Di sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan, hiduplah Kirana, gadis cantik, cerdas, dan mahir bela diri. Suatu hari, ia menemukan seorang pemuda terluka di tepi sungai dan membawanya ke rumah Kakek Sapto, sang guru silat.
Pemuda itu adalah Satria Nugroho, pewaris keluarga pengusaha ternama di Jakarta yang menjadi target kejahatan. Dalam perawatan Kirana, benih cinta mulai tumbuh di antara mereka. Namun, setelah sembuh, Satria kembali ke Jakarta, meninggalkan kenangan di hati Kirana.
Bertahun-tahun kemudian, Kirana merantau ke Jakarta dan tak disangka bertemu kembali dengan Satria yang kini sudah dijodohkan demi bisnis keluarganya. Akankah mereka bisa memperjuangkan cinta mereka, atau justru takdir berkata lain?
Sebuah kisah takdir, perjuangan, dan cinta yang diuji oleh waktu, hadir dalam novel ini! ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I Wayan Adi Sudiatmika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Pembalasan Kirana
Kirana mengeluarkan ponsel jadulnya dari saku bajunya dengan gerakan perlahan namun penuh keyakinan. Matanya tidak lepas dari Susi dengan menatap tajam seperti pedang yang siap menebas. “Aku sudah rekam semuanya…,” ujarnya dengan suara tegas namun terkendali sambil menunjukkan ponsel di tangannya. “Dari awal kakak ngajak aku ke sini… sampai kakak dan teman-teman kakak mengata-ngatai aku… Kalau kakak tidak mau masalah ini menjadi besar, jangan ganggu aku lagi. Ngerti…???!!!” tambahnya dengan mata menatap tajam dan penuh peringatan.
Suara Kirana menggema di ruang gudang yang sepi seolah menegaskan bahwa ini bukan sekedar ancaman tapi peringatan serius. Susi dan teman-temannya terdiam dengan wajah ketakutan dan seperti kehilangan warna. Mereka tidak menyangka Kirana yang selama ini mereka anggap lemah ternyata sudah mempersiapkan segalanya dengan matang.
Susi yang merasa terpojok mencoba menelan ludah. Tangannya gemetar dan matanya tidak bisa menatap langsung ke arah Kirana. “Oke… oke.. aku ngerti…,” gumannya dengan suara kecil hampir seperti bisikan. Ada rasa malu yang membara di dadanya tapi juga ketakutan yang tidak bisa ia sembunyikan.
Kirana melepaskan genggaman pada Susi dan melangkah mundur memberikan jarak di antara mereka. “Baik…,” ujarnya dengan lebih tenang sekarang tapi tetap tegas. “Aku harap ini yang terakhir kali kita ribut. Aku nggak mau ada masalah… tapi aku juga nggak takut sama kalian.”
Kirana berbalik dengan langkah tegas dan penuh keyakinan. Tapi di balik itu dadanya berdegup kencang. Meskipun konflik dengan Susi telah berakhir saat ini, tapi Kirana masih merasa was-was. Kirana khawatir kalau Susi dan teman-temannya belum benar-benar kapok. Mungkin mereka hanya mundur untuk sementara tapi siapa tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari?
Ririn yang ternyata mengintip dari balik pintu gudang merasa bangga atas apa yang dilakukan sahabatnya. Dia menyusul ke gudang belakang sekolah karena merasa sedikit khawatir dengan kondisi Kirana, walaupun dia tahu bahwa Kirana pasti bisa menghadapi Susi dengan gengnya. Dia tahu bahwa Kirana orang yang tidak mudah menyerah. Tapi melihat sahabatnya berdiri tegak melawan Susi dan gengnya membuatnya merasa lega sekaligus terharu. Dia tidak ikut campur karena yakin Kirana bisa menghadapi ini sendiri tapi tetap saja kecemasan sempat menyelimutinya.
Susi dan teman-temannya terdiam dan terlihat masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Susi merasa malu dan marah tapi juga takut. Ia tidak menyangka Kirana bisa sekuat itu, baik secara fisik maupun mental. Ia merasa dikalahkan dan itu membuatnya tidak merasa nyaman.
Sementara itu Kirana berjalan keluar dari gudang dengan langkah yang tetap tegas. Udara segar di luar gudang menyambutnya dan ia menarik napas dalam-dalam mencoba menenangkan diri. Ia tahu ini mungkin bukan akhir dari masalah, tapi setidaknya ia sudah memberikan peringatan. Ia juga merasa lega karena sudah merekam semuanya sebagai bukti jika suatu saat diperlukan.
Tapi kekhawatiran itu tetap ada. Kirana hanya berharap Susi dan teman-temannya kapok dan tidak mengganggu mereka lagi. Namun di dalam hatinya ia tahu bahwa hidup tidak selalu berjalan mulus. Akan ada kejadian-kejadian lain yang mungkin menyusul dan dia harus siap menghadapinya.
Ririn yang menunggu di luar gudang langsung menghampiri Kirana begitu melihatnya keluar. “Kir…! Kamu baik-baik aja? Aku khawatir banget!” teriak Ririn matanya penuh kecemasan. Tangannya memegang lengan Kirana seolah memastikan bahwa sahabatnya benar-benar tidak apa-apa.
Kirana tersenyum kecil dan mencoba menenangkan sahabatnya. “Aku baik-baik aja, Rin. Susi dan teman-temannya nggak akan ganggu kita lagi. Aku sudah memberi mereka pelajaran... walaupun masih belum seberapa... tapi setidaknya mereka tidak akan mengganggu kita sementara waktu,” jawabnya sambil memegang bahu Ririn memberikan tekanan lembut untuk meyakinkannya.
Ririn mengangguk meski ekspresi wajahnya masih menunjukkan kekhawatiran. “Kamu yakin nggak apa-apa? Mereka nggak sakiti kamu?” tanyanya lagi dengan suaranya yang bergetar.
Kirana menggeleng dengan senyum kecil yang tetap terpancar. “Nggak, Rin. Aku bisa hadapi mereka. Aku janji… kita akan baik-baik aja,” ujarnya sambil tersenyum dan mencoba meyakinkan Ririn. Tapi di dalam hatinya ia tahu ini belum selesai. Masih ada pertarungan yang harus dihadapinya tapi setidaknya ia tidak sendirian.
Ririn menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan dirinya. “Aku percaya sama kamu Kir… Tapi kalau ada apa-apa… kamu harus bilang ke aku ya. Jangan sendirian lagi…,” ujarnya dengan tatapan penuh ketulusan.
Kirana mengangguk dan perasaannya terasa hangat dengan dukungan sahabatnya. “Iya Rin… aku janji.”
Mereka berjalan beriringan meninggalkan gudang dan masalah yang baru saja terjadi. Langkah mereka mungkin masih berat tapi setidaknya mereka punya satu sama lain. Kirana menatap ke depan dan matanya penuh tekad. Dia tahu bahwa hidup akan terus mengujinya tapi dia siap. Siap untuk menghadapi apapun yang akan datang bersama Ririn di sisinya.
-----
Setelah kejadi di gudang belakang sekolah, suasana di sekolah terasa lebih tenang. Tidak ada lagi teriakan dan bully-an yang dulu sering dilakukan Susi dan temannya kepada siswi lainnya.... kini menghilang. Tidak ada lagi gangguan dan kejadian berarti yang membuat Kirana dan Ririn merasa tidak nyaman. Siswi-siswi lainnya juga bisa bernapas lega karena terbebas dari tekanan Susi dan teman-temannya. Mereka kembali menjalani rutinitas sehari-hari seperti biasa meskipun ada perasaan was-was yang kadang masih menghantui pikiran Kirana.
Sekarang setiap kali bertemu di selasar sekolah atau kantin, Susi dan teman-temannya selalu menunduk malu dan menghindari kontak mata dengan Kirana dan Ririn. Mereka seolah-olah berusaha menghilang dari hadapan Kirana dan Ririn. Ririn yang selalu bersikap tegas dan sedikit jutek sering kali melirik tajam ke arah mereka. Matanya penuh kewaspadaan seolah ingin memastikan bahwa mereka tidak akan mencoba sesuatu yang akan mencelakai Kirana dan dirinya.
Suatu siang saat mereka sedang duduk di kantin menikmati makan siang, Ririn melihat Susi dan teman-temannya lewat dari kejauhan. Ririn melipat tangannya dan mengerutkan keningnya. “Lihat tuh Kir… Mereka masih saja nunduk-nunduk kayak anak kecil yang ketahuan nakal,” ujarnya dengan nada sedikit sarkastik tapi ada sedikit kepuasan di suaranya.
Kirana yang sedang asyik menyantap makan siangnya mengangkat kepala dan mengikuti pandangan Ririn. Dia melihat Susi yang berjalan cepat namun matanya menatap lantai. Ada sesuatu yang membuat Kirana merasa iba. Kirana menghela napas pelan. “Rin… udah deh… Mereka juga manusia. Mungkin mereka sudah kapok. Nggak perlu kamu jutek terus kepada mereka,” ujarnya berusaha mencoba menenangkan sahabatnya.
Ririn mengerutkan dahinya seperti tidak sepenuhnya setuju. “Tapi kan mereka yang mulai duluan Kir… Aku nggak mau kita jadi korban lagi. Lebih baik aku jutekin mereka biar mereka nggak berani macam-macam lagi sama kita.”
Kirana tersenyum kecil dan menaruh sendoknya di piring. “Aku ngerti perasaan kamu Rin… Tapi menurutku nggak ada salahnya kita kasih mereka kesempatan untuk berubah. Aku percaya kalau mereka bisa jadi lebih baik.”
Ririn menghela napas panjang namun matanya masih tetap waspada. “Kamu terlalu baik Kir… Aku sih nggak yakin mereka bakal berubah. Tapi… aku percaya sama kamu.”
Kirana mengangguk dan senyumnya tetap hangat. “Makasih Rin… Aku cuma berharap nantinya kita bisa berteman dengan mereka. Nggak perlu bermusuhan terus.”
Ririn menggeleng-gelengkan kepalanya tapi ada senyum kecil yang muncul di bibirnya. “Kamu beneran tidak ada obat deh… Tapi nggak apa-apa… Aku selalu mendukungmu…”
Mereka berdua tertawa kecil untuk mencairkan ketegangan yang sempat terasa. Meskipun Ririn masih tetap waspada namun dia tahu bahwa Kirana punya cara sendiri untuk melihat kebaikan dalam diri orang lain. Dan itulah yang menjadi salah satu yang dia kagumi dari sahabatnya.
Di sisi lain… Susi dan teman-temannya memang terlihat berbeda. Mereka tidak lagi berjalan dengan angkuh atau mencoba mencari masalah. Bahkan suatu kali saat Susi secara tidak sengaja bertemu Kirana di toilet sekolah, dia hanya mengangguk cepat dan bergegas pergi. Kirana bisa melihat ada perubahan kecil dalam sikap Susi meskipun masih jauh dari kata bersahabat.
“Mungkin mereka memang butuh waktu,” guman Kirana dalam hati. Dia berharap suatu hari nanti Susi dan teman-temannya bisa benar-benar berubah dan mereka semua bisa berteman tanpa ada rasa curiga atau permusuhan.
Sementara itu… Ririn tetap setia bersama Kirana meskipun sikap juteknya kepada Susi dan teman-temannya tidak pernah berkurang. Tapi di balik itu… dia juga mulai memahami bahwa Kirana punya cara tersendiri untuk menghadapi situasi ini. Dan dia akan selalu ada untuk sahabatnya… apapun yang akan terjadi.
-----
Setelah ini akan ada konflik melibatkan Kirana, Ririn, Daniel dan Susi... terus ikuti novel ini ya...!!!