Setelah beberapa jam berjalan, Candra kembali ke café dengan pikiran jernih, rasa energik membangkitkan semangat baru. Dira menyambutnya di pintu masuk, wajahnya tampak ingin tahu.

“Mengapa kau pulang lebih awal? Sepertinya pustaka besar di sini,” Dira menggoda, wajahnya ceria.

“Rizal, dia luar biasa!” Candra hampir tidak sabar untuk berbagi cerita.

“Dia dipecat dari rumah sakit, atau dia berkembang?” Dira melontarkan tawa kecil.

“Tentu tidak. Dia konversasi bagus, penuh rasa hormat dan perhatian,” jawab Candra.

Kedua sahabat itu tertawa, Dira meregangkan diri, lalu menepuk pundak Candra dengan penuh empati. “Baguslah! Dengan itu kau tidak terjebak dengan bayang-bayang lama.”

Candra menggigit bibir bawahnya, senyum merekah dengan kehangatan yang meluap. “Sepertinya aku sudah menemukan jalan lain.”

“Satu langkah lagi ke depan!” Dira berteriak bahagia. “Jangan anggap enteng—jadilah dirimu dan nikmati prosesnya.”

Candra memejamkan mata, menjalani perasaan ringan itu. Tidak ada sejarah kelam yang harus mengikis kebahagiaan ini. Jika orang lain dapat bergerak maju, aku pun bisa, pikirnya.

Semua berjalan menuju ide cerah andai mereka mampu menjaga semangat ini. Dan saat itu, Candra merasa tidak ada yang bisa menghentikannya.

Tiba-tiba, pintu café membuka lebar dan suara tawanya yang riuh memenuhi ruangan. Sejumlah pelanggan baru masuk, memecah kesunyian sore. Dira menyambut mereka dengan senyum lebar. “Selamat datang! Apa yang bisa kami suguhkan hari ini?” Dira bersuara ceria, menarik perhatian pelanggan-pelanggan itu.

Candra mengalihkan pandangannya kepada pengunjung yang baru datang, merasa terinspirasi oleh energi positif yang mengalir di dalam café. Sambil membenahi apron di tubuhnya, ia memandang Dira yang sudah mulai bertugas. Pelanggan berdatangan, masing-masing dengan senyuman dan harapan untuk menikmati kehangatan café yang mereka bangun dari nol.

Candra mengamati satu per satu pelanggan yang memasuki café. Seorang wanita muda dengan anak kecil, pasangan yang tampak manis, hingga sekelompok remaja yang ribut dengan canda tawa. Atmosfernya menghangat.

Candra melangkah ke meja dekat jendela dan mencatat pesanan dengan penuh semangat. “Selamat datang! Apa yang bisa saya bantu hari ini?”

Pasangan di depan Candra saling berpandangan dan menjawab serentak. “Kami mau dua cappuccino dan satu kue coklat, tapi yang tanpa gluten, ya!” si wanita menambahkan dengan serius.

Candra tersenyum. “Tentu, tidak masalah. Kami akan pastikan semuanya sesuai permintaan.” Ia mencatat pesanan pelanggan tersebut.

Kedua pelanggan itu tersenyum lega. “Bagus sekali. Terima kasih!” mereka menjawab bersamaan, seakan merasakan semangat Candra yang luar biasa.

Candra membalikkan badan dan melangkah ke arah dapur, suaranya memantul lembut di antara dinding kayu café.

“Dira, pesan cappuccino dua dan kue coklat satu, tanpa gluten.” Candra melanjutkan, dengan semangat berkelanjutan.

Dira yang sedang mengaduk adonan kue menoleh dan mengangguk.

“Pasti, Candra. Satu cappuccino terbuat dari biji terbaik yang kamu pesan, dan kami akan menambahkan sentuhan spesial untuk kue coklatnya,” Dira menjawab.

Candra tersenyum mendengar respons Dira. “Tidak sabar menunggu! Pastikan mereka terkesan.”

Dira melaunching dengan gaya dramatis, seolah-olah menjadi bintang memasak yang sedang beraksi.

“Biar aku kerja dengan magis, dan lihat bagaimana mereka berdecak kagum!” Dira pura-pura melambai dengan tangan, penuh semangat.

Candra tertawa, menyaksikan sahabatnya beraksi. “Jangan terlalu berlebihan, Di Kita kan bukan di reality show!”

Dira membalas dengan mimik penasaran. “Tapi, apakah ketenaran bisa menghampiri kita setelah ini? Siapa tahu, kita bisa mengundang juri Masterchef!” tawa Dira.

Candra mengguncang kepalanya, tapi senyumnya tak kunjung pudar. “Lebih baik kita fokus pada pelanggan di depan dulu. Siapa tahu, kita bisa jadi terkenal karena sajian kita yang genuine, bukan karena drama,” jawabnya sambil melirik ke arah pelanggan yang mulai menunggu.

Dira mengangkat alis, pura-pura tidak setuju. “Ah, drama kan bagian dari kehidupan! Bagaimana kalau kita bikin acara live cooking saja di café? Bisa menarik perhatian media!”

Dengan cepat Candra menyahut, “Tapi kita belum siap! Belum ada resep rahasia yang siap disajikan.” Ia berusaha meredakan semangat Dira yang bisa mengarah ke hal-hal tak terduga.

Sementara itu, pelanggan di meja jendela yang sedang bergurau sudi melontarkan komentar, “Kami cukup terhibur dengan obrolan kalian. Sepertinya café ini tidak hanya menyediakan makanan, tapi juga hiburan!”

Candra menoleh, merasa hangat dengan pujian ini. “Kami memang berusaha menghadirkan kenyamanan,” jawabnya sambil memasang senyum. “Makanan yang enak dan suasana yang menyenangkan.”

Dira menambahkan sambil mengaduk adonan kue, “Betul! Dan tentunya pelayanan terbaik dari kami berdua yang habis hujan melayani.”

Semua tertawa. Candra merasakan getaran positif, seolah semua beban emosionalnya terangkat sedikit demi sedikit. Pesanan cappuccino pun siap, dan Dira meluncur membawa menu ke meja pasangan yang tampak bahagia itu.

“Kau lihat mereka? Mereka sangat menikmati ini,” Candra menunjuk ke arah pelanggan sambil memandang layar dapur.

“Ya, itu luar biasa,” sahut Rizal yang tiba-tiba masuk ke dalam café, menampakkan wajah yang cerah. “Kesanku tentang café ini makin baik saja.”

Rizal melangkah menuju Candra dan Dira, ditemani aroma kopi yang menyegarkan. “Kopi yang kalian sajikan selalu memikat hati dan pikiran. Aku baru saja mencobanya.”

Candra terkejut melihat Rizal. “Kau di sini? Apakah semua pekerjaanmu sudah selesai?”

“Aku sengaja mampir. Selain ingin merasakan produk kalian, aku juga ingin lebih mengenalmu,” risikonya sambil sedikit melirik ke arah Dira.

“Bertemu dengan sahabatku juga,” kata Candra cepat, wajahnya memanas. “Dira, ini Rizal. Dia seorang dokter.”

Dira menyambut dengan sapaan ceria, “Senang bertemu, Rizal! Candra banyak bercerita tentang kau.”

“Semoga semuanya cerita baik,” Rizal menjawab, memberikan senyum hangat kepada Candra dan Dira.

“Pastinya!” Dira berseru, tak sabar memberi pujian. “Candra adalah orang yang luar biasa—café ini tidak akan sepopuler sekarang tanpa sentuhan kreatifnya"

Candra merelakan senyumnya, meski sedikit malu atas pujian itu. “Tentunya, semua berkat kerja tim. Tanpa Dira, café ini pasti akan berantakan"

Rizal tertawa, menilai interaksi itu sebagai momen hangat. “Kerjasama adalah kunci. Begitu kita bisa berkolaborasi, hasilnya pasti akan menjanjikan"

“Setuju! Kita butuh satu sama lain untuk memperkuat ide-ide kita.” Dira bersungguh-sungguh, semburat ceria menyala di wajahnya.

Candra merasakan ruh baru di cafe yang mereka bangun. Semangat yang berkobar seperti nyala lilin, siap menerangi segala sudut yang gelap.

“Jadi, Rizal,” Candra menarik napas, berusaha melanjutkan pembicaraan. “Apa yang membawamu ke cafe kami ini?”

Rizal menggaruk kepalanya, tampak berpikir sejenak sebelum menjawab. “Aku penasaran dengan tempat yang banyak dibicarakan ini. Diceritakan selalu menyajikan rasa yang unik dan suasana yang hangat. Acara kunjungan ini sebenarnya juga untuk mendukung teman-temanku di rumah sakit yang menghadapi hari-hari stres.”

“Oh Jadi, kau ingin mengalihkan perhatian mereka dengan makanan enak?” Candra menyeringai, menyoroti ketulusan Rizal.

“Ya, dan aku harap bisa membuat mereka merasa dihargai dalam setiap suapan yang menggoda. Makanan sering kali menjadi pengikat emosi, bukan?” Rizal menjawab dengan percaya diri.

“Persis! Makanan yang kita nikmati tak hanya sekadar paduan rasa, tetapi juga tentang cerita yang terukir di baliknya,” Candra menekankan.

Dira mengangguk setuju. “Setiap hidangan mengandung makna dan harapan. Kita membuat makanan bukan hanya untuk mengisi perut, tapi juga untuk memberikan kenyamanan.”

Rizal menyimak penuh perhatian , wajahnya menunjukkan ketertarikan yang mendalam.

“Kau berbicara seperti chef berpengalaman. Kita bisa berbagi pandangan tentang makanan dan kesehatan,” Rizal senyumnya mengembang penuh semangat.

“Kalau begitu, kita bisa berdiskusi lebih banyak tentang menu sehat untuk café,” Candra gelak tawa, mengenang beberapa resepi sehat yang sempat ia pelajari.

“Menarik, bukan? Menggabungkan rasa dan kesehatan menjadi satu paket,” Rizal menjawab, antusias.

Dira mengangguk cepat “Bisa jadi tren baru!” Dira bersemangat. “Kafe kita bisa jadi pionir, mengajak semua orang untuk makan sehat tanpa mengorbankan rasa.”

Candra tidak dapat menahan senyumnya melihat semangat Dira. “Apa pun bisa kita lakukan jika kita bercollab bersama seperti ini,” Candra menambahkan, berusaha menguatkan ide yang baru saja tercipta.

Rizal tersenyum melihat semangat Candra dan dia semakin ingin mengenal Candra lebih dalam lagi dan mungkin memulai hubungan yang lebih serius.

“Candra, sepertinya kita punya banyak hal untuk dibicarakan,” Rizal berkata sambil menyesuaikan posisi duduknya, seolah memposisikan diri untuk mendengar lebih dalam.

"Ya, banyak sekali," Candra menjawab, berusaha mengurangi rasa berdebar. “Kesehatan dan makanan, dua kombinasi yang seolah tak terpisahkan saat ini.”Rizal mengangguk, kokoh dalam pemikirannya. “Kedua hal itu seperti dua sisi koin. Kita perlu menjaganya dengan benar agar bisa merasakan manfaat maksimal dari keduanya.”

Dira menyimak dengan penuh perhatian, merasakan aura antusiasme yang mengalir antara mereka. “Jadi, apa rencanamu ke depan, Rizal? Melanjutkan karir di rumah sakit atau berpindah ke arah yang lebih… inovatif?”

Rizal tersenyum, matanya berbinar. “Sebenarnya, aku berusaha menggabungkan keduanya. Di satu sisi, aku sangat mencintai profesi ini—berinteraksi dengan pasien dan membantu mereka pulih. Tapi, di sisi lain, aku ingin menggali lebih dalam tentang kesehatan berlatar belakang makanan. Aku sedang menjalin kerja sama dengan beberapa ahli gizi untuk membuat program edukasi tentang pola makan sehat.”

Candra merasakan gelombang inspirasi. “Wah, itu ide yang cemerlang! Setiap orang perlu mendapatkan pengetahuan tentang apa yang mereka konsumsi,” katanya menggugah, membayangkan masyarakat yang lebih sadar akan pilihan makanan mereka.

“Apakah café ini bisa menjadi bagian dari program itu?” Rizal bertanya, wajahnya penuh harapan. “Kita bisa mengadakan workshop berkala, mengajarkan orang-orang bagaimana mengolah makanan sehat namun tetap lezat.”

Dira melompat, “Bisa, bisa! Kita bisa menyiapkan menu khusus setiap minggu, sembari menyajikannya dengan informasi tentang manfaatnya. Ini bisa jadi daya tarik tersendiri!”

Candra mengamati Dira, otaknya melaju cepat merangkai ide. “Sangat brilian! Kita bisa mulai dari pengenalan bahan-bahan alami hingga memasak bersama pelanggan. Itu bisa jadi pengalaman yang menyenangkan bagi semua.”

“Jadi, kami bertiga sepakat untuk menciptakan kolaborasi ini,” Rizal menambahkan, terpesona dengan dualitas tujuan mereka. “Dengan sinergi yang kuat antara café dan nilai-nilai kesehatan, kita bisa memberi dampak yang lebih luas bagi masyarakat.”

Pelanggan di meja sebelah sedang asik mengobrol, menemukan kesenangan tersendiri dari bisingnya café. Candra merasakan aliran kebahagiaan mengalir pada semua pengunjung.

...****************...

1
murni l.toruan
Rumah tangga itu saling komunikasi dua arah, agar tidak ada kesalah pahaman. Kalau hanya nyaman berdiam diri, itu mah patung bergerak alias robot
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!