Shanna Viarsa Darmawan melakukan kesalahan besar dengan menyerahkan kehormatannya pada Rivan Andrea Wiratama. Kepercayaannya yang begitu besar setelah tiga tahun berpacaran berakhir dengan pengkhianatan. Rivan meninggalkannya begitu saja, memaksa Shanna menanggung segalanya seorang diri. Namun, di balik luka itu, takdir justru mempertemukannya dengan Damian Alexander Wiratama—paman Rivan, adik kandung dari ibu Rivan, Mega Wiratama.
Di tengah keputusasaan, Damian menjadi satu-satunya harapan Shanna untuk menyelamatkan hidupnya. Tapi apa yang akan ia temui? Uluran tangan, atau justru penolakan yang semakin menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meminta Restu
Damian telah kembali ke rumahnya. Begitu tiba, ia segera mengumpulkan seluruh anggota keluarga di ruang utama. Ekspresinya serius, membuat semua orang yang hadir merasa ada sesuatu yang besar akan disampaikan.
"Ada apa, Damian? Tadi pagi kamu masih terlihat santai, tiba-tiba seserius ini," tanya Rendra, ayahnya, dengan nada khawatir.
Damian menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan sebelum akhirnya berbicara, "Kalian mungkin akan kaget mendengarnya, tapi saya sudah mengambil keputusan besar. Saya akan menikah."
Ruangan seketika hening. Semua orang saling bertukar pandang, seolah memastikan bahwa mereka tidak salah dengar.
"Menikah?" Mega, kakak perempuannya, akhirnya bersuara. "Dengan siapa?"
"Shanna," jawab Damian dengan tenang.
Keheningan kembali menyelimuti ruangan, kali ini lebih berat.
"Apa yang ada di pikiranmu, Damian?" Rendra akhirnya bersuara lagi, suaranya terdengar penuh ketidakpercayaan. "Kamu tahu betul bahwa gadis itu mengandung anak dari keponakanmu sendiri!"
"Justru karena itu, Yah," Damian menjawab tegas. "Saya harus menyelamatkannya. Bagaimanapun, anak yang ada dalam kandungan Shanna adalah keturunan Wiratama. Jika Rivan tidak bisa bertanggung jawab, maka saya yang akan melakukannya."
"Kamu gila, Damian!" Mega menyentakkan napasnya, jelas tidak bisa menerima. "Gadis itu hanya akan menjadi beban keluarga kita!"
"Aku yang akan menjamin hal itu tidak terjadi," Damian menatap Mega dengan penuh keyakinan. "Aku akan mengawasi dia, memastikan dia tidak pernah menjadi beban bagi keluarga ini. Dan yang terpenting, dia tidak akan mengganggu Rivan."
Mega menggelengkan kepala, masih sulit menerima keputusan itu. "Bagaimana bisa, Damian? Rivan adalah ayah kandung bayi itu!"
"Kami sudah membuat kesepakatan," suara Damian terdengar dingin. "Anak itu akan tumbuh sebagai anak seorang Damian Wiratama. Baik Shanna maupun anak itu tidak akan memiliki hubungan apa pun dengan Rivan."
Wajah Rendra mengeras. "Apa kau benar-benar yakin dengan keputusan ini?"
"Sangat yakin," jawab Damian tanpa ragu. "Dan keputusan ini tidak bisa diubah."
Mega masih tampak tidak terima dengan keputusan Damian. Ia menatap adiknya dengan tajam, mencari celah untuk menggoyahkan keyakinannya.
"Dan kamu pikir Rivan akan diam saja?" suara Mega dipenuhi skeptisisme. "Dia pasti tidak akan tinggal diam setelah tahu anaknya diakui oleh orang lain!"
Damian tersenyum tipis, tatapannya dingin. "Rivan tidak akan bisa berbuat apapun saat aku sudah menikahi Shanna. Di catatan sipil hanya aku yang akan menjadi suaminya dan ayah dari anak itu. Jadi apa yang mau dia pertarungkan dengan ku Kak. Dia tidak akan berhasil selagi aku tidak ingin menyerahkan keduanya."
"Kamu licik, Damian," Mega menghela napas panjang.
"Aku hanya melakukan apa yang harus dilakukan." Damian menatap ayahnya kali ini. "Jika Ayah ingin keluarga ini tetap utuh, maka biarkan saya mengambil alih masalah ini. Dengan cara ini, tidak akan ada lagi gunjingan atau skandal yang mempermalukan keluarga kita."
Rendra menyandarkan tubuhnya di kursi, mengusap wajahnya dengan kasar. "Kamu sadar dengan konsekuensinya, Damian? Ini bukan hanya soal Shanna atau anak itu. Ini soal nama keluarga kita."
"Saya sadar, Yah," Damian mengangguk. "Dan saya sudah siap menanggungnya."
Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Rendra menatap putranya lama, mencoba mencari celah ragu di dalamnya, namun yang ia temukan hanyalah tekad yang tidak tergoyahkan.
"Baiklah," akhirnya Rendra bersuara. "Jika ini keputusanmu, Ayah tidak akan menghalangi."
Damian mengangguk, lalu berdiri. "Kalau begitu, saya akan mulai mengurus semuanya. Pernikahan ini harus segera dilaksanakan."
Mega mendengus kesal. "Aku harap kamu tahu apa yang sedang kamu lakukan, Damian."
"Aku selalu tahu, Kak," jawab Damian sebelum melangkah pergi, meninggalkan keluarganya dalam kebingungan dan ketidakpuasan.
Damian kembali ke apartemennya mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, untuk membawa Shanna kembali ke rumahnya. Bagaimanapun, ia harus meminta restu kepada keluarga Shanna secara langsung.
"Saya tunggu di lobi," ucap Damian dari seberang telepon sebelum menutup panggilan.
Shanna segera turun menuju lobi untuk menemui Damian. Setibanya di sana, ia melihat pria itu masih duduk di dalam mobil, tampak enggan turun, seolah ingin segera berangkat tanpa basa-basi.
Begitu Shanna masuk dan mengenakan sabuk pengaman, ia menoleh ke Damian dengan rasa ingin tahu.
"Kita mau ke mana, Om?" tanyanya.
"Ke rumahmu," jawab Damian tanpa ragu. "Saya harus melamarmu dengan cara yang benar. Setidaknya, saya harus berbicara dengan keluargamu dan meminta izin."
Shanna tertegun sejenak, lalu mengangguk pelan. Meski Damian selalu terlihat dingin dan tegas, ia tahu pria itu sangat menjunjung tinggi etika.
Tak butuh waktu lama, mereka akhirnya sampai di rumah Shanna—sebuah rumah sederhana yang hanya dihuni oleh orangtua Shanna, Shanna dan adik laki-lakinya. Dari luar, suasana tampak sepi, seperti biasanya.
"Ada orang di rumah?" tanya Damian.
"Ada, mereka pasti di dalam. Kalau akhir pekan, biasanya keluarga suka berkumpul di sini," jawab Shanna.
Damian mengangguk, lalu turun dari mobil. Ia berjalan menuju pintu dan mengetuknya dengan mantap, siap menghadapi keluarga Shanna dengan segala tanggung jawab yang telah ia putuskan.
"Shanna…" suara Rina terdengar lirih saat melihat putrinya berdiri di ambang pintu bersama seorang pria yang tampak familiar.
"Kita bicara di dalam saja, Bu," ujar Shanna pelan.
Rina mengangguk dan membuka pintu lebih lebar. "Silakan masuk."
Shanna melirik Damian dan memberi isyarat agar pria itu ikut masuk.
"Masuklah, Om," katanya, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.
Damian melangkah masuk, mengamati suasana rumah yang sederhana namun hangat. Ternyata, seluruh keluarga sedang berkumpul di ruang tamu.
Geri, ayah Shanna, menatap putrinya dengan sorot mata tajam. "Ke mana saja kamu, Shanna? Ayah kira kamu sudah melupakan keluarga ini."
Shanna menundukkan kepala, menelan ludah sebelum menjawab, "Maaf, Ayah… Mungkin Ibu belum sempat menceritakan apa yang sebenarnya terjadi."
"Tentu saja Ibumu sudah bercerita," suara Geri bergetar, matanya mulai berkaca-kaca. "Tega sekali kamu, Na… Kamu mengkhianati kepercayaan Ayah."
Shanna menggigit bibirnya, dadanya terasa sesak mendengar kekecewaan di suara sang ayah.
"Seminggu penuh Ayah menunggumu pulang, berharap kamu akan datang dan menjelaskan semuanya," lanjut Geri. "Tapi kamu justru menghilang! Setiap kali Ayah menghubungimu, kamu hanya bilang kalau kamu baik-baik saja dan akan segera pulang. Kamu pikir Ayah tidak punya perasaan? Kamu tidak peduli bagaimana perasaan Ayah?"
Air mata akhirnya jatuh di pipi Geri.
Sebelum Shanna sempat berkata apa-apa, Damian maju selangkah dan menyela dengan tenang.
"Maaf, Om… Tapi ini bukan sepenuhnya salah Shanna," katanya dengan nada tegas namun hormat. "Saya yang menyembunyikannya di apartemen saya. Semua itu demi keselamatannya… dan juga demi bayinya."
Suasana mendadak sunyi.
Geri menatap Damian tajam. "Siapa kamu sampai begitu peduli pada anak saya? Seingat saya, kamu bukan pacarnya."
Damian menegakkan bahunya dan menjawab dengan penuh keyakinan, "Saya belum sempat memperkenalkan diri, Om. Saya Damian Alexander Wiratama, paman dari Rivan, pacar Shanna."
Geri menyipitkan mata, ekspresinya berubah semakin waspada. "Jadi kamu bagian dari keluarga Wiratama?" Suaranya terdengar sarat kecurigaan. "Apa tujuanmu datang ke sini? Apakah keluargamu mengutusmu untuk benar-benar menghancurkan keluarga kami?"