NovelToon NovelToon
Kemarau Menggigil

Kemarau Menggigil

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Berbaikan / Mengubah Takdir / Bullying dan Balas Dendam / Slice of Life
Popularitas:15.8k
Nilai: 5
Nama Author: Chira Amaive

Ayah, aku butuh selimut untuk tubuhku yang penuh keringat. Kipas angin tua milik bunda hanya mengirimkan flu rindu. Sebab sisa kehangatan karena pelukan raga gemuknya masih terasa. Tak termakan waktu. Aku tak menyalahkan siapa pun. Termasuk kau yang tidak dapat menampakkan secuil kasih sayang untukku. Setidaknya, aku hanya ingin melepuhkan rasa sakit. Di bawah terik. Menjelma gurun tanpa rintik gerimis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 17

Aku ingin pergi, tapi aku juga ingin tetap di sini. Aku tidak ingin bertemu denganmu lagi, tapi aku ingin tetap bersamamu selamanya. Ayah.

...----------------...

Sosok pria tua muncul di depan pintu saat aku membukakannya. Wajah keriputnya menatap datar. Pada genggamannya, terdapat minyak urut.

"Nyari ayah?" tanyaku.

"Iya. Katanya, punggungnya sangat sakit. Di mana dia?"

Aku mempersilakan pria itu masuk dan langsung menuju kamar ayah yang orangnya sedang berbaring sambil memijit-mijit sendiri. Ekspresinya langsung berubah setelah tadi terlihat menahan sakit. Pintu kamarnya tidak ditutup.

Aku langsung ke luar begitu mereka berbicara. Namun, dadi celah pintu aku bisa menyaksikan ekspresi kesakitan dari ayah. Mulai dari telapak kaki, betis, lutut, lengan, pundak bahkan punggung. Semua dipijit oleh pria tua yang biasa kami panggil mbah Harun.

Hari ini, ayah pulang lebih malam. Kerjaannya lebih banyak dibanding biasanya. Sebab tetangga sebelah tengah membangun bangunan baru di belakang rumahnya untuk dijadikan gudang. Ayah turut serta menjadi tukang di sana. Selepas dari sawah, ia langsung membantu pembangunan tersebut. Sudah sejak berhari-hari. Bahkan, ia yang paling lama di sana dan paling awal datang. Mengingat letak rumahnya yang paling dekat dibanding tukang yang lain. Ayah memang seperti itu sejak dulu. Semua dikerjakan. Walaupun tak jarang ia mendapatkan perlakuan tidak mengenakan jika melakukan kesalahan. Pernah juga dituduh melakukan hal yang tidak-tidak, seperti sengaja mencelakakan orang lain yang pada saat itu terkena genteng yang dijatuhkan ayah, juga dituduh mencuri uang bahan pembangunan karena jumlah barang yang tidak sesuai dengan uang yang diterima. Padahal, ayah tidak tahu-menahu soal kurangnya uang tersebut. Namun, tak ada bukti. Baik bukti untuk menyatakan ayah tidak bersalah, atau bukti yang menyatakan ayah bersalah. Terjadi pertengkaran antarfisik pada saat itu. Ayah mengalami luka dari benda tajam yang mengenai pelipisnya yang sampai sekarang bekasnya tidak hilang.

Keluarga kami kerap dicap kriminal. Bahkan kami pernah seperti diasingkan. Omongan dari mulut ke mulut yang menyatakan kami berbahaya. Sehingga tak ada yang berani hanya untuk sekedar lewat di depan rumah kami. Butuh waktu bertahun-tahun untuk membuat mereka terbiasa dan melupakan tragedi itu. Walaupun sampai sekarang kami memang tidak sedekat orang lain dengan tetangganya. Namun, ini sudah jauh lebih baik dibandingkan dulu. Ayah banyak melalui masa-masa berat sepeninggal ibu. Seingatku, sejak itulah ia berubah menjadi seperti sekarang ini. Dulu sekali, ketika usianya menginjak tujuh tahun. Didikan cueknya turut membuatku menjelma sosok dengan watak keras dan gampang marah.

Terdengar suara pintu diketuk lagi. Saat kubuka, kudapati seorang wanita muda yang menggandeng anak laki-laki, mungkin berusia sekitar lima tahun. Aku tidak mengenalnya. Dia pasti tidak tidak di sekitar sini. Walaupun bajunya sederhana, mirip dengan warga-warga sekitar pemukiman ini.

"Permisi, Dek. Apa benar ini rumahnya pak Muara?" tanyanya.

"Iya, benar." Aku menjawab.

"Bolehkah panggilkan untuk saya, sebentar?" pintanya.

...****************...

"Kok bengong mulu?" tanya Rasen.

Kelasku dan kelas Rasen sama-sama jam kosong. Ia berkunjung ke kelasku setelah mengetahui kelasku juga demikian. Flo sempat mengadu pada Rasen perihal dirinya yang aku jambak dan sobek seragamnya hingga membuat guru BK memanggil ayah. Rasen menjawab dengan tenang dan memintaku minta maaf. Flo yang tidak puas dengan tanggapan Rasen hanya berjalan malas menuju bangkunya kembali. Tentu saja, aku masih sering ribut dengan Flo. Namun tetap saja, ia tidak berani melawanku dengan fisik. Ia hanya berani lewat mulut pedasnya.

"Dain, kamu mau coklat lumer lagi, nggak?" tanya Rasen.

"Nggak," jawabku malas dengan pandangan mengarah ke ponselku yang sudah retak-retak.

Sudah sejak SMP aku menggunakan HP ini. Dulu, ayah membelikanku bekas. Karena kebutuhan sekolah yang apa-apa serba teknologi. Hingga sekarang, aku belum pernah mengganti HP pertamaku ini walaupun sudah berkali-kali keluar-masuk konter. Tentu saja sangat berbeda dengan Rasen yang baru lecet sedikit sudah bisa membeli yang baru. Apa lagi yang tersisa untukku? Aku tidak beruntung dalam segala hal.

Hubunganku dan Rasen kembali membaik setelah melalui berbagai rintangan beberapa waktu lalu. Aku tidak lagi menghindar dengan kabur lewat jendela. Bukan apa-apa, sebenarnya aku sudah sangat rindu ingin bercakap-cakap dengannya lagi.

Nada bergabung dengan mejaku dan Rasen. Masing-masing pada sisi yang berbeda. Menyisakan satu sisi kosong untuk menjadi tempat lewat orang-orang.

Tidak biasanya Nada ikut nimbrung bersama kami.

"Emak Fatin meninggal."

"HAH?" Aku dan Rasen berkata serempak.

Apa lagi ini, Tuhan? Aku bahkan belum sempat menyatakan diriku ingin menjadikannya tempat untuk merebahkan sendu seperti ibuku sendiri.

Aku sontak memukul meja yang membuat seluruh siswa-siswi kelasku menoleh. Pedih sekali rasanya hatiku. Baru saja aku menemukan seseorang yang layak kujadikan tempat bersandar. Seseorang yang hampir nekat aku panggil ibu. Kukira, setelah kuncup adalah mekar. Ternyata layu. Baru saja aku berniat ingin mengajak Rasen ke sana. Agar ia melihat, bagaimana jika aku dan Rasen berada di tempat itu bersamaan. Juga agar ia melihat, bahwa aku dan Rasen sudah baik-baik saja.

"SIAL! MATI SAJA SEMUA!" jeritku lepas kendali sambil sekali lagi memukul meja dengan lebih keras dibanding yang pertama tadi. "ARGHHH!"

Rasen segera berdiri dan pindah ke belakangku dan tengah duduk. Ia menepuk-nepuk pundakku. Padahal, aku belum pernah memberi tahu bahwa aku pernah ke warung itu. Hanya Nada yang pernah melihatku di sana ketika ia juga sedang menyantap makanan di sana.

Sekuat tenaga aku mencoba menadah air mata. Tetap saja gagal. Tumpah ruah sudah. Melimpah.

"Nggak jelas banget jadi orang. Tiba-tiba nangis gitu," celetuk Flo di pojok kanan depan sana.

Rendra, si ketua kelas itu datang. Rasen menjelaskan apa yang terjadi. Ia mengangguk paham karena tenyata salah satu orang yang pernah curhat di emak Fatin. Kabar itu langsung diketahui teman-teman kelasku dan mengetahui bahwa itulah penyebabku menangis. Namun tidak semuanya yang mengerti. Sebab hanya segelintir orang dari kelasku yang pernah datang ke warung tersebut.

"Sejak kapan lo bisa nangisin orang kayak gitu? Biasanya juga ngelawan semua orang. Caper amat mentang-mentang ada Rasen," ucap Flo dan langsung didatangi Rendra yang langsung memintanya.

Wajah kusut Flo terlihat. Wajahnya mulai terekam untuk mengisi daya amarahku. Akhirnya, aku merangsek maju dan hendak menyerang. Rasen segera menahanku. Sebagian besar tak peduli. Sudah muak dengan pertengkaran membosankan antara dua orang yang sama. Hampir setiap hari. Entah bagaimana, aku dan dia bisa berada di kelas yang sama karena jurusan yang sama.

"Maju sini, lo. Bisa ngomong doang tapi nggak bisa melawan. Maju sini, lawan gue! Setiap detik lo minta juga bakal gue ladenin. Sini!" seruku di balik tubuh Rasen yang menghadang.

"Cukup ya, Dain. Sabar saja. Nanti dia juga capek sendiri," ujar Rasen lembut.

"Yang harusnya capek itu lo, Rasen. Setiap hari ngeladenin orang nggak berguna kayak dia. Lo sama dia ibarat langit dan bumi. Lo disanjung-sanjung, sedangkan dia pantes diinjek-injek tahu, nggak!" ketus Flo.

"Cewek brengsek!" Aku mendorong Rasen hingga terjatuh dan merangsek maju ke tempat Flo yang dilindungi Rendra. Namun, ada celah yang membuatku bisa meraih lengan Flo dan memutarnya. Membuat perempuan itu menjerit kencang sekali.

Jeritan yang membuatku puas bisa memberinya pelajaran. Tapi, di sisi lain. Aku tak merasakan kedatangan Rasen lagi ke dekatku. Saat aku menoleh ke belakang, ternyata ada beberapa siswa yang berkerumun.

Ada dua kerumunan. Satu untuk Flo yang patah tulang. Satu lagi untuk Rasen yang kepalanya terbentur sudut meja yang tajam hingga berdarah dan tak sadarkan diri.

1
Selfi Azna
pada kemana yang lain
Selfi Azna
MasyaAllah
_capt.sonyn°°
kak ini beneran tamat ??? lanjut dong kakkkk novelnya bagus bangetttttt
Selfi Azna
mungkin bapaknya cerai sama ibunya,, truss jd pelampiasan
Chira Amaive: Bukan cerai, tp meninggal ibunya 😭
total 1 replies
melting_harmony
Luar biasa
Zackee syah
bagus banget kak novel nyaaa...
Chira Amaive: Thank youuuu
total 1 replies
Zackee syah
lanjut kak
🎀𝓘𝓬𝓱𝓲𝓷𝓸𝓼𝓮🎀
barter, aku like punya kamu, kamu like punya aku
Chira Amaive: okeyyyyy
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!