Aluna Haryanti Wijaya, gadis lembut yang menikah demi menjaga kehormatan keluarga. Pernikahannya dengan Barra Pramudya, CEO muda pewaris keluarga besar, tampak sempurna di mata semua orang. Namun di balik janji suci itu, Aluna hanya merasakan dingin, sepi, dan luka. Sejak awal, hati Barra bukan miliknya. Cinta pria itu telah lebih dulu tertambat pada Miska adik tirinya sendiri. Gadis berwajah polos namun berhati licik, yang sejak kecil selalu ingin merebut apa pun yang dimiliki Aluna.
Setahun pernikahan, Aluna hanya menerima tatapan kosong dari suaminya. Hingga saat Miska kembali dari luar negeri, segalanya runtuh. Aluna akhirnya tahu kebenaran yang menghancurkan, cintanya hanyalah bayangan dari cinta Barra kepada Miska.
Akankah, Aluna bertahan demi cintanya. Atau pergi meninggalkan Barra demi melanjutkan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. karma
Pagi itu, udara di sekitar perusahaan Wijaya terasa berat. Media berkumpul di depan gedung, kamera-kamera berderet seperti pasukan siap menembak. Berita tentang Aluna sudah tersebar ke mana-mana, gosip perselingkuhan, anak haram, bahkan klaim keluarga Pramudya yang menyebut perceraian dulu terjadi karena Aluna berkhianat.
Suara wartawan riuh. “Benarkah Raka bukan anak sah?”
“Apakah benar Anda menikah dengan Tuan Takahashi demi harta?” Pertanyaan-pertanyaan menusuk terus menghantam, namun Aluna berdiri tegak dengan senyum tipis. Tatapannya tajam, penuh percaya diri.
“Saya tidak akan tunduk pada berita bohong,” ucapnya lantang, suaranya terdengar jelas ke semua mikrofon. “Kebenaran hanya saya dan keluarga saya yang tahu. Semua fitnah itu tidak akan menjatuhkan saya. Ingat, saya bukan Aluna yang dulu kalian bisa injak seenaknya.”
Kalimat itu membuat kerumunan bergetar. Ada keberanian yang jarang ditemui pada seorang perempuan yang sedang disudutkan.
Di dalam ruang rapat utama perusahaan Wijaya, Barra muncul. Wajahnya letih, sorot matanya penuh kegelisahan. Ia datang bukan dengan arogansi, melainkan dengan wajah seorang pria yang merasa bersalah.
“Aluna…” panggilnya pelan ketika pintu tertutup, hanya menyisakan beberapa orang penting di ruangan itu. “Aku minta maaf. Aku tahu aku salah, aku tahu aku pengecut di masa lalu. Tapi tolong, izinkan aku … izinkan aku bertemu Raka lagi.”
Aluna menatapnya dingin, tanpa sedikit pun belas kasihan. “Tidak, Barra. Kau kehilangan hak itu sejak lama. Enam tahun lalu kau memilih melepaskan, dan sekarang kau datang dengan wajah penuh penyesalan seolah-olah aku akan melunak. Tidak ada tempat bagimu di kehidupan anakku.”
Barra menelan ludah. Kata-kata itu seperti belati yang menusuk jantungnya.
Tiba-tiba pintu terbuka. Andra masuk, diikuti langkah kecil Raka yang ceria.
“Mommy!” teriak bocah itu sambil berlari menghampiri Aluna. Suara itu membuat Barra tersentak, dadanya bergemuruh. Senyum terbit di wajahnya meski matanya berkaca-kaca. Itu kedua kalinya ia melihat putranya begitu dekat, begitu nyata.
Aluna membungkuk, menyentuh rambut Raka. “Nak, lihat, ini ada Om Barra. Sapa dulu dengan sopan.”
"Om, jahat yang kemarin ya?"
"Em, Om Barra datang minta maaf, Sayang."
"Kata Daddy kita harus memaafkan orang itu ketika dia minta maaf, Mommy. Tapi jangan lupa apa yang dulu pernah dia perbuat sama kita," kata-kata Raka membuat Barra sadar, anaknya sudah begitu jauh darinya.
Raka kembali menoleh dengan polos, lalu berkata pelan.
“Halo, Om.” Suaranya jernih, tulus, namun di telinga Barra terdengar seperti pisau yang memisahkan. Panggilan itu harusnya tak untuk dirinya tetapi kesalahan membuat dia kehilangan status seorang ayah
Barra tercekat. “Aluna…” suaranya bergetar. “Kenapa kamu ..."
Namun, Aluna menyela cepat, suaranya tajam. “Dengar baik-baik, Barra. Bagiku, kau hanyalah orang asing. Dan anakku tidak boleh terlalu dekat dengan orang asing. Jika kau berani macam-macam, dan kau berani menyentuhnya tanpa izin, aku akan membawa Raka jauh … sangat jauh. Bahkan kau tidak akan pernah bisa melihatnya lagi, sekalipun hanya dari kejauhan.” ancam Aluna.
Barra membeku, ancaman itu terasa lebih mematikan daripada serangan apapun. Wajahnya menegang, napasnya berat. Untuk pertama kalinya ia benar-benar menyadari, karma telah datang untuknya.
Dulu, ia meninggalkan Aluna demi wanita masa kecilnya dan kesenangan. Kini, bahkan darah dagingnya sendiri tidak menganggapnya ayah. Raka tersenyum polos sambil menarik tangan Aluna.
“Mommy, ayo pulang.” Bocah itu tak tahu badai besar yang bergemuruh di sekelilingnya. Barra hanya bisa berdiri kaku, menatap punggung kecil itu menjauh bersama ibunya. Hatinya menjerit, namun lidahnya kelu.
'Bagaimana rasanya Barra, anak sendiri bahkan tak menganggap kamu Ayah? Sangat menyedihkan bukan?'
Perusahaan Pramudya.
Ruang kerja Barra sore itu terasa sesak. Tumpukan berkas berserakan di meja, layar laptop menampilkan grafik merah yang terus menurun, seakan menertawakan keadaan perusahaan yang kini berada di ujung jurang. Barra duduk di kursinya dengan jas terbuka, dasi longgar, dan wajah penuh lelah. Tangannya berulang kali meremas rambut, mencoba mencari celah untuk memperbaiki keadaan.
Dia membuka map demi map, berkas kerja sama yang dulu gagal karena keputusan gegabahnya. Ada penyesalan yang menumpuk seandainya ia lebih sabar, seandainya ia lebih bijak, mungkin semua ini tak akan terjadi. Ketukan pelan terdengar di pintu. Cleo masuk dengan langkah terburu, wajahnya tegang. Di tangannya, sebuah map cokelat ia peluk erat, seolah menyimpan rahasia besar.
“Tuan Barra,” ucapnya dengan suara tertahan. “Ada sesuatu yang harus Anda lihat. Dan ini … kabar yang mengejutkan.”
Barra mendongak, alisnya berkerut. “Apa lagi sekarang, Cleo? Jangan bilang ada kontrak yang batal lagi.”
Cleo menelan ludah, lalu meletakkan map itu di meja. Tangannya sedikit gemetar. “Bukan soal kontrak, ini tentang … Nyonya Aluna.”
Nama itu langsung membuat Barra tegak. “Apa maksudmu?”
Cleo membuka map perlahan, mengeluarkan beberapa lembar kertas. Di atasnya tampak desain indah, bunga sakura yang tumbuh di ujung ranting, digambar dengan detail halus namun penuh perasaan. Barra membelalak, seolah melihat hantu dari masa lalu.
“Ini…” suaranya tercekat, tangannya menyentuh kertas itu dengan gemetar. “Ini … aku kenal gambar ini.”
Cleo mengangguk pelan. “Desain ini … sudah diklaim sebagai milik Hoshimitsu Corporation di Jepang. Beberapa bulan lalu mereka mendaftarkannya sebagai hak cipta resmi. Dan yang lebih mengejutkan…” Ia menunjuk sudut bawah desain. “Lihat tanda tangan ini.”
Barra menunduk, matanya terpaku pada tulisan rapi itu, Aluna Wijaya.
Napasnya tercekat. Ingatan menabrak kesadarannya. Ia terlempar ke enam tahun lalu ke malam penuh pertengkaran antara Aluna dan Miska. Saat itu, Miska menuduh Aluna mencuri desain, lalu terjadi keributan hebat. Barra, yang kala itu lebih percaya pada adik tiri Aluna, memihak Miska tanpa mendengar penjelasan Aluna.
“Aku bersumpah, ini desainku!” Aluna kala itu menangis, matanya merah. “Aku yang menggambar! Kau tak percaya padaku, Barra?”
Dan Barra, dengan hati dingin, menjawab, “Cukup, Aluna. Aku muak dengan semua drama ini.”
Sekarang, desain itu kembali muncul di hadapannya, dengan bukti tanda tangan yang tak terbantahkan. Semua tuduhan dulu, semua fitnah yang ia percayai mentah-mentah ternyata kebohongan.
Barra menjatuhkan tubuhnya ke kursi, wajahnya pucat. Tangannya menutup wajah, suara lirih lolos dari bibirnya. “Ya Tuhan … apa yang sudah aku lakukan…”
Cleo menatapnya penuh cemas. “Tuan … saya rasa Anda harus tahu lebih banyak. Sejak menikah dengan Tuan Takahashi, Nyonya Aluna tidak hanya jadi istri CEO. Dia juga mengembangkan karya seninya. Desain ini salah satunya. Artinya … sejak dulu, dia memang berbakat besar. Dan semua fitnah enam tahun lalu … mungkin memang tidak benar.”
Barra memejamkan mata. Hatinya terasa diremas. Semua potongan ingatan menyerang tatapan luka Aluna, tangisannya, kepergian wanita itu dengan hati hancur. Dan kini, ia sadar betapa buta dirinya.
“Aku salah … aku salah besar…” suaranya serak, penuh sesal. “Aku lebih memilih percaya pada kebohongan daripada pada wanita yang mencintaiku. Dan sekarang, lihat apa yang terjadi. Dia berhasil, Cleo … dia berhasil tanpa aku. Dan aku ... aku bahkan kehilangan hak untuk dipanggil ayah oleh anakku.”
Cleo terdiam, hanya menunduk. Ia tahu, tidak ada kata yang bisa meringankan penyesalan sebesar itu.
Barra menatap lagi desain bunga sakura di tangannya. Simbol yang dulu dianggap remeh, kini terasa seperti pengingat paling menyakitkan, bahwa Aluna pernah mencintainya, pernah mempercayainya, namun ia sendiri yang menghancurkan semuanya.
“Aluna…” bisiknya dengan suara bergetar. “Aku yang membuatmu pergi. Aku yang menjatuhkanmu, dan kini … bahkan aku tidak pantas berdiri di sisimu lagi.”
Mampir ke karya ini juga ya ...
Kamu dan Barra sebelas dua belas , jadi jangan merasa menang dulu 😡😡😡