Seorang wanita mandiri yang baru saja di selingkuhi oleh kekasihnya yang selama ini dia cintai dan satu-satunya orang yang dia andalkan sejak neneknya meninggal, namanya Jade.
Dia memutuskan untuk mencari pria kaya raya yang akan sudah siap untuk menikah, dia ingin mengakhiri hidupnya dengan tenang. Dan seorang teman nya di bar menjodohkan dia dengan seorang pria yang berusia delapan tahun lebih tua darinya. Tapi dia tidak menolak, dia akan mencoba.
Siapa sangka jika pria itu adalah kakak dari temannya, duda kaya raya tanpa anak. Namun ternyata pria itu bermasalah, dia impoten. Dan Jade harus bisa menyembuhkan nya jika dia ingin menjadi istri pria itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lyaliaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Lampu-lampu di dalam villa masih menyala, memancarkan cahaya lembut yang menembus tirai jendela. Pikiranku berkecamuk sejak menyeberang. Bayangan tentang Rhine dan Zarra berbaur dalam pikiran, mengaburkan semua penalaran ku.
Ketegangan semalam bersama Rhine mengganggu ketenanganku. Tidak, aku tidak ingin, bahkan tidak bisa membiarkan wanita lain merasakan apa yang aku alami bersama Rhine.
Langkahku berhenti di depan pintu setelah menaiki dua anak tangga. Hana masih memegang tanganku, dukungannya terasa menguatkan aku dalam keadaan yang tidak pasti ini. Ketika tangan ku menyentuh kenop pintu, suara percakapan Rhine dengan wanita di dalam sana menyelinap keluar.
"Aku sudah mengatakan berkali-kali, aku tidak akan menikah lagi. Bahkan jika aku harus menikah, itu tidak akan denganmu. Carilah pria lain," suara Rhine terdengar dingin, seperti belati yang menusuk hati.
"Apa kau benar-benar tidak tertarik padaku? Aku menyukaimu sejak lama, dan kau tahu itu. Jauh sebelum kau bertemu dengan mantan istrimu yang..."
"Zarra?! Aku tidak pernah memintamu untuk menyukaiku. Jangan menuntut. Cukup," Rhine memotong dengan nada tegas.
"Jadi bagaimana dengan wanita semalam?" Zarra bertanya dengan nada penasaran.
"Itu bukan urusanmu," jawab Rhine, suaranya semakin dingin.
"Bukan urusanku? Kau bercanda?"
"Zarra, ini peringatan terakhirku. Jika kau..."
Klek. Pintu terbuka, memperlihatkan aku dan Hana yang berdiri di depan, tak bergerak. Hana dan aku saling berpandangan sejenak.
"Ck," Zarra melirikku dengan tatapan sinis sebelum berlalu dan menyenggol lenganku dengan kasar. Ia membanting pintu mobil dan pergi, langkahnya cepat meninggalkan cahaya lampu yang meredup di tepi jalan.
"Dia tak pernah berubah," gumam Hana pelan, saat Zarra melaju pergi.
"Hana, kau juga di sini?" Rhine bertanya, muncul di ambang pintu dengan tatapan singkat ke arahku sebelum menatap Hana.
"Halo Paman Rhine, sudah lama tidak bertemu," jawab Hana dengan sopan, senyum manisnya menyerupai anak kecil yang baru saja diberikan permen.
"Jade... Tadi..." Rhine mencoba memulai kalimat dengan nada ragu.
"Tak apa, tidak perlu menjelaskan. Aku tidak mendengar apapun." Aku tidak menatap Rhine, aku menarik tangan Hana yang masih berada dalam genggamanku untuk masuk. Namun, Hana menahannya dan menggelengkan kepala.
"Hemm, sepertinya aku harus pulang. Bibi pasti khawatir. Kita bisa minum bersama lain kali, Jade. Bibi sudah meneleponku," Hana melepaskan tangannya dengan lembut, tidak ingin terlihat seperti aku memaksa.
"Menelpon? Kapan? Kami berbicara tanpa henti dari tadi," batinku penuh rasa ingin tahu.
"Paman, aku pergi. Aku akan mampir dengan bibi lain kali," Hana menunduk untuk pamit pada Rhine. "Sampai jumpa besok Jade..." Dia melambaikan tangan sambil memberikan senyum aneh, seolah ingin menyampaikan sesuatu tanpa kata-kata. Ia berlari menjauh, menghilang dengan cepat di bawah cahaya lampu jalan.
"Haha, Hana selalu bertingkah menyenangkan. Tapi apa dia hanya memanggilmu Jade?"
"Ya, aku tidak cukup tua untuk dipanggil bibi, bukan?" Aku tersenyum kecil dan melangkah masuk. "Hemm, mungkin aku bisa memanggilmu paman juga..." Aku menoleh ke arah Rhine yang masih berdiri di pintu, lalu bergegas menuju kamar saat dia menatapku dengan tatapan tajam.
Ketika aku mengunci pintu kamar, Rhine dengan cepat menahannya. Ia mendorong pintu sedikit dan masuk, menarik tanganku dan mendorongku hingga aku bersandar di dinding. Tangan kirinya bertumpu di dekat daun telingaku, sementara tangan lainnya menggenggam pergelangan tanganku dengan erat.
"Nona, apakah kau sedang menggoda paman ini?" bisiknya lembut di telingaku. Tubuhku menegang, seperti tersengat listrik oleh ucapannya.
Rhine menarik wajahnya mendekat, jaraknya kurang dari satu sentimeter dari hidungku. Kami berbagi udara yang sama, aku merasakan hembusan napasnya di bibirku. Tidak, tidak mungkin. Aku tidak ingin melakukan apa pun dengan pria yang tampaknya hanya akan melarikan diri. Aku mendorong Rhine menjauh.
"Aku... aku ingin mandi," kataku, aku menunduk sedikit untuk melewati tangannya yang masih bertumpu di dinding. Aku melangkah melewatinya dan menuju kamar mandi.
Langkahku terhenti saat aku merasakan sentuhan hangat di pinggangku. Tangan Rhine melingkar di tubuhku.
"Kau sedang apa?" aku berusaha menahan diri untuk tidak hanyut dalam pelukannya. Ia terasa hangat. Rhine menundukkan kepalanya di bahuku, seperti tak dapat menahan keinginannya. Aku tidak merasakan beban sama sekali. "Bolehkah aku tidur denganmu malam ini? Aku tidak akan melakukan apa-apa, hanya tidur."
"Apakah aku boleh menolaknya?"
"Tentu saja, aku tidak akan memaksa. Namun, aku akan tetap di sini."
Astaga, bukankah itu artinya aku tidak bisa menolak? batinku, mataku memutar seratus delapan puluh derajat ke kiri.
"Sungguh hanya tidur?" tanyaku, memastikan.
Rhine mengangguk-angguk di bahuku. Mengingat kejadian semalam, sepertinya dia benar-benar tidak akan melakukan sesuatu yang panas malam ini. Aku memegang kedua tangannya, mencoba menariknya dari pinggangku. "Baiklah, terserah kau, tapi aku ingin mandi."
"Oke, mandilah." Rhine berdiri tegak, hanya menatapku saat aku melangkah menjauh. Aku meliriknya saat aku sudah berada di pintu kamar mandi, memastikan dia tidak mengikuti. Benar, dia tetap berdiri di sana. Aku masuk ke kamar mandi dan menguncinya.
Aku tidak bisa berhenti berpikir tentang tidur bersama Rhine. Rasanya sulit dipercaya, terutama karena dia seorang pria. Bukan berarti pria tidak dapat dipercaya, tetapi tidur dalam satu ruangan dengan pria dewasa dan wanita dewasa, aneh rasanya jika tidak melakukan apa-apa.
...----------------...
gk rela sebenarnya klo hrus pisah sm mereka.. 😢😢
kira2 Ryan&Hana udh ada anak jg blm ya🙈😅
klo emg Rhine bkn jodoh nya,,, kasih Kade jodoh yg lebih baik lagi thoorrr