Estsaffa ahiara, gadis yatim piatu yang diadopsi oleh kedua orangtua angkatnya. Terpaksa menikah untuk membayar hutang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riendiany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 Terlambat Pulang
Akio masih terpaku pada bayangan gadis itu, yang pergi dengan terburu-buru hingga rambutnya berantakan. Bahkan ia masih memakai kaos Akio yang kebesaran dan memakai sandal yang biasa dipakai di dalam ruangan.
Senyum lelaki itu mengembang tipis, mendapati sepatu Ara yang masih bertengger di rak. 'Sungguh kau mirip cinderella Ra, meninggalkan sepatumu agar kita bertemu lagi' diambilnya sepatu itu dan segera dimasukkannya ke dalam paper bag.
\=\=\=\=\=\=\=\=
Selepas keluar dari gerbang kokoh rumah Akio, mata gadis itu tertumbuk pada sebuah mobil yang tidak asing di seberang jalan. Didapatinya sang pengemudi, Ardi tengah mondar-mandir disampingnya dengan sesekali tampak sibuk mengotak-atik hp dan kemudian pandangan mereka beradu saat bodyguard Adrian itu melayangkan pandangannya ke arah gerbang dari rumah megah di seberang.
Ardi menghentakkan kakinya kesal, sudah hampir setengah jam lebih dia menghubungi gadis itu dan tidak dijawab sama sekali. Dan sekarang ketika nyawanya berada di ujung tanduk, gadis itu baru muncul dengan penampilan yang berantakan pula.
"Huffff...hufffff" Ara terengah-engah mengatur napasnya begitu ia berhasil sampai ke seberang jalan. Padahal ia menggunakan kecepatan maksimalnya untuk berlari hingga sampai disana, namun tatapan yang menajam hingga seringai yang ia dapati dari bodyguard Adrian itu melunturkan nyalinya.
"Kemana saja kau!?" hardik Ardi yang sudah tidak bisa menahan amarahnya. Bagaimana mungkin gadis ini lupa akan statusnya dan bermain tidak mengingat waktu hingga menyulitkannya nanti didepan majikannya.
"Aku...maafkan aku Ar, aku_"
"Ah sudah..sudah, cepat masuk dan katakan saja argumentasimu itu didepan Tuan, aku tak membutuhkannya!"
Segera Ara masuk ke dalam mobil, diletakkannya tas serta kantong plastik disebelahnya, kemudian menutup pintu dengan sedikit keras.
Bugh...
Ardi yang sudah siap di depan kemudi pun tanpa mengucap apa-apa lagi, segera melajukan mobilnya membelah jalanan yang sedikit lengang oleh kemacetan.
"Ar.." berusaha memecah keheningan yang terjadi, gadis itu melirik lelaki yang fokus memegang kemudi disampingnya dengan perasaan canggung dan rasa bersalah.
"Maafkan aku" lanjutnya. "Sungguh, aku..entahlah waktu berlalu cepat sekali, aku..aku_" Ara merasa bingung menjelaskan dirinya, ia tahu telah menempatkan bukan hanya dirinya pada posisi yang sulit namun juga Ardi. Entah hukuman apa yang akan Adrian berikan untuknya ia sudah pasrah, namun Ardi, dia merasa bersalah telah membawanya ikut serta.
Ditatapinya lelaki yang masih setia mengunci bibirnya itu. Entahlah rasa bersalahnya menelusup berkali-kali lipat di dadanya. "Katakan sesuatu Ar, aku tahu aku salah, dan aku menyeretmu.." Ara tertunduk dalam.
"Tak usah perduli padaku, siapkan saja mentalmu menghadapi Tuan nanti. Tuan bukan orang yang mudah saat kau tidak menghargai kepercayaannya"
"Dan buang saja ponselmu itu, bagaimana mungkin namanya 'handphone' tapi tidak kau pegang sama sekali, aku menghubungimu mulai dari setengah jam yang lalu. Kau tahu! Tuan bahkan tidak berhenti menghubungiku, dan aku mengacuhkan panggilannya karena aku tidak tahu harus beralasan apa" Ardi memukul kemudinya, ia geram dengan tingkah Ara yang menurutnya menantang sang Tuan.
Setelah Ardi mengeluarkan kekesalannya, Ara terdiam sepanjang perjalanan. Ia tidak ingin memperkeruh suasana dengan terus menjawab ataupun meminta maaf pada lelaki disampingnya itu. Toh, pada akhirnya yang ia hadapi adalah sang majikan. Yang belum begitu ia kenal tabiatnya.
Sampai di lantai paling atas apartemen, Ara yang masih termangu di depan pintu apartemen Adrian, menggeleng ragu. Padahal ia belum memasuki ruangan itu, namun aura sesaknya seakan menerobos melalui celah-celah pintu menabrak gadis itu.
Diambilnya napas kemudian dihembuskannya. Demi apa bahkan tangannya serasa dingin membeku hanya menatapi angka-angka serta gagang pintu di depannya.
"Ayo masuk! Tuan sudah menunggumu" Ara menoleh, memandang nanar bodyguard Adrian yang melihatinya dengan pandangan mengintimidasi.
Entah mengapa, jantungnya berdetak lebih cepat. Rasanya ia tidak siap menerima kemarahan Adrian yang masih abu-abu tingkat keparahannya.
Segera dipencetnya angka password ruangan yang hampir setengah tahun ini menjadi tempat tinggalnya.
Ceklek!
Pintu pun terbuka. Seketika menampilkan tubuh Adrian dari samping yang masih dibalut jas yang sedari pagi dipakainya. Kedua tangan menyilang didada dengan pantat tertumpu pada sofa.
"Selamat malam Tuan" Ardi mengawali masuk lebih dahulu kemudian mengangguk hormat pada sang majikan.
"Mas...ahh maksud saya, Tuan..." suara Ara tercekat ditenggorokan. Untuk menetralisir suasana, dilangkahkanlah kakinya masuk mengikuti Ardi.
"Sudah selesai mainnya?" diangkatnya kepala, kemudian menoleh memandang dengan sinis raut muka berantakan gadis yang menyapanya itu.
"Emm.."
"Ohhh..atau mungkin kau sudah lupa siapa dirimu disini hah!"
"Bukan begitu Tuan, saya bisa menjelaskan" Ara memelas, meminta kesempatan untuk berbicara.
"Aku tidak butuh penjelasanmu! Dan kau!" jari telunjuknya mengarah pada Ardi. "Temui Elang untuk mendapat hukumanmu, kau sudah mengabaikan panggilanku dan membantah perintahku!".
"Iya Tuan, terima kasih saya pamit" mengangguk hormat, kemudian melangkahkan kakinya keluar ruangan. Ardi tidak membantah ataupun membela dirinya, karena memang dia bersalah tidak mengindahkan perintah tuannya untuk meninggalkan Ara disana.
Ara beranjak dari tempatnya mendatangi Adrian. "Mas, aku yang salah..jangan hukum Ardi". Tangan Ara menggapai lengan Adrian, namun malah dihempaskan oleh lelaki itu.
"Akulah yang menentukan dia benar atau salah! bukan kau!" Ara terkesiap, karena jarak yang terlalu dekat membuat telinganya benar-benar mendengar bentakan Adrian sangat kencang.
"Ardi anakbuahku dan aku yang menggajinya, tentu saja ia harus menurut perintahku, tidak sepertimu yang seenaknya sendiri melanggar kepercayaanku!"
"Mas, maafkan aku yang lupa waktu. Aku mohon, aku yang bersalah, aku siap menerima hukuman tapi jangan libatkan Ardi"
"Kau membelanya?" lelaki itu mendekatkan wajahnya ke depan wajah Ara. Kata yang diucapkan Adrian lirih namun terasa menusuk. Kemudian lelaki itu tersenyum miring. "Atau kau menaruh perhatian padanya sama seperti pada sepupuku yang sok tampan itu?"
"Kak Akio memang tampan bukan sok tampan mas,.. ups" Ara membekap mulutnya, bisa-bisanya di saat obrolan sarat emosi seperti ini ia keceplosan.
"Apa?? jadi kau menyukainya?"
"Aku tidak bilang begitu" Ara menunduk, suaranya melemah. 'Mana mungkin aku menyukainya, aku menganggapnya seperti kakakku, ia baik dan dewasa' rutuknya dalam hati.
"Jadi dia lebih tampan daripada aku" Adrian menggumam.
"Apa mas?"
"Apanya?"
"Tadi mas barusan bicara apa?"
"Tidak ada!" Adrian jengkel Ara tidak mengerti ucapannya.
"Bersihkan dirimu, setelah itu temui aku di ruang kerja" lelaki itu beranjak. "Untuk membicarakan hukumanmu!" tanpa berbalik dan meneruskan langkahnya ke ruang kerja.
Wajah Ara yang tadinya berseri seketika mengkerut, ia kira Adrian melupakan hukumannya karena perdebatannya tadi.
Huffttt...Ara melangkah ke kamar Adrian dan melaksanakan ritual bersih-bersihnya. Memakai piyamanya kemudian menuju ruang kerja Adrian yang berada tidak jauh dari tempatnya saat ini.
Tok..tok..
Ara masuk setelah terdengar suara Adrian yang menjawab dari dalam ruangan. Gadis itu mengambil tempat di belakang Adrian yang tengah menampilkan punggungnya menatap langit malam dari lantai tertinggi gedung apartemennya.
"Duduk" titahnya.
Ara menuju sofa kemudian meletakkan pantatnya di kursi empuk yang tidak jauh dari tempat Adrian berdiri.
Embusan napas berat terdengar dari mulut Adrian, ia seperti tengah terhimpit beban yang sangat berat.
"Kau...harus berpura-pura menjadi calon istriku"
"Heuh..calon istri?"
"Iya..jangan senang dulu, hanya pura-pura" ungkap Adrian menegaskan. "Hanya ikuti sandiwaranya, itu hukumanmu" lanjutnya kemudian.
"Bukankah mas bisa menjadikan sahabat atau siapapun menjadi calon, kenapa aku?"
"Karena hanya pura-pura"
"Mas bisa membayar mereka, bukankah itu tidak jadi soal untukmu"
Adrian melangkah kemudian duduk di kursinya. "Sekali lagi, karena hanya pura-pura. Aku..tentu saja sanggup membayar mereka, tapi mereka pasti akan berulah"
"Lalu mas yakin kalau aku tidak berulah?"
"Jadi kau mau berulah? kau tak punya hak menolak apalagi berulah, " menatap tajam gadis tawanannya itu. Pertanyaan dijawab pertanyaan. Mengintimidasi.
Ara menundukkan kepalanya. Benar kata Adrian, dia tidak bisa menolak apapun kata Tuannya itu. Bukankah dia hanya seorang tawanan yang harus menurut apa yang diperintahkan.
"Jadi....karena ini hanya sandiwara, hanya aku kandidat yang cocok?"
"Ya!"
Deg!
Tiba-tiba ada yang nyeri disana, disudut hatinya yang kecil, yang sebenarnya telah tumbuh sebuah rasa yang baru sebesar biji kacang, entahlah Ara tidak bisa mendefinisikannya. Dan setelahnya malah dipukul dengan palu raksasa.
"Memang hanya aku yang cocok, sangat cocok untuk bersandiwara" gumam Ara dengan menahan perih, sakit itu menjalar memenuhi rongga dadanya yang terasa sesak. Sungguh nasib yang tragis, bernafas tapi tidak berhak menikmati hidupnya.
"Tapi, ringankan hukuman Ardi ya mas..dia tidak bersalah, dia hanya kasihan padaku" pinta Ara sebagai syarat. Matanya menatap Adrian dengan iba.
"Kalau aku mau menghukum anakbuahku itu urusanku. Tidak ada seorangpun bisa turut campur termasuk kamu" ucapnya kemudian melangkah keluar ruangan meninggalkan Ara.
terimakasihhhh💜💜💜💜💜💜
terima kasih othorku🤣🤣🤣💯💯💯👏👏👏