Kemarau Menggigil
Aku ingin pelukanmu, Ayah. Sekalipun itu menyesakkan karena kau terpaksa.
...----------------...
Apa yang lebih indah dari senja? Aku tidak ragu jika mengatakan langit biru sebagai jawabannya. Banyak pecinta warna biru lebih memilih senja daripada cerahnya langit biru di siang hari. Barangkali karena sinar mentari yang sedang terik-teriknya membakar kulit. Bagaimana denganku? Bukan seorang pecinta warna biru, namun lebih menyukai suasana terik ketika langit biru cerah. Membiarkan terik menghasilkan peluh pada raga. Juga membiarkan kulitku menggelap. Akulah, si gadis paling sawo matang di kelas.
Sudah satu bulan musim kemarau melanda desa kecilku yang asri. Setiap saat aku mendengar suara keluhan dari orang-orang sekitar. Entah di jalan, di tetangga, di warung, di mana pun. Karena memang sedang panas-panasnya. Sebuah toko yang menjual kipas angin seketika laku keras.
Tak ada suara ramah yang akan menyambut kedatanganku. Rumah. Sebuah nama yang seharusnya menyimpan banyak kehangatan, namun nyatanya penuh akan gigil rasa sayang. Di sinilah aku. Inilah aku, yang selalu mengharapkan kehangatan. Sekalipun kala kemarau panjang.
Rumah kecil dengan jumlah penghuni yang juga kecil. Sekaligus keharmonisan yang sangat kecil. Ah, tidak. Bahkan tidak tersisa keharmonisan apa pun di sini. Rumah. Tidak lebih dari sekedar tempat untuk berlindung dari hujan dan terik, juga tempat beradu mulut setiap hari.
Perutku lapar. Namun, aku tidak akan bisa makan jika tidak masak terlebih dahulu. Sedangkan tubuhku masih penat sekali sehabis berjalan di tengah terik tadi. Tak apa, rasa lelah menang. Rasa lapar masih dapat ditahan.
"DAINTY!"
Salah satu contoh dari yang aku sebutkan tadi muncul seketika. Wajah pria paruh baya datang dengan wajah galaknya. Di bingkai pintu kamarku. Seolah memenuhi kamar tidurku. Seketika itu pula aku langsung terbangun dari rebahan nyaman itu.
"Iya," jawabku dengan degup jantung yang kencang.
Tentu saja aku tahu apa penyebab kemurkaannya.
Tanpa berkata-kata lagi, pria itu langsung masuk ke kamarku dan seketika menyeretku keluar dengan menarik lengan kurusku.
Aku meringis menahan sakit. Lebam bekas dibanting kemarin saja belum sembuh. Sekarang bagian itu sudah kena lantai lagi.
PLAKKK!
Tamparan keras mendarat setelah ia berhenti menyeretku begitu sampai di ruang tengah.
Tak sampai di sana. Pria itu langsung berlari ke dapur dan kembali dalam sekejap dengan membawa rotan. Senjata andalannya. Dulu, ketika kami masih tinggal bersama ibu, ibu bercerita bahwa rotan itu sudah ada sejak nenek baru menikah. Untuk apa benda itu dipertahankan turun temurun jika hanya untuk menyakiti? Bahkan untuk kesalahan yang belum jelas.
"Udah, Ayah! Udah! Sakit!" pintaku sambil menangis karena sudah tidak tahan dengan rasa sakit.
Namun, mana mau ia mendengarkan. Pria itu benar-benar keras kepala dan tidak segan-segan menghukumku dengan cara apa pun.
"Berani kamu memintaku berhenti, maka semakin keras rotan itu melukai tubuhmu. Dasar anak tidak berguna. Sudah nakal, merepotkan, jelek, hitam, dekil pula!"
Alangkah remuknya hatiku mendengar perkataan ayah yang seperti itu. Sudah seringkali aku mendengarnya. Namun tak berkurang sedikit pun rasa sakitnya. Sampai sekarang, aku tak pernah terbiasa dengan perlakuan dan perkataannya yang seperti itu. Bagaimana tidak, dulu dia adalah ayah paling ramah dan lemah lembut yang pernah aku kenal. Sewaktu keluarga kami belum hancur, ia selalu menjadi nama yang aku banggakan untuk diceritakan kepada teman-temanku. Sekarang, entah apa yang tersisa. Selain raganya saja.
Ayah mengambil sesuatu dari atas meja. Ternyata sepiring nasi goreng yang langsung dibanting ke lantai hingga isinya tumpah semua. Menyisakan kurang dari sesuap nasi di atasnya.
Suara piring pecah yang membuatku sangat terkejut. Namun jauh lebih terkejut dengan adanya sepiring nasi goreng itu. Sejak kapan ada di sana? Apakah itu masakan ayah yang dibuat untukku?
Di sela rasa tangis, aku terus memikirkan banyak hal. Aku, si gadis SMA yang hidup dengan keluarga hancur. Senantiasa merindukan kehangatan, di tengah-tengah musim kemarau panjang.
"Udah, Ayah!"
Entah pukulan rotan ke berapa, terus menghantam tubuh mungilku. Namun ayah tak juga mengurangi kekuatannya. Selalu terbayang dalam benakku, bahwa entah di suatu saat nanti apakah hidupku juga akan berakhir di tangan pria yang seharusnya menjadi cinta pertamaku ini? Sialnya begitu perih terbayang.
"Berani-beraninya kamu menangis seperti itu di hadapanku setelah kau membuat anak orang masuk rumah sakit? Mana tanganmu! Aku tidak akan berhenti sampai kau berarah banyak sepertinya! Dasar anak tak tahu malu."
...****************...
Bulan sabit menggantung. Bertemankan bintang-bintang yang melimpah ruah. Banyak sekali. Juga indah sekali. Sesaat, tatapan ke arah aksesoris langit teralih karena suara lelaki itu.
Ia duduk di dekatku. Selalu membuatku minder. Sebab kami sudah seperti kopi susu, atau papan catur, atau merpati dan gagak. Ya, hitam-putih. Tapi, sebenarnya ia adalah pacarku.
Aku langsung berdiri begitu ia duduk di sampingku. Bukan karena tidak suka, justru aku senang sekali karena sebenarnya dia adalah orang yang peduli, terhadapku sebagai gadis yang kekurangan kasih sayang. Namun, aku hanya gengsi untuk menunjukkan bahwa aku memang sedang membutuhkannya.
"Kamu dihukum lagi sama ayah kamu?" tanya lelaki bernama Rasen itu.
"Iya, si hitam dekil ini semakin jelek dengan luka-luka yang bertambah banyak setiap harinya." Aku menjawab ketus.
"Tidak. Kamu selalu terlihat cantik, Dain. Sungguh! "Rasen berusaha menyakinkan.
Aku tak sengaja bertemu dengannya di depan gang rumahku. Lalu ia membawaku ke tempat ini. Taman kota yang dihiasi lampur berwarna kekuningan dengan bentuk berlian. Indah. Sebab di atasnya juga dihiasi dengan binteng-gemintang.
"Kamu tidak pernah memarahiku Kamu selalu sabar menghadapi sikapku yang kasar seperti ini. Kenapa? Kenapa kamu tidak pernah membentakku sebagaimana ayah melakukannya padaku?" tanyaku penuh rasa sebal.
Rasen menyodorkan sebuah bonek kelinci berwarna putih. Untuk menghiburku. Bulunya lembut dan wajahnya lucu. Ingin sekali aku memeluknya dengan senyuman yang lebar. Tapi aku tidak bisa melakukannya di sini. Rasa gengsiku terlalu tinggi.
"Dia akan menghiburmu setiap kali kamu bersedih di rumahmu. Sedangkan aku akan menghiburmu, setiap kita di sekolah setiap harinya. Saat-saat bersamamu selalu menyenangkan. Aku ingin bertemu denganmu selalu. Setiap hari. Sebab aku ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja, Dain." Rasen bertutur.
"Baiklah. Suatu saat, apakah kamu bisa meyakinkanku bahwa aku bisa merasakan pelukan ayah lagi setelah sekian lama? Bahkan lama sekali aku tidak merasakannya. Ah, ini memalukan. Walaupun di balik itu semua aku tetaplah kesal kepada ayah. Ia tak pernah bersikap baik kepadaku."
"Tentu saja. Ayahmu akan memelukmu dengan erat. Lebih dari siapa pun. Erat dan tidak menyesakkan sebab ia tulus melakukannya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments