Tanpa gaun putih, tanpa restu keluarga, hanya akad sunyi di balik pintu tertutup.
Aku menjalani hari sebagai pelayan di siang hari… dan istri yang tersembunyi di malam hari.
Tak ada yang tahu, Bahkan istri sahnya yang anggun dan berkelas.
Tapi apa jadinya jika rahasia itu terbongkar?
Saat hati mulai berharap lebih, dan dunia mulai mempertanyakan tempatku…
Istri Siri Om Majikan adalah kisah tentang cinta yang lahir dari keterpaksaan, tumbuh di balik status yang tak diakui, dan perjuangan seorang perempuan untuk tetap bernapas dalam cinta yang ia tahu tak pernah boleh ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 16
Setelah Idul Fitri, Keesokan harinya, selepas Idulfitri, Syifa, Naura, dan Erna berangkat diam-diam menuju Jakarta. Tanpa sepengetahuan Amri mantan kekasihnya Syifa yang pagi itu bahkan tidak menyadari bahwa kekasih telah pergi.
Syifa memang sengaja merahasiakannya. Ia tak ingin membuat perpisahan menjadi berat. Di Jakarta, Syifa langsung mencarikan rumah kost yang nyaman untuk Naura, lengkap dengan berita kampus-kampus terbaik yang bisa dijajaki gadis itu.
Sementara itu, Erna, atas arahan langsung dari Jamal, mulai bekerja sebagai staf rumah tangga di mansion milik keluarga besar Jordan.
Namun, satu hal yang mengejutkan, Erna telah mengetahui rahasia Syifa bahwa Syifa bukan sekadar pelayan pribadi Jordan. Tapi, karena kepercayaannya kepada Syifa dan perintah langsung dari Jamal, Erna memilih tutup mulut dan menyimpan semuanya rapat-rapat.
Di waktu yang hampir bersamaan, Syifa baru mengetahui kabar mengejutkan, kalau Jordan telah menikah. Dan istrinya bukan siapa-siapa, melainkan Cassandra, perempuan pilihan kedua orang tua Jordan sendiri.
Pernikahan Tanpa Malam Pertama, Sudah dua hari sejak akad nikah yang berlangsung secara tertutup itu. Namun hingga kini, Cassandra bahkan belum sekali pun masuk ke kamar suaminya. Mereka seperti dua orang asing. Tak ada pelukan, tak ada kata manis. Bahkan malam pertama pun belum pernah mereka lewati.
Jordan tetap sibuk dengan urusan perusahaan. Sementara Cassandra hanya bisa menahan perih dan kecewa, melihat dirinya hanya menjadi istri di atas kertas.
“Sah,” kata itu menggema di ruangan cukup besar yang mendadak disulap menjadi tempat akad. Sebuah pernikahan terburu-buru, dihadiri hanya keluarga inti dan beberapa kerabat dekat.
Tak ada media, tak ada pesta. Semua dilakukan atas syarat Jordan, pernikahan boleh terjadi, asal tidak diumumkan ke publik.
Malam itu, usai akad…
Cassandra hendak melangkah masuk ke kamar Jordan, tetapi langkahnya terhenti ketika suara tajam sang suami menghentikannya.
“Jangan pernah berani menginjakkan kakimu di dalam kamarku tanpa izinku. Dan ingat, hanya pelayan pribadiku yang boleh menyentuh barang-barangku.” ULTI Jordan.
Cassandra terdiam, menahan napas. Matanya membulat, suaranya tercekat. Gaun pengantin yang masih membalut tubuhnya seolah menjadi pakaian berkabung.
“Ingat baik-baik, Cassandra. Kamu cuma istri di atas kertas!” ketus Jordan yang bernada datar ketika berbicara
Air mata hampir luruh dari sudut matanya, tetapi ia menahannya. Hanya satu kali kedipan lagi dan pipinya akan basah oleh luka batin.
“Dan jangan pernah bocorkan keadaan pernikahan ini, terutama kepada orang tua kita. Aku serius.”
Tanpa menoleh, Jordan pergi meninggalkannya sendirian. Jordan tak berperasaan meninggalkan istri di atas kertasnya.
-
Pagi di Dapur Mansion, Keesokan paginya di dapur…
Fatma, salah satu staf senior rumah tangga, menatap Syifa yang baru datang dari luar kamar.
“Syifa, kamu tahu? Kemarin malam Jordan menikah. Tiba-tiba saja.”
Syifa hanya tersenyum kecil. Tak ada kekecewaan. Tak ada tanda-tanda marah, apalagi cemburu.
“Syukurlah kalau Tuan Muda sudah menikah. Semoga mereka bahagia, sakinah, mawadah, warahmah. Semoga segera diberi momongan,” jawab Syifa tenang sambil mengambil sarapan.
Fatma tertegun. Ia memperhatikan wajah Syifa dengan seksama. “Anak ini karakternya luar biasa. Tak mencampuradukkan perasaan pribadi dengan pekerjaan. Padahal mereka sudah menikah sembilan bulan secara diam-diam. Tapi lihatlah, tak ada air mata, tak ada drama. Profesional sekali,” batin Fatma yang memuji karakter Syifa.
Setelah menyelesaikan sarapannya, Syifa bersiap untuk bekerja seperti biasa. Ia hendak naik ke lantai tiga, memeriksa kamar Jordan yang sudah dua minggu lebih ia tinggalkan.
Namun di tengah perjalanan, langkahnya tertahan. Di hadapannya berdiri Cassandra. Pertemuan pertama dengan
Cassandra, istri sah suaminya memandangi Syifa dari ujung kepala hingga kaki. Wajahnya ragu, ada keraguan dalam sorot matanya.
“Kamu pelayan pribadinya... suamiku?” tanyanya pelan.
Syifa menundukkan kepala hormat. “Benar, Nyonya Muda. Saya pelayan pribadi Tuan Muda Jordan. Ada yang bisa saya bantu?”
Cassandra terlihat canggung. Tangannya saling menggenggam. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi takut. Namun akhirnya, ia mengembuskan napas panjang dan memberanikan diri.
“Bolehkah aku... ikut denganmu masuk ke kamar suamiku? Aku belum pernah masuk ke sana sejak kami menikah. Dia selalu melarangku. Tapi... mungkin kalau aku bersama kamu, dia tidak akan marah. Tolong bantu aku.”
Syifa sempat terdiam. Cassandra mengatakannya dengan begitu jujur, penuh kepedihan.
Bagi Cassandra ini mungkin memalukan, tapi Syifa melihat perempuan itu sebagai seseorang yang terjebak dalam pernikahan yang tidak diinginkannya juga.
“Tentu, Nyonya Muda. Silahkan ikut saya.” ucapnya Syifa dengan yakin.
Mereka berjalan berdampingan menuju lift. Entah mengapa, sejak pertama bertemu, Cassandra merasa nyaman dengan Syifa. Dan Syifa pun merasakan hal yang sama.
“Syifa… kamu nggak keberatan ya, kalau nanti aku sering ngajak kamu ngobrol atau temani aku bersantai? Kamu beda. Nyambung aja gitu. Kayak sahabat lama yang baru ketemu lagi,” ucap Cassandra jujur.
Syifa tersenyum tulus,”Saya merasa tersanjung. Nyonya bisa anggap saya sahabat, itu kehormatan buat saya.”
Ketika pintu kamar Jordan dibuka, Jordan sedang duduk di dalam. Matanya langsung tertuju pada Syifa.
Ada senyum samar di sana. Nyaris tak terlihat. Tapi ketika Cassandra muncul dari balik punggung Syifa, senyum itu lenyap. Sorot matanya berubah tajam. Suaranya dingin seperti baja.
“Berapa kali aku bilang? Jangan pernah masuk ke kamarku! Kembalilah ke kamarmu, sekarang juga!”
Suasana mendadak mencekam. Cassandra menunduk, lalu mundur pelan dengan mata berkaca-kaca. Syifa ikut membungkuk hormat, lalu menutup pintu sesuai perintah.
Saat pintu tertutup, suasana berubah senyap. Syifa menatap pintu itu dalam-dalam, menyimpan luka yang tak pernah ia tumpahkan.
“Bahkan istri sah pun tak diberi tempat di hatinya…” batin Syifa lirih.
Dari atas tangga, Jonathan dan Zaidan memperhatikan semuanya.
“Cukup akur juga, ya. Simpanan dan istri sah,” gumam Jonathan sambil menyeruput minumannya.
Jayden tidak menimpali, tatapannya masih tertuju pada Cassandra. “Dua manusia yang dikorbankan demi ambisi orang tua mereka sendiri. Bukan cinta yang menyatukan, tapi paksaan.”
Jayden menghabiskan minumannya, lalu bangkit meninggalkan tempat.
“Kalau abang nggak bisa bahagiainmu... kamu tahu ke mana harus pergi.” batinnya.
Bayang-Bayang yang Tak Pergi, Malam kembali datang membawa sunyi. Di balik pintu kamar yang tertutup rapat, .Cassandra duduk di ujung ranjangnya. Bahunya bergetar pelan, sesekali isakan tertahan lolos dari bibirnya. Tangannya meremas bantal kecil yang sejak dulu selalu ia peluk saat gelisah.
Ia mencoba kuat, sudah berhari-hari ia tersenyum di hadapan semua orang, pura-pura tidak peduli, seolah hatinya bukan apa-apa selain organ biasa yang memompa darah. Tapi nyatanya, luka itu belum sembuh. Dan malam, seperti biasa, menjadi saksi bisu betapa rapuhnya ia saat sendiri.
Di tempat lain, di lantai bawah rumah yang sama, Jordan masih terjaga. Ia belum ingin pulang. Sudah hampir tengah malam, namun lampu ruang kerjanya belum juga padam.
Di sofa panjang yang ada di sisi ruangan, Syifa tertidur dengan kepala bersandar pada tumpukan buku. Nafasnya teratur, rambutnya sedikit berantakan, dan selimut tipis menutupi tubuhnya. Jordan mematung di ambang pintu, pandangannya tak lepas dari wajah perempuan itu.
Ada sesuatu yang tenang dari Syifa. Sesuatu yang menyesakkan sekaligus menenangkan, kontradiksi yang entah bagaimana terasa akrab di hatinya.
Ia tidak berniat membangunkannya. Tidak juga menyentuhnya. Ia hanya berdiri disana, menatap dalam diam, seolah sedang mencari jawaban yang tak pernah ia temukan di tempat lain.
“Hidup ini lucu, ya...” gumam Jordan pelan, entah kepada dirinya sendiri atau kepada perempuan yang sedang terlelap itu.
Di luar, angin malam membawa dingin. Tapi di dalam ruang kerja itu, keheningan justru menghangatkan.