NovelToon NovelToon
KEISHAKA : You'Re My Melody

KEISHAKA : You'Re My Melody

Status: tamat
Genre:Tamat / cintapertama / Anak Kembar / Murid Genius / Teen School/College / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: Ziadaffi Ulhaq

Dia, lelaki dengan prestasi gemilang itu tidak sesempurna kelihatannya. Sayang sekali kenapa harus Nara yang menyaksikan rumitnya. Namanya Yesha, menyebalkan tapi tampan. Eh? Bukan begitu maksud Nara.

Dia, gadis ceroboh yang sulit diajak bicara itu sebenarnya agak lain. Tapi Yesha tidak tahu bahwa dia punya sisi kosong yang justru membuat Yesha penasaran tentang sosoknya. Namanya Nara, tapi menurut Yesha dia lebih cocok dipanggil Kei. Tidak, itu bukan panggilan sayang.

Jatuh cinta itu bukan salah siapa. Pada akhirnya semesta berkata bahwa rumitnya bisa dipeluk dengan hangat. Dan kosongnya bisa dipenuhi dengan rasa.

Oh, tenang saja. Ini hanya masalah waktu untuk kembali bersama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziadaffi Ulhaq, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KAMU ADALAH BENAR

YESHA membawa segelas air putih ditangannya, berjalan menaiki tangga menuju kamar Nara. Sesaat tangannya bergerak mengetuk pintu, dan saat mendengar suara Nara yang menyuruhnya masuk, tanpa disuruh dua kali Yesha mendorong pintu, menghampiri Nara yang duduk diatas kasur dengan punggung menempel pada sandaran. Dia sudah berganti pakaian dengan celana pendek setengah paha dan kaus polos serta rambut panjangnya yang dicepol asal. Yang justru membuatnya terlihat lebih menarik dimata Yesha.

Suasana hati Nara sudah membaik sepertinya. Yesha duduk ditepi kasur, menghadap pada Nara dan menyodorkan air yang dibawanya.

“Minum dulu.”

Nara menerima air yang dibawakan Yesha, menegaknya hingga tersisa setengah, menghela napas berat. Ia menaruh gelas diatas nakas.

“You feel okay?” Tanya Yesha.

Nara menatap Yesha, mengangguk pelan. “Cuma agak bingung aja, semuanya kayaknya kecepetan deh buat gue. Gue bahkan belum ada empat bulan disini.”

Yesha diam. Nara sepertinya masih mencerna apa yang terjadi akhir akhir ini dalam hidupnya. Yesha juga tidak menyangka akan seperti ini.

“Boleh gue nanya sesuatu, Yesha?”

“Sure.” Yesha mengangguk.

Nara terdiam, berpikir lama. Matanya menatap lurus kedepan, helaan napas terdengar lagi. Gadis itu terlihat ragu. Memilih kalimat yang baik untuk mengungkapkan isi kepalanya dengan tepat.

Yesha yang melihat itu lantas meraih kedua tangannya, menggenggamnya erat. “Lo bisa tanya apapun, Ra.”

Nara menatap kedua tangannya yang digenggam Yesha, membalas genggamannya. “Kenapa harus gue, Sha? Diantara sekian banyak perempuan yang jauh lebih cantik, jauh lebih sempurna dari gue, kenapa harus gue orangnya? I mean, lo yakin mau jatuh cinta sama gue yang bahkan gak paham cinta itu apa? Yang rasanya masih kemarin Reno nyakitin gue, rasa takutnya masih bisa gue rasain sampai sekarang. Gue masih nggak ngerti kenapa lo, seorang Yeshaka yang sempurna dimata semua orang, yang disukain semua orang justru malah suka orang kayak gue. Kenapa?”

Mendengar itu ikut membuat Yesha terdiam. Kenapa? Apa Yesha punya jawaban untuk semua pertanyaan dikepala Nara sekarang? Jawabannya adalah tidak. Jangankan Nara, dirinya sendiri bahkan tidak bisa menemukan alasan apapun kenapa ia bisa jatuh cinta pada seorang Keinarra.

“Sha?”

Yesha bergumam panjang sebelum menjawab. “I don’t think I need a reason for loving someone, Ra. Maksudnya, kalau gue bilang gue suka sama lo karena lo cantik, kalau nanti cantiknya hilang? Gue gak suka lagi sama lo gitu? Atau kalau gue bilang gue suka sama lo karena lo selalu ada buat gue, kalau nanti lo gak selalu ada? Gue gak suka lagi sama lo dong. That’s not love. Gue gak punya alasan. Dan gak punya alasan juga termasuk alasan, kan?”

Nara menatap Yesha kali ini sungguh dengan binar kagum. Ucapannya selalu berhasil menyentuh relung hati Nara. Gadis itu mengangguk. Yesha benar. Tidak butuh alasan apapun untuk mencintai seseorang dengan tulus.

“Lo perlu waktu, Ra?” Tanya Yesha.

Nara berpikir, lantas mengangguk. “Lo mau ngasih gue waktu berapa lama?”

Yesha tersenyum. “Tiga hari? Seminggu? Sebulan? Sampai lo siap buat ngomongin ini lagi aja. Gak usah buru buru, gue mau nungguin kok.”

Kedua sudut bibir Nara tertarik membentuk sebuah senyuman simpul. “Makasih, Yesha.”

Yesha mengangguk.

“Tapi menurut lo Tasya mau nerima kita?” Tanya Nara pelan, sejak tadi hal itu mengganggu pikirannya.

“Diluar kejadian tadi, Tasya itu orang baik, Ra. Dia sepupu sekaligus sahabat lo, gue yakin dia bakal ngerti. Cepat lambat dia pasti bisa nerima, dan kalaupun nggak, gue bakal terus bikin dia ngerti. Lagipula apapun yang dia lakuin sekarang gak akan mengubah fakta. I’m in love with you, that’s the fact.”

Nara merenung. Tapi apakah Nara bisa menerima Yesha dengan mengorbankan persahabatannya dengan Tasya? Tidak adakah jalan lain agar semuanya lebih terasa benar? Nara tidak bisa menghancurkan hubungannya dengan Tasya maupun Yesha. Tidak dengan salah satunya. Apalagi kedua duanya. Nara tidak bisa, tidak bisa memikirkan jalan keluar apapun sekarang.

“Apa ngehindarin gue bakal bikin hubungan lo sama Tasya balik lagi kayak dulu, Ra?” Tanya Yesha pelan. Sorot matanya menunjukkan ia tidak mau kehilangan Nara secepat ini. Bahkan sebelum dimiliki. Bagaimana mungkin Yesha melepaskannya semudah itu?

Nara menghela napas. “I’m not sure,” Jawabnya tidak yakin. “Emang lo bisa lupain perasaan lo semudah itu?”

Yesha diam. Lantas menggeleng.

Hening mengudara.

“I just wanna show you how beautiful fall in love is. I just wanna feel it with you, be the first someone that you looking for in every situation. I’ll treat you better, Ra.”

Nara termangu. Yesha sungguh sungguh mengatakannya. Betapa yang ia inginkan saat ini adalah seorang Keinarra. Tangan lelaki itu terasa dingin, dia takut kehilangan sesuatu yang belum sempat dimilikinya. Takut kehilangan seseorang yang Yesha harap akan bisa jadi tempat bersandarnya.

“Kita cari jalan keluarnya sama sama ya, Yesha. Sekarang kasih dulu gue waktu buat mikirin perasaan gue sendiri.” Nara tersenyum menenangkan.

Yesha menatap Nara tepat dimatanya. Mata jernih yang selalu membuat Yesha berdebar. Senyum itu sukses membuat rongga dada Yesha menghangat. Bagaimana mungkin Yesha bisa membiarkan dirinya sejatuh ini pada seseorang? Bagaimana gadis ini bisa membuat Yesha begitu terpesona?

“Can I kiss you?”

Nara termangu. Jantungnya tiba tiba menabrak tulang rusuknya lebih keras. Terlalu keras sampai Nara takut Yesha bisa mendengarnya. Ia menelan ludahnya kasar, tatapan Yesha seolah mampu menghipnotis Nara. Gadis itu mengangguk samar.

Demi melihat anggukan serta semburat merah dikedua pipi Nara yang justru semakin membuatnya terlihat manis, Yesha mendekat, menangkup salah satu pipi gadis itu, mendaratkan satu kecupan lembut di kening Nara selama beberapa saat.

Mata Nara terpejam. Jika saja tulang rusuknya terbuat dari kaca, Nara yakin sekarang tulang rusuknya sudah pecah saking berdentamnya jantungnya. Bulu kuduk Nara meremang, ia menahan napas tanpa sadar. Bahkan saat Yesha sudah menjauhkan wajahnya, wajah Nara terasa panas, ia yakin pipinya sudah merah padam.

...***...

Seorang pria dengan setelan jas yang rapi nan mengkilat terlihat memasuki kawasan SMA Artaca ditengah tengah jam istirahat. Dibelakangnya dua orang yang mengenakan setelan hitam hitam terlihat mengikutinya, semacam pengawal atau apalah. Beberapa pasang mata mulai menaruh atensi, membuat kegiatan berhenti sejenak. Tak terkecuali Nara dan Rania yang sedang duduk duduk santai dibawah pohon dekat lapangan basket, ikut memperhatikan. Pria itu tampak bersalaman dengan Bu Sara, wali kelas Nara.

“Siapa sih? Pejabat mana tiba tiba datang kesekolah kita?” Rania bertanya entah pada siapa. Lalu menegak minuman ditangannya.

Nara menggeleng tidak tahu.

“Ayahnya Yesha.”

Rania tersedak. Terbatuk beberapa kali. Sementara Nara menoleh secepat kilat pada seorang teman yang menceletuk begitu. “Kata siapa lo?”

“Bokap gue karyawan diperusahaannya, gue beberapa kali tuh liat ‘Tuan Muda Yesha’ bebas keluar masuk ruangan ‘Pak Direktur’.” Jelasnya seraya menekankan ‘gelar’ Yesha dikantor besar ayahnya.

“Oh gitu?” Nara menyimak antusias.

“Kok gue gak pernah liat ortunya pas rapat orang tua sih?” Tanya Rania.

“Orang SuperKaya biasanya SuperSibuk.”

Nara yang tiba tiba teringat sesuatu lantas berdiri, berlari kecil menuju tempat dimana ayah Yesha berdiri.

“Heh, Ra, lo mau kemana?”

Tidak menggubris pertanyaan Rania, Nara sudah tiba didepan ayah Yesha satu menit kemudian, memasang senyum semanis dan secerah mungkin. “Selamat siang om,” Nara mengulurkan tangan menyalimi Edwin dengan sopan. “Saya Nara.”

“Nara?” Edwin menatapnya lamat lamat, berusaha mengingat seseorang bernama Nara yang pernah ia temui. Tapi sepertinya tidak pernah, mereka tidak pernah bertemu.

“Teman sekelasnya Yesha.” Nara cepat menjelaskan singkat.

Mulut Edwin membentuk huruf O besar, manggut manggut mengerti.

Bu Sara menatap Nara, tersenyum menggoda. “Iya Pak, ini Keinarra teman sekelasnya Yesha, sekaligus ibu dengar katanya Yesha suka sama kamu ya, Ra?”

Eh? Senyum cerah Nara tersumpal. Wajahnya merah padam.

Edwin justru terkekeh melihat ekspresi terkejut Nara. “Betul begitu, Ra?”

“E-eh, i-iya om, hehe.” Nara nyengir malu malu, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Pantas saja, Yesha itu seleranya tinggi, dan saya tahu dia emang gak pernah gagal memilih sesuatu. Dia cantik dan manis begini, wajar kalau Yesha suka sama Nara.” Edwin terkekeh, menoleh pada Bu Sara meminta persetujuan.

Bu Sara mengangguk membenarkan. Terkekeh melihat wajah Nara yang malu malu.

“Saya Edwin, ayahnya Yesha.” Edwin memperkenalkan diri.

Nara mengangguk sopan. “Senang bisa ketemu sama om.”

“Oh iya, Yesha dimana, Ra?” Tanya Bu Sara kemudian.

“Yesha ada di ruang musik, Bu, lagi ngasih pengarahan buat anak anak junior ekskul musik, belum keluar dari istirahat dimulai tadi.” Nara memberitahu.

“Oh ya?” Edwin menatap Nara antusias.

Nara lebih antusias mengangguk. “Iya om, Yesha calon ketua ekskul, dari dulu juga anggota aktif, rajin ngasih bimbingan buat junior juniornya.”

Binar mata Edwin menunjukkan ketertarikan bicara dengan gadis dihadapannya. Pria itu manggut manggut bangga, lalu menoleh pada Bu Sara. “Sambil nunggu kepala sekolahnya datang sepertinya Nara bisa menemani saya ngobrol, Bu. Kayaknya dia lebih tahu banyak tentang Yesha dibanding saya sendiri. Boleh, kan?”

Bu Sara justru menoleh pada Nara, meminta persetujuannya. “Kamu mau, Ra?”

Nara tersenyum lebar, mengangguk. “Dengan senang hati.”

Edwin terkekeh, tangannya bergerak menyuruh Nara berjalan di sisinya. “Bagus, Ra. Sini, temani om ngobrol tentang anak keras kepala itu.”

“Iya om.” Nara terkekeh mendengar ‘julukan’ yang disebutkan Edwin.

Lima menit kemudian, dibawah tatapan para siswa disepanjang lorong, Nara, Bu Sara, Edwin, serta dua bodyguard-nya sampai diruang kepala sekolah, duduk mengelilingi meja yang ada.

Setelah mengobrol pendek, Bu Sara pamit pergi ke ruang guru setelah menerima telepon, ada pekerjaan mendesak. Membuat ruangan itu hanya diisi oleh Nara, Edwin, dan dua orang bodyguard-nya.

“Mungkin kamu sedikit bingung om mau menanyakan ini, Ra, tapi karena om terlalu sibuk berbisnis, sejak Yesha kecil om gak punya banyak waktu buat mengenal dia lebih dalam. Menurut kamu, Yesha itu orang seperti apa?”

Nara bergumam panjang. Wajah Yesha melintas di benaknya, sejujurnya tidak mudah mendeskripsikan Yesha. Setidaknya butuh seharian penuh menceritakan tentangnya. “Menurut Nara, Yesha itu versi terbaik dari semua manusia yang pernah Nara temuin om.”

Edwin menggernyit tidak mengerti. “Kenapa begitu?”

“Bukan karena Nara suka sama Yesha, tapi emang dia baik. Semua orang juga bilang gitu om. Yesha itu ramah, pandai menghargai orang lain, bisa ngambil hati siapapun dengan mudah, dia tahu cara memperlakukan orang lain dengan baik. Dia selalu kelihatan unggul dari yang lain. Dari segala hal.”

Edwin terdiam mendengar tuturan kata yang diutarakan Nara. Tak bisa dipungkiri bahwa dikedua matanya tersirat rasa bangga terhadap putranya. “Syukurlah Yesha tumbuh jadi orang yang baik.”

Nara mengangguk membenarkan, tersenyum simpul.

“Sedekat apa kamu sama Yesha? Maksud om, apa kalian sering ngobrol? Saling cerita satu sama lain?”

Nara mengangguk lagi, menjawab kedua pertanyaan Edwin sekaligus.

“Kalau gitu om bisa minta bantuan kamu?”

Mendengar pertanyaan itu justru membuat senyum Nara memudar. Jika mengingat cerita Yesha malam itu, rasa rasanya tidak mungkin Edwin meminta bantuan biasa saja pada Nara. Ini jelas akan sulit kalau berhubungan dengan cita cita Yesha. “Bukannya Nara mau menolak, om, Nara bisa bantu apa aja, kecuali bujuk Yesha buat belajar bisnis kayak yang om mau, kayaknya Nara nggak bisa.” Ia menggeleng.

“Yesha juga bilang tentang itu?”

“Iya om.”

Edwin diam sesaat. Bukan karena terkejut bahwa Nara tahu tentang cerita itu, tapi karena gadis itu seolah bisa membaca apa yang diinginkan Edwin darinya, juga tujuannya datang ke sekolah. “Seharusnya hari ini jadi hari om memperkenalkan Yesha ke kenalan om dari Australia, Yesha seharusnya menerima tawaran belajar bisnis disana.”

Australia? Nara tertegun lama.

“Kenapa kamu tidak bisa membujuk Yesha? Om siap kasih apa saja yang kamu mau asalkan Yesha berhasil kamu bujuk. Kamu mau apa? Uang? Barang apapun, bahkan beasiswa ke luar negeri kalau kamu mau.”

Terdengar menggiurkan. Tapi Nara menggeleng, ia tidak mau. Nara tidak mungkin membiarkan masa depan Yesha ditukar dengan semua itu. “Makasih tawarannya om, tapi Nara nggak bisa nerima semua itu dengan ngorbanin mimpinya Yesha. Maaf kalau Nara lancang, om tentu lebih tahu Yesha dibanding Nara sendiri, tapi menurut Nara semua anak punya bakat dan mimpinya masing masing om. Basic Yesha bukan di bisnis, dia adalah seniman, calon musisi berbakat. Entah apa yang bikin om nggak setuju sama cita cita Yesha, tapi tolong kasih dia kesempatan buat buktiin kalau emang dia layak dan bisa buat om bangga sama cita citanya. Seandainya Yesha bisnis tapi terpaksa gak akan jamin semua yang dia lakuin berjalan baik. Dan emangnya om tega ngerenggut mimpi yang udah Yesha perjuangkan dari kecil?”

Edwin menatap Nara lamat lamat. Ucapan gadis itu terdengar masuk akal, tapi entahlah. Edwin belum bisa sepenuhnya berusaha mengerti. “Ada sesuatu yang om takutkan kalau Yesha terjun ke dunia seperti yang dia mau, Ra. Om takut—”

“Om Edwin.” Nara menyela, memasang senyum terbaik yang ia punya untuk meyakinkan Edwin, tatapan matanya terlihat begitu percaya. “Yesha bukan orang kayak gitu. Dia kuat, jauh lebih kuat dari yang om dan Nara bayangkan. Jauh lebih hebat. Sebagai ayahnya om harus percaya sama Yesha, dan Nara juga sangat percaya sama Yesha.”

Tidak ada lagi yang bisa Edwin katakan. Entah gadis ini memakai mantra atau apa, tapi yang Edwin rasakan saat menatap matanya adalah keyakinan yang nyata. Membuat pikirannya terlempar pada masa saat pertama kali ia menemukan tatapan penuh yakin itu dari wanita yang dicintainya, bunda dari Yesha.

“Bagaimana kalau Yesha mengecewakan kamu?” Tanya Edwin akhirnya.

“Semua manusia pasti ada salahnya, kan, om? Selalu ada kata maaf buat setiap kesalahan, dan Nara yakin semua orang berhak dapat kesempatan kedua. Termasuk Yesha.”

Kedua sudut bibir Edwin tertarik sempurna membentuk sebuah senyuman bangga. Pria itu manggut manggut mengerti, lantas menepuk pelan bahu Nara. “Kamu gadis yang cerdas, Ra. Pandai mengambil hati om. Nanti akan om pikirkan semua yang kamu bilang.”

Nara tersenyum lebar, menunjukkan deretan gigi putihnya yang rapi. Rasa lega menyeruak dalam rongga dadanya. “Makasih om.”

“Pantas Yesha suka kamu, Ra. Kamu cantik segalanya, bagus kalau cepat cepat jadi pacarnya.”

Eh? Wajah Nara memerah, ia menunduk malu.

...***...

Langkah Nara terhenti saat baru saja keluar dari ruang Kepala Sekolah dan berbelok ke kanan. Tepat lima langkah darinya, Yesha berdiri dengan senyum cerah. Menatap Nara penuh penghargaan. Lelaki itu melangkah mendekat, hingga tiba didepan Nara, senyumnya tak kunjung pudar, justru semakin tercetak jelas.

“Yesha?” Nara ikut tersenyum, sekaligus bingung.

Bukannya menjawab, Yesha justru menarik siku Nara, memeluknya tiba tiba. Nara tidak kaget, hanya saja masih banyak orang yang berlalu lalang disekitar mereka. Bahkan Rania, Laudy, dan Tasya terlihat baru datang dari arah lapangan basket, menuju mereka. Tapi sepertinya Yesha tidak peduli.

“Kenapa, Sha?” Nara mengusap punggungnya, sejenak membiarkan lelaki itu memeluknya.

Yesha mengurai pelukan, menatap Nara hangat, memegang kedua tangannya. “Thanks, Ra. Makasih udah wakilin gue ungkapin semua itu ke ayah. Dari dulu gue gak pernah bisa lakuin itu bener bener.”

Nara tersenyum simpul. Jadi sejak tadi Yesha mendengarkan dari luar sini? Gadis itu mengangguk. “Sama sama.”

“Gue tahu gue gak akan pernah salah pilih orang, Ra. Gue tahu lo orangnya.”

“Orang apa?” Nara terkekeh.

Yesha mendekat, berbisik. “Orang orangan.”

Nara tertawa kecil. “Apaan, sih, Yesha? Masa orang orangan? Di sawah gitu?”

“Di hati aku.”

Wajah Nara memerah, Yesha bisa saja membuatnya salah tingkah.

“Gombal mulu nembak nggak.”

Nara dan Yesha kompak menoleh pada sumber suara. Tepatnya Rania, Laudy, dan Tasya yang berhenti didepan mereka. Yang membuat aneh adalah tatapan Tasya yang tidak lagi menatap Nara dengan benci, bahkan dia yang berkata duluan barusan.

“Lo berdua niat jadian gak, sih?” Tanya Tasya, menyidekapkan tangan didepan dada.

Laudy menyikutnya. “Emang lo ikhlas?”

“Ya nggak sebenernya,” Jawab Tasya malas malasan. “Pengen gue bakar satu sekolah rasanya. Tapi ya mau gimana lagi? Gue juga gak bego bego banget kali ngejar perahu yang udah punya dermaga. Buang buang waktu, masih banyak cowok yang mau jadi pacar gue.”

Yesha dan Nara saling tatap tidak percaya. “Lo beneran udah nggak suka gue lagi?” Tanya Yesha.

“Bukan urusan lo kali,” Tasya menjawab datar. “Udahlah anggap aja gue udah muak sama lo, Sha. Anggap aja kemarin kemarin gue lagi kerasukan iblis, hantu, atau apalah. Ya, Ra? Sorry ya.” Ucapnya sedikit tidak niat, tapi cukup membuat Nara merasakan bahwa dia sudah dimaafkan.

“Makasih, Sya.” Nara tersenyum haru.

Tasya melambaikan tangan setengah tidak peduli. “Cepet jadian deh sebelum gue berubah pikiran. Ya? Bye, gue lapar.” Tasya berlalu lebih dulu dari hadapan Yesha dan Nara.

Rania dan Laudy tersenyum miring, melakukan tos. “Agak susah sebenernya bikin dia sadar. Tapi syukurlah anaknya mau nerima.” Kata Laudy.

“Lo harus bilang makasih ke kita, Ra, gue hampir jambak jambakan sama tuh bocah gara gara lo.” Rania menambahkan, tertawa kecil mengingat kejadian beberapa hari lalu.

Nara mengangguk. “Makasih, Ran, Dy.” Ucapnya tulus, menatap kedua temannya bergantian dengan penuh penghargaan.

“It’s okay, hidup kadang harus ada kejadian kayak gini biar gak flat flat banget, walaupun capek juga liat Tasya ngamuk kayak reog Ponorogo.” Sahut Rania.

“Jadi gue udah dapet restu nih?” Yesha memastikan.

“Sekarang up to you, Sha, gimanain nih anak terserah lo deh.” Rania menyerahkan Nara sepenuhnya. Laudy tertawa mendengar itu.

Nara melotot pada Rania dan Laudy. “Heh!”

Yesha menyeringai pada Nara.

“Apaan, sih, Sha?”

“Yaudah lanjutin aja, kita nyusulin dulu Tasya—oh iya lo berdua belum tahu ya? Ini HOT NEWS yang baru aja kesebar. Ternyata Yang hamilin Sabitha itu temen sepupunya, selamat jadi idola sekolah lagi, Sha, nama lo udah bersih kok, santai.”

Nara dan Yesha kembali saling tatap. Eh? Itu sungguhan?

...***...

1
NurAzizah504
Hai, ceritanya keren
Beatrix
Serius thor, kamu mesti lebih cepat update. Agar aku nggak kehabisan tisu ☹️
Ludmila Zonis
Mengharukan
Devan Wijaya
Hahahaha aku baca dari tadi sampe malam, mana next chapter nya thor?!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!