Ara adalah seorang personal asisten Garvi, hubungan mereka cukup unik. Terkadang terlihat layaknya kawan sendiri tapi tak jarang bersikap cukup bossy hingga membuat Ara lelah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tiga belas
💙💙💙💙
"Astagfirullah, kaget!" pekik Ara reflek karena ada tangan yang tiba-tiba menariknya.
Ia langsung memprotes kesal saat tahu siapa si pelaku.
"Apaan sih, Mas, kok tiba-tiba narik-narik? Emangnya lo pikir gue jemuran apa?" gerutunya sebal.
Kedua matanya menatap sinis ke arah sang senior. Telapak tangannya mengepal, maju mendekat ke arah wajah pria itu. Terkesan seperti ingin meninju wajah tampan pria itu. Tapi tentu saja ia tidak berani melakukannya, karena bagaimanapun, tubuhnya terlalu mungil untuk melawan Mahesa yang badannya besar dan tinggi seperti gapura kabupaten.
Mahesa langsung menyingkirkan tangan mungil itu dengan mudah. Telunjuknya yang tidak terlalu panjang kemudian maju dan mendorong dahi sang junior dengan gerakan pelan. Namun, cukup membuat gadis itu sedikit terhuyung ke belakang. Maklum, perbedaan porsi tubuh mereka terlalu kontras sehingga membuat Ara mudah terpental meski cuma disenggol Mahesa.
"Berani lo sama gue, Ra?"
Ara meringis lalu menggeleng cepat. "Enggak lah, mana berani gue sama lo, Mas. Hehe, abis lo nyebelin banget sih. Gue kaget tahu tiba-tiba lo tarik gitu. Ada apaan sih?"
"Gue mau nanya."
Ara mengerutkan dahi bingung. "Nanya soal apa?"
"Dika. Lo kenapa bisa kenal dia? Setahu gue dia itu nyaris nggak punya temen selain gue karena dia hampir bisa dibilang setengah dari masa hidupnya dihabiskan di negeri orang. Tapi ini kok lo bisa kenal dia? Dari mana, anjir? Jawab gue!"
"Astaga, ya ampun, Mas. Lo narik-narik gue cuma buat--"
"Bagi gue ini bukan sekedar cuma, Ra," potong Mahesa dengan wajah kesalnya. Ia sudah penasaran tapi Ara malah bicara tidak penting dan itu membuatnya bertambah kesal.
"Lo sendiri kenapa bisa kenal Mas Dika, Mas?"
"Kan tadi udah gue jawab di Twitter. Dika itu temen SMP gue. Gue ini satu-satunya temen dia yang masih setia dia hubungi sampai sekarang."
"Wow, keren," seru Ara takjub.
Mahesa yang tidak paham pun hanya mampu memasang wajah bingungnya.
"Apanya yang keren, anjir."
"Lo. Sumpah sih menurut gue lo keren banget karena bisa temenan sama adeknya bos. Gokil, jangan-jangan lo bisa masuk sini lewat jalur--"
"Tunggu, bentar! Ngomong apaan lo barusan?" potong Mahesa dengan wajah shocknya, "siapa yang adiknya siapa?" sambungnya dengan wajah bingung.
"Lah, kok Mas Mahes bingung? Mas Dika temen Mas Mahes itu adiknya Pak Garvi. Pak Garvi itu Kakaknya Mas Dika. Mereka bersaudara kandung. Sampai sini paham?"
"Si kampret Dika itu adeknya Pak Garvi bos kita? Bos kita yang itu, Ra?"
"Ya, emang bos lo yang namanya Garvi ada berapa, hah?"
"Anjir!"
"Jadi lo baru tahu, Mas?"
Dengan wajah sedikit bercampur shock, Mahesa mengangguk lemas.
"Gue berasa ditipu selama ini, Ra."
"Jadi, selama ini Mas Dika ngaku orang susah kah atau gimana? Eh, nggak mungkin deh kayaknya, soalnya kan Mas Dika kan SMA-nya di luar negeri."
Mahesa mengangguk setuju. Ia tahu kalau sahabatnya itu dari kalangan orang berada. Dilihat gaya hidupnya selama ini sudah terlihat jelas.
"Gue tahu dia anak orang kaya, Ra. Dari zaman sekolah, gue tahu itu. Dia yang nggak related sama kehidupan gue yang agak susah, terus barang-barang mewahnya selama ini, sikap royalnya, mobil mewahnya. Semua keliatan kalau dia itu tajir, cuma gue nggak nyangka kalau dia setajir itu, anjir."
"Berarti Mas Dika itu termasuk yang rendah hati dan nggak som--"
"Pale lu!" potong Mahesa sambil menonyor dahi Ara, "dia songong ya, anjir. Dah lah, sono lanjut kerja! Gue mau telfon anaknya."
Mahesa kemudian merogoh kantong celananya dan mengeluarkan ponselnya dari dalam sana. Hal ini membuat Ara mendengus tidak percaya.
"Anjir, ini jam kerja, Mas. Lo juga harus kerja lah."
Mahesa menoleh ke arah Ara sambil menatap gadis itu sinis. "Diem deh lo, bocah!"
Ara melotot tidak terima. "Anjir lah, gue udah bisa bikin bocah ya, Mas!"
"Halah, bikin doang belum tentu hasilnya oke." Mahesa mencibir.
Ara tertawa diiringi umpatan kesal. "Sialan!"
💙💙💙💙
Sesuai permintaan sang atasan, hari ini Ara ikut pulang ke apartemen Garvi. Tidak untuk menginap tentu saja, tapi untuk, entah lah, kalau boleh jujur Ara sendiri sebenarnya kurang tahu. Tapi sepertinya Garvi sedang butuh teman, melihat mood sang atasan tidak begitu bagus lumayan membuatnya khawatir.
"Pak Garvi sedang kurang sehat?"
Setelah hening selama beberapa saat, Ara akhirnya membuka suara. Ia mulai khawatir karena begitu keduanya masuk ke dalam apartemen Garvi langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa. Pakaian pria itu bahkan masih rapi, dasinya belum dilonggarkan, jasnya masih membalut tubuh pria itu.
Hanya mendapati jawaban berupa gelengan kepala membuat Ara semakin khawatir. Ia mendekat ke arah sang atasan dengan ragu-ragu.
"Pak, boleh saya cek suhu tubuhnya?"
Garvi mengangguk lalu menyingkirkan lengannya yang tadi sempat menutupi wajahnya. Merasa mendapat lampu hijau, Ara kemudian menempelkan telapak tangannya pada dahi Garvi untuk mengecek suhu tubuh pria itu.
"Enggak panas tuh."
"Memang."
Ara menghela napas lalu duduk di sebelah sang atasan. "Terus Pak Garvi kenapa?"
Bukannya menjawab, Garvi malah menegakkan tubuhnya dan mengalihkan pembicaraan.
"Saya pengen makan mie rebus. Bikinin dong, pake telur setengah mateng dua. Sayurnya jangan lupa!"
Garvi kemudian berdiri sambil melepas jas lalu melonggarkan dasinya. Baru setelahnya pria itu berjalan menuju kamarnya. Sementara Ara hanya mampu melongo dan menatap punggung Garvi yang sudah menghilang di balik pintu.
Ada-ada saja permintaan sang bos.
Meski awalnya ragu, Ara tetap melakukan perintah sang atasan. Ia pergi ke mini market untuk membeli mi instan. Karena apartemen Garvi jelas tidak mempunyai stok mi instan, berbeda dengan dirinya yang suka galau mendadak kalau tidak punya stok mie.
Saat Ara kembali, Garvi masih belum keluar dari kamar. Ia pun memutuskan untuk langsung memasak. Tak lama setelahnya, sang bos keluar dari kamar dengan kaos putih panjangnya. Batinnya bertanya heran, kenapa ini bosnya memakai kacamata saat sedang di rumah. Padahal juga tidak sedang membaca laporan atau mengecek email. Atau jangan-jangan bosnya ini mau mengajak Ara lembur?
Oh, tidak, Ara tidak sanggup kalau harus diajak lembur. Apalagi besok mereka ada meeting dengan klien pagi-pagi.
"Mau ngapain, Pak, di rumah pake kacamata?"
"Enggak usah banyak nanya kamu. Buruan yang masak, saya udah laper."
Buset, kok ngegas? Batin Ara menggerutu dalam hati.
Garvi mengabaikan pertanyaannya sambil membuka pintu kulkas lalu mengambil botol air mineral dari dalam sana, kemudian meninggalkan dapur menuju ruang tamu. Sesampainya di sana, ia langsung membaringkan tubuhnya di atas sofa.
Ara berdecak sambil geleng-geleng kepala saat sampai di ruang tamu. Bosnya nampak terlelap dengan kacamata yang masih bertengger manis di sana.
"Kamu berdecak karena apa?"
Eh?
Ternyata bosnya tidak tidur?
"Pak Garvi nggak tidur?"
Ara sedikit meringis malu karena sudah salah sangka.
"Sudah matang?" Bukannya menjawab, Garvi malah balik bertanya.
Ara mengangguk cepat, lalu mengajak sang atasan untuk segera ke dapur. Karena ruang makannya menyatu dengan dapur. Tapi Garvi justru menolaknya.
"Makannya di sini saja."
What? Ini sebenarnya bosnya lagi kenapa sih? Kok aneh banget.
Berhubung Ara sudah cukup lelah dan malas bertanya, maka dari itu ia hanya mengangguk paham lalu kembali ke dapur untuk memindahkan mie rebus mereka ke ruang tamu.
"Btw, karpetnya baru saya bawa ke laundry minggu lalu, Pak. Saya malas kalau disuruh bawa karpetnya ke laundry lagi, jadi tolong ya, Pak, usahakan mie-nya jangan sampe mengotori karpet," pesan Ara sambil menyerahkan sendok dan juga sumpit.
Garvi terkekeh samar. "Kenapa kamu justru lebih cerewet ketimbang pemiliknya?"
"Ya, saya mungkin bukan pemilik apartemen ini. Tapi harus Bapak ingat kalau saya yang ngurusin semua hal yang ada di apartemen Bapak. Jadi, Pak, tolong dimengerti dengan sangat, ya!"
Garvi manggut-manggut paham. Ia kemudian mulai menyumpit mie. Sebelum memasukkannya ke dalam mulut, ia menatap Ara dan bertanya, "Ini nggak pedes kan?"
"Enggak lah. Saya tahu Pak Garvi nggak begitu bisa sama makanan pedes."
Garvi kembali mengangguk. "Soalnya warnanya agak bikin horor."
"Enggak, Pak, dijamin aman. Tapi kalau emang Pak Garvi nggak yakin, jangan dimakan deh, soalnya kan Pak Garvi selama ini nggak pernah makan beginian. Saya jadi agak takut perut Pak Garvi nantinya ka...get."
Oke, sekarang Ara yang kaget karena Garvi benar-benar memasukkan mie instan buatannya. Ada perasaan tidak percaya bercampur haru. Entah lah, terkesan berlebihan memang. Tapi rasanya Ara merasakan itu semua. Batinnya seolah ingin menjerit.
Yes, akhirnya bos gue bisa makan mie instan!
"Gimana, Pak?" tanya Ara harap-harap cemas.
Garvi kembali mengangguk. "Not bad, meski agak pedes buat saya."
"Hah? Kepedesan, Pak?" tanya Ara panik.
"It's okay. Masih bisa saya terima kok, lumayan nagih. Sepertinya sekarang saya mengerti kenapa kamu suka yang beginian."
"Nah, iya, Pak. Akhirnya Bapak mulai related kan? Ya, memang begini lah, Pak rasanya. Lain kali saya bikinin lagi--"
"No, thanks, Zahra. Saya rasa sudah cukup," potong Garvi membuat bahu Ara merosot seketika, "habis ini temenin saya jalan-jalan ya," sambungnya tiba-tiba.
"Kemana, Pak?"
"Cari jajan."
"APA?!"
💙💙💙💙