"Tak harus ada alasan untuk berselingkuh!"
Rumah tangga yang tenang tanpa badai, ternyata menyembunyikan satu pengkhianatan. Suami yang sempurna belum tentu setia dan tidak ada perempuan yang rela di duakan, apalagi itu di lakukan oleh lelaki yang di cintainya.
Anin membalas perselingkuhan suami dan sahabatnya dengan manis sampai keduanya bertekuk lutut dalam derita dan penyesalan. Istri sah, tak harus merendahkan dirinya dengan mengamuk dan menangis untuk sebuah ketidak setiaan.
Anin hanya membuktikan siapa yang memanggil Topan dialah yang harus menuai badai.
Seperti apa kisahnya, ikuti cerita ini ya☺️🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Suesant SW, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16. Mengusir Secara Halus
"Kadang kita harus mencoba, sesuatu yang pahit dan tawar supaya kita tahu manis itu seperti apa..." Suara Anin terdengar dingin bahkan raut mukanya tanpa ekspresi.
"Apa maksudmu, sayang?" Galih mengerutkan kening, dia terlihat tak nyaman dengan sikap Anin yang tak biasa.
"Oh, hanya mengatakan, jika selama ini kita terbiasa dengan yang manis-manis, setelahnya bisa saja pahit. Aku sudah merasakannya. Sarapan kali ini, mari kita coba kopi pahit dan roti tawar. Aku ingin kalian mencobanya juga." Anin mendorong cangkir-cangkir kopi ke depan kedua orang yang kini duduk, satunya di seberang meja dan satu di sampingnya.
Keduanya saling pandang sejenak, lalu menatap Anin dengan tegang.
"Jangan menatapku begitu..." Anin terkekeh. Lalu, menggigit sepotong roti sambil menaikkan alisnya.
"Kebetulan semua bahan makanan di dalam kulkas sedang habis. Hanya ini yang ku punya untuk di sajikan. Maklum, aku belum belanja mingguan." Anin tertawa lepas, tawanya terdengar aneh di telinga Ratna.
"Ayo, di makan. Ini adalah hari ulang tahun Ratna, lho. Mungkin Ratna mau terburu-buru pulang dan mas Galih juga ingin segera berangkat. Setidaknya kita bisa sarapan ini dulu." Anin menyeruput kopinya dengan tanpa ekspresi.
Sesaat Galih tertegun, sangat jarang Anin memanggilnya dengan nama. Dia selalu memanggil Galih dengan Ayang atau sayang. Tapi, Anin terlihat tak peka dengan itu.
Sepanjang malam Ratna nyaris tak bisa tidur hanya memikirkan bagaimana cara dia memberikan suaminya itu balasan.
Bagaimana tidak, satu tahun setengah mereka bermain gila di belakangnya dan yang paling menyakiti hatinya hingga ke relung terdalam, bahkan mereka pernah bercinta di atas tempat tidurnya! Tempat terprivat dalam kehidupan rumah tangga mereka, di mana di situlah semua kegiatan sakral sepasang suami istri terjadi.
Tak lama, Gita turun dari atas dengan bik Irah, dia sudah siap dengan pakaian rapih dan rambut yang di kuncir berpita.
"Papa..." Dia langsung menghambur ke pelukan sang ayah.
"Wah, sayangku, puteri kecilku...kamu terlihat cantik pagi ini." Sambut Galih, wajahnya seketika sumringah.
"Papa gak bangunin Gigi kalau papa pulang?" Rengeknya manja.
"Hallo sayang, apa kabar?" Ratna melambaikan tangannya, mencairkan suasana yang semula tegang.
"Gigi sayang, kamu sudah siap? mama akan mengantarkanmu ke sekolah sekarang." Anin menatap sesaat kepada Ratna, dia begitu muak dengan sikap perempuan ini, seperti ular berkepala banyak.
Anin berdiri, kemudian beranjak lalu meraih lengan Gita yang masih berada di dalam pelukan sang suami.
"Pamit sama papa..."
Gita segera memeluk leher Galih lalu menciuminya, mencium punggung tangan sang papa dengan sikap manja. Bik Irah datang tergopoh-gopoh membawa kotak bekal gadis kecil itu.
"Cayang papa..." Dia memeluk papanya, sarat rindu, di bawah tatapan Ratna yang tak berkedip menatap dua ayah dan anak itu.
Anin tak habis fikir terbuat dari apa perasaan sahabatnya ini hingga tega merampas seorang ayah dari anaknya, bukankah dia tahu sendiri cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya?
"Aku mengantar Gita dulu..." Anin masih berdiri menunggu.
"Sayang, ini kan hari minggu?"
"Oh, Gita ada acara di sekolahnya, rasanya aku sudah mengatakan padamu minggu lalu, ada pentas seni bulan bahasa di sekolahnya. Mungkin kamu terlalu sibuk dengan pekerjaanmu hingga lupa semuanya. Memang ini tak penting, wajar saja kamu lupa." Kalimat itu di ucapkan dengan sikap manis tetapi bermakna begitu sinis.
"Baiklah, aku pergi dulu. Silahkan kalian sarapan, ku harap tak ada sesuatupun yang menganggu. Dan..." Anin menatap sesaat pada Ratna.
"Kurasa kamu memang harus pulang cepat pagi ini, Rat. Pakaianmu itu tidak cocok untukmu. Jangan lupa mengembalikannya, itu daster bi Irah."
Wajah Ratna seketika bersemu merah mendengar ucapan Anin.
Dia terpana, baru kali ini Anin bersikap aneh bahkan tega meminjamkan baju pembantu padanya.
Anin berbalik lalu melangkah sambil menggandeng tangan Gita tanpa berbicara lagi.
"Oh, iya..." Anin menghentikan langkahnya tiba-tiba.
"Minggu depan, ulang tahun pernikahan kita sayang, bersamaan dengan ulang tahun ibumu. Aku berencana mengundang semua keluargamu dari Surabaya. Dan..." Anin terdiam sejenak seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Ratna jangan lupa datang, ya. Kamu tamu khusus kami. Kamu tahu kan, aku cuma punya kamu di dunia ini."
Sesungging senyum terlihat di bibir Anin. Tersirat begitu terpaksa.
Ratna dan Galih saling pandang lalu menatap punggung Anin yang berjalan menjauh tanpa menoleh itu.
Sesaat sepi mencekam keduanya terlihat tegang. Duduk mematung menghadap cangkir kopi pahit masing-masing.
"Apa...apa dia tahu sesuatu?" Suara Ratna bergetar dalam volume yang rendah.
Yang di tanya tak menjawab, wajahnya terlihat tegang. Matanya lurus menatap ke arah ruang tamu kemana istri dan anaknya itu menghilang.
"Jangan-jangan Anin..."
"Aku tak yakin--" Akhirnya Galih menyahut seraya menggeleng, menanggapi kilat kecemasan di wajah Ratna.
"Tapi, sikap Anin aneh sekali."
"Mungkin dia sedang kesal terhadap sesuatu atau mungkin efek dia sedang datang bulan." Tukas Galih, matanya segera beralih pada bik Irah yang muncul dari dapur dengan membawa baki berisi beberapa serbet bersih yang terlipat rapi.
"Bik, ada makanan apa di dapur? ibu tidak mbuat sarapan pagi ini?"
"Tidak, pak. Isi kulkas sedang kosong. Ibu belanja hari ini setelah menjemput Neng Gita..."
"Bagaimana mungkin bisa habis semua, tadi malam dia memasak banyak? Masa tak ada apapun yang bisa di masak?" Cecar Galih dengan gusar pada pembantu setengah baya ini.
"Semua...semua bahan makanan sisa kemarin di buang ibu..." Jawab Bik Irah dengan pias takut.
"Dibuang? Di buang bagaimana???" Sekarang mata Galih sebesar kelereng. Heran dan kesal bercampur tak jelas.
"Di buang ke bak sampah, pak. Kata ibu...kata ibu..." Bik Irah menunduk ragu.
"Kata ibu apa, hah?"
"Kata ibu, bahan yang tak berkualitas harus di buang ke tempat sampah, semua barang sisa jangan di biasakan untuk dipungut. Sampah tempatnya di tempat sampah."
"Heeeh, apa maksudmu?" Galih menggertak, sementara Ratna terpaku berusaha mencerna makaud dari ucapan Bik Irah.
"Maaf pak, maaf...ibu cuma bilang begitu sambil membuang semua isi kulkas tadi pagi. Selebihnya saya tidak ngerti..." Bik Irah membungkuk dengan takut, jarang sekali majikannya ini terlihat begitu marah.
"Sudah, mas...sudah..." Ratna memberikan isyarat supaya Galih menyudahi perdebatan Galih dengan pembantunya itu.
"Astaga, kenapa pagi ini jadi aneh!"
Galih mengumpat kesal.
"Apanya yang aneh?" Anin tiba-tiba berdiri di ambang pintu penghubung dengan ruang tamu.
"Yang lebih aneh kalian masih di depan meja makan tanpa nenyentuh apapun yang tersaji. Maaf, aku berbalik, ketinggalan ponselku di kamar atas. Jika kamu tak keberatan, kamu boleh pulang Rat kalau tak mau hanya di temani bik Irah atau jika kamu ingin kamu bisa tinggal sendiri di sini sampai kami pulang. Aku berencana membawa suamiku ke sekolah Gigi, baru ku ingat kepala sekolahnya Gita ingin bertemu dengannya."
Jelas itu nada mengusir yang membuat wajah Ratna seperti kepiting rebus.
andai d alam nyata, tak bejek2 tu suami .bikin dendam aja
sukses dalam berkarya.
ku suport dngan kirim setangkai mawar.