Theresa Coldwell adalah ratu tak tertandingi di sekolahnya—lidahnya tajam, kepercayaan dirinya tak tergoyahkan. Tak ada yang berani menantangnya… sampai Adrien Valmont datang. Santai, tak terpengaruh, dan sama pintarnya, dia membalas sarkasme Theresa dengan komentar tajam tanpa ekspresi, membuat setiap pertemuan mereka jadi ajang adu kecerdasan dan ego. Dari debat di kelas hingga persaingan di seluruh sekolah, ketegangan di antara mereka semakin terasa. Tapi ketika sesuatu yang tak terduga mengancam untuk memisahkan mereka, akankah mereka akhirnya menurunkan ego masing-masing, atau justru terjebak dalam perang kata-kata yang tak berujung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwiki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cemburu itu Hal yang Aneh
Theresa Coldwell tidak pernah merasa cemburu.
Perasaan itu kekanak-kanakan, tidak rasional, dan sama sekali tidak berguna. Ia selalu menganggapnya sebagai kelemahan—sebuah emosi yang hanya dimiliki orang-orang yang tidak cukup kuat untuk mengendalikan diri mereka sendiri.
Dia bukan gadis bodoh yang dimabuk cinta dalam novel romansa murahan. Bukan seseorang yang hatinya mudah terombang-ambing hanya karena sebuah senyuman atau perhatian sesaat.
Dia di atas semua itu.
Atau setidaknya, itulah yang selalu ia yakini.
Jadi kenapa sekarang dadanya terasa sesak? Kenapa ada sesuatu yang mengusik pikirannya, membuatnya ingin berpaling tapi di saat yang sama memaksanya untuk terus melihat?
Tidak. Ini bukan cemburu. Tidak mungkin.
Theresa Coldwell tidak pernah merasa cemburu.
Bukan sekarang. Bukan karena dia.
Jadi kenapa, tepatnya, dia sekarang memicingkan mata saat melihat si pirang cerewet menyebalkan itu menyentuh lengan Adrien?
Hélène Marchand. Kapten pemandu sorak. Kaya raya. Menyebalkan. Dan yang paling penting, tidak punya konsep tentang batasan pribadi.
“Oh, Adrien, kamu lucu banget,” Hélène terkikik, menepuk lembut bahunya. “Sumpah, kamu satu-satunya cowok di sekolah ini yang benar-benar menarik.”
Theresa, yang berdiri tak jauh, hampir mematahkan pulpennya jadi dua.
Adrien, tentu saja, tetap tidak terganggu sama sekali. Dia hanya memasang senyum santainya seperti biasa.
“Aku berusaha.”
Theresa mendengus keras.
Hélène menoleh padanya. “Oh! Theresa, aku nggak lihat kamu di sana.”
Theresa mengangkat alis. “Jelas.”
Hélène berkedip, lalu kembali menatap Adrien dengan senyum manis yang bikin kepala Theresa nyut-nyutan.
“Kamu harus ikut aku ke kafe setelah sekolah,” lanjutnya. “Aku yang traktir. Anggap saja sebagai… hadiah kecil.”
Adrien mengerutkan kening. “Hadiah untuk apa?”
“Untuk jadi sangat pintar. Dan tampan. Dan—”
Theresa kehabisan kesabaran.
“Oh, tolonglah,” potongnya sambil menyilangkan tangan. “Kalau mau menyuap dia, setidaknya lakukan dengan lebih halus. Ini keterlaluan.”
Hélène memberinya senyum mengejek. “Oh? Memangnya kenapa kamu peduli, Theresa?”
Otak Theresa langsung nge-freeze.
Dia tidak peduli.
Dia sama sekali tidak—
Adrien tiba-tiba tersenyum miring. “Ya, Theresa,” katanya santai. “Memangnya kenapa kamu peduli?”
Theresa langsung menoleh dengan tatapan membunuh. “Diam. Kau.”
Adrien tertawa pelan.
Hélène terkikik. “Oh, Adrien, kamu lucu banget—”
“—Iya, iya, kita sudah sepakat soal itu,” sela Theresa. “Tapi kau juga tahu nggak kalau dia sangat alergi terhadap kencan di kafe?”
Adrien menatapnya. “Kata siapa?”
Theresa menginjak kakinya.
Adrien hampir tidak bereaksi.
Hélène cemberut. “Oh, sayang sekali.”
Theresa mengangkat bahu. “Menyedihkan. Benar-benar. Sebaiknya kau cari korban lain—eh, maksudku, teman kencan lain.”
Hélène mendesah dramatis. “Ya sudah. Adrien, kalau kau berubah pikiran, aku akan menunggu.” Dia menatap Theresa dengan senyum penuh arti sebelum membalik rambutnya dan pergi.
Theresa mendengus.
Sementara itu, Adrien tersenyum semakin lebar.
“Kamu cemburu.”
Theresa langsung menoleh. “Aku tidak.”
Adrien memiringkan kepala. “Kamu menginjak kakiku.”
“Itu kecelakaan.”
“Kamu nyaris menggeram ke arah Hélène.”
“Itu… latihan pernapasan.”
Adrien terkekeh. “Baiklah. Tentu.”
Theresa membuang muka, kesal pada dirinya sendiri.
Dia BUKAN cemburu.
Dia hanya… sangat tidak suka melihat Hélène bernapas di dekat Adrien.
Itu sangat normal.
Adrien sedikit mendekat.
“Jangan khawatir,” bisiknya. “Aku lebih baik dimakan serigala hidup-hidup daripada pergi kencan dengan Hélène.”
Theresa merasa sesuatu yang aneh di dadanya.
Dia cemberut keras.
“…Bagus.”
Adrien tertawa.
Theresa, masih kesal, berjalan pergi dengan langkah cepat dan tegas, seolah ingin meninggalkan seluruh kejadian itu di belakangnya.
Ia menolak menoleh ke belakang.
Namun, meskipun ia mencoba menyangkalnya, ada sesuatu yang mengganggunya.
Panas yang merayap di wajahnya. Detak jantungnya yang masih belum kembali normal.
Ia menggigit bibirnya, berusaha mengabaikan semua itu.
Bersikeras menolak mengakui bahwa, untuk alasan yang tak ingin ia pikirkan lebih jauh, wajahnya terasa sedikit terlalu panas.