Mencari nafkah di kota Kabupaten dengan mengandalkan selembar ijazah SMA ternyata tidak semudah dibayangkan. Mumu, seorang pemuda yang datang dari kampung memberanikan diri merantau ke kota. Bukan pekerjaan yang ia dapatkan, tapi hinaan dan caci maki yang ia peroleh. Suka duka Mumu jalani demi sesuap nasi. Hingga sebuah 'kebetulan' yang akhirnya memutarbalikkan nasibnya yang penuh dengan cobaan. Apakah akhirnya Mumu akan membalas atas semua hinaan yang ia terima selama ini atau ia tetap menjadi pemuda yang rendah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13.
Mumu menatap kost barunya yang terletak di gang Habib jalan Rintis.
Sudah tiga hari ia ngekost di sini.
Waktu mau pulang dari rumah Pak Surya Atmaja, Mumu dipaksa untuk menerima hadiah dari mereka.
Mumu tak kuasa menolaknya. Walaupun ia sudah berkali-kali mengatakan ikhlas menolong tapi Pak Surya sekeluarga tetap bersikeras agar ia bersedia menerima sedikit hadiah dari mereka.
Mau tak mau Mumu terpaksa menerimanya juga. Mumu tak tahu apa bentuk hadiah dari mereka. Karena tersembunyi di dalam tas ransel.
Tak mungkin Mumu membuka di hadapan mereka.
Setelah berpamitan, Mumu segera mencari masjid terdekat untuk segera membuka isi tasnya.
Betapa terkejutnya Mumu. Dengan mata terbelalak Mumu melihat isi tas tersebut yang ternyata berisi sebuah handphone android yang masih baru full set. Ketika membuka sebuah amplop berwarna coklat tangan Mumu sampai gemetar. Ternyata isinya uang. Dengan nafas memburu Mumu menghitungnya ternyata ada sepuluh juta rupiah. Uang yang sangat banyak menurut Mumu.
Mumu membekap dadanya yang berdegup sangat kencang.
Ia sangat terharu dengan kebaikan keluarga Pak Surya. Mereka semua sangat baik kepadanya. Pada hal mereka orang kaya sedangkan ia hanya lah seorang tunawisma di mata kebanyakan orang-orang kaya.
Karena sudah punya uang Mumu memutuskan untuk menyewa sebuah kamar kost.
Selain itu juga ia sudah mulai bekerja di sebuah mini market. Sekitar tiga puluh menit jika ia berjalan kaki dari kostnya.
Mumu mengambil shift malam. Kerja mulai jam 17.00-22.00 wib. Sedangkan waktu pagi Mumu mulai mempelajari tentang ilmu beladiri.
Sebenarnya Mumu sudah banyak membaca ilmu bela diri dari berbagai aliran sewaktu ia bekerja di Perpustakaan.
Waktu itu ia hanya sekedar membacanya saja karena ada waktu luang.
Tapi semenjak ia dipaksa berkelahi, Mumu merasakan begitu banyak kekurangan yang ada pada dirinya.
Oleh sebab itu Mumu mulai serius mempelajarinya.
Saat ini Mumu sudah mahir melakukan pukulan, tendangan, elakan, tangkisan dan kuncian. Ditambah lagi dengan pemahamannya tentang titik-titik syaraf kelemahan pada tubuh manusia, setidaknya Mumu sudah mempunyai persiapan jika harus menghadapi orang-orang yang tiba-tiba ingin menyerangnya.
Di dalam kamarnya tergantung sebuah samsak tempat ia melatih pukulan dan tendangannya. Sehingga Mumu akan berlatih di setiap kesempatan.
Walaupun otot-ototnya tidak menonjol sebagaimana binaragawan, tapi berkat metode pernafasannya, tenaga Mumu lebih kuat dari orang kebanyakan. Tinggal bagaimana ia mengolah dan membagi tenaganya dalam setiap serangan.
Mumu sudah selesai mandi dan sarapan. Ia hari ini mau ke pasar. Mau mencari jarum akupuntur perak. Walau bagaimana pun Mumu masih berniat untuk mengobati Pak Surya hingga tuntas.
Bukan karena imbalan yang telah diterimanya tapi karena sifat keluarga mereka yang baik telah menarik hati Mumu.
Satu jam Mumu berjalan kaki hingga akhirnya ia sampai di pasar.
Pasar Selatpanjang setiap hari padat pengunjung. Apa lagi pagi menjelang tengah hari, pengunjungnya bukan hanya orang-orang sekitar Selatpanjang tapi juga orang-orang pulau-pulau yang tersebar di Kabupaten Kepulauan Meranti ini.
Mumu melihat sekelebatan sosok yang dikenalnya.
Mumu pun setengah berlari untuk mendekatinya.
"Marni, apa kabar?"
Marni gadis yang menggunakan kaos biru dan celana jean menoleh ke belakang.
Setelah melihat siapa yang datang, wajahnya langsung cemberut.
"Ada apa?" Ketusnya.
Mumu tak terlalu peduli dengan sikap Marni. Ia hanya ingin menitip uang untuk orang tuanya di kampung. Mumpung ada orang yang dikenalnya di sini.
"Kamu jam berapa pulang? Bisa aku menitip sesuatu untuk orang tuaku?"
"Aku bukan pelayanmu yang bisa membawa barang untuk orang tua mu. Kirim saja sama orang lain." Ucap Marni dengan ketus. "Yuk, Na kita berbelanja!" Marni menarik tangan temannya dan berlalu pergi.
Mumu hanya bisa melongo menyaksikan sikap kasar Marni.
Memang dahulu mereka pernah dijodohkan oleh orang tua mereka. Tapi semenjak ayah Marni menjadi Kepala Desa, hubungan mereka sudah diputuskan sepihak oleh orang tua Marni.
Tapi Mumu tak terlalu ambil hati. Cuma ia merasa kasihan saja dengan orang tuanya menjadi malu dengan para tetangga akibat pemutusan hubungan tersebut.
Peristiwa itu sudah agak lama jadi Mumu tak terlalu mengingatnya lagi.
Cuma yang tak habis fikir, ternyata sikap Marni pun menjadi judes terhadapnya. Pada hal dahulu Marni sangat baik kepada Mumu.
Mumu melanjutkan langkahnya menuju pelabuhan. Mana tahu ada orang kampungnya yang kebetulan berbelanja ke Selatpanjang.
Motor tambang kosong. Mungkin semuanya sudah pergi ke pasar untuk berbelanja.
Mumu masuk ke toko obat tradisional milik orang Cina.
'Toko Maju' tertulis di papan plang depan toko.
"Pek, ada jual jarum akupuntur?"
Pria tua yang menjaga toko menatap Mumu.
"Kamu orang mau buat apa sama itu jarum akupuntur?" Tanya pria tua itu dengan gaya bahasanya tersendiri.
"Ya, tentu saja untuk pengobatan, Pek." Ujar Mumu sambil tersenyum. Mumu sudah tidak terkejut lagi dengan tanggapan penjaga toko setiap kali ia bertanya tentang jarum akupuntur.
"Kalau kamu punya bapak mau beli untuk pengobatan seharusnya kamu punya bapak harus datang sendiri. Mana boleh disuruh anak kecil." Pria tua itu salah sangka.
Dengan tersenyum kecil Mumu menjelaskan, "Saya sendiri yang ingin menggunakan untuk tujuan pengobatan, Pek."
"Mana boleh begitu?" Mata pria tua itu melotot, "Kamu anak kecil mana boleh main-main membohongi orang yang lebih tua. Kamu silahkan pergi! Jangan ganggu orang punya usaha. Nanti toko tak dapat hong."
"Sebenarnya jarum tersebut ada atau tidak, Pek? Jangan-jangan toko ini tak punya jarum tersebut." Pancing Mumu.
"Kamu orang boleh tanya sama orang-orang tua di sini, toko saya memang kecil tap semua itu barang pasti ada." Pria tua itu berdiri sambil menepuk dada membanggakan tokonya.
"Termasuk jarum akupuntur perak?"
"Kenapa kamu orang masih tanya ha? Jangan ganggu saya lagi."
"Berapa harganya, Pek?" Mumu tak menggubris akan sikap pria cina yang tak kooperatif itu.
"Kamu anak kecil tak boleh beli. Saya tak jual itu punya barang."
"Tolong jual jarum akupuntur perak sama saya, Pek. Saya ingin menolong orang. Jadi berapa harganya" Ujar Mumu serius.
Pria tua itu kembali menatap Mumu dari atas sampai ke bawah.
"Jadi kamu orang memang benar-benar bisa mengobati penyakit?" Tanyanya setengah percaya.
"Kalau tak bisa buat apa saya beli barang itu, Pek?"
Pria tua itu masih menatap Mumu sambil mengelus janggutnya. Dia tampak berfikir.
"Saya punya sakit di sini." Pria tua itu menunjuk ke arah dadanya sebelah kanan.
"Kalau kamu orang bisa menyebut apa nama penyakit dan bisa mengobatinya, maka itu saya punya jarum akupuntur saya hadiahkan kepada kamu."