Zyan, seorang agen yang sering mengemban misi rahasia negara. Namun misi terakhirnya gagal, dan menyebabkan kematian anggota timnya. Kegagalan misi membuat status dirinya dan sisa anggota timnya di non-aktifkan. Bukan hanya itu, mereka juga diburu dan dimusnahkan demi menutupi kebenaran.
Sebagai satu-satunya penyintas, Zyan diungsikan ke luar pulau, jauh dari Ibu Kota. Namun peristiwa naas kembali terjadi dan memaksa dirinya kembali terjun ke lapangan. Statusnya sebagai agen rahasia kembali diaktifkan. Bersama anggota baru, dia berusaha menguak misteri yang selama ini belum terpecahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Serangan Dua Arah
Motor yang dikendarai Zyan terus melaju dengan kencang. Pria itu mengarahkan kendaraan roda duanya menuju perbatasan antara Desa Pagar Anam dan Kota Bandar Baru. Di sanalah Budi tinggal selama ini. Budi bukan asli orang Tanjung Harapan. Dia bersama provokator lainnya sengaja didatangkan dari luar Kepulauan Riau. Tujuannya jelas, untuk menyingkirkan orang-orang yang dianggap menghalangi berdirinya kasino.
Mereka sudah sampai sejak tiga bulan lalu dan membaur dengan warga sekitar. Selain bersiap untuk melakukan aksi, mereka juga memata-matai orang yang sudah diincarnya, termasuk Amma. Zyan menghentikan motornya di depan sebuah bangunan yang jauh dari jalan. Bangunan tersebut menghadap ke danau buatan. Di depan danau, nampak Budi bersama tiga temannya tengah bersantai. Dia tidak mendapat tugas berdemo, karena sudah diwakilkan rekannya yang lain. Pria itu baru saja kembali setelah mengamati keadaan di sekitar pondok dan menebarkan rumor tentang penutupan pondok.
Zyan turun dari motornya. Dia sengaja tidak melepas helmnya. Dengan langkah tenang, pria itu berjalan mendekati empat pria yang belum menyadari kehadirannya. Tepat ketika Zyan sudah berada di belakang keempat pria itu, salah satunya menyadari kehadiran Zyan.
"Siapa kamu? Mau apa kamu?"
Tanpa menjawab pertanyaan pria itu, Zyan segera menyerang mereka. Terkejut mendapati serangan dari Zyan, keempatnya langsung menghadapi pria itu. Pukulan dan tendangan Zyan mendarat di keempat pria itu. Ternyata kemampuan beladiri mereka biasa saja dan membuat Zyan dengan mudah menaklukkan keempatnya.
Keempat pria itu sudah terkapar di tanah. Mereka mengerang kesakitan sambil memegangi perutnya. Bukan hanya perut, tapi sekujur tubuh mereka merasa kesakitan. Zyan mendekati Budi, dengan sebelah tangannya, dia mencengkeram rahang Budi.
"Siapa yang sudah menyuruhmu mengusik ketenangan pondok?"
"Ibumu!"
"Wrong answer!"
BUGH!
BUGH!
Dua pukulan beruntun mengenai wajah Budi. Tiga temannya yang lain hanya bisa menatap Budi yang tengah dihajar oleh Zyan. Jangankan membantu, untuk bangun saja mereka sudah tidak punya tenaga. Hidung dan mulut Budi sudah mengeluarkan darah setelah dihajar oleh Zyan.
"Kamu boleh memukulku sepuasmu, tapi jawabanku tetap sama," ujar Budi sambil terkekeh.
Zyan berdiri kemudian menyeret tubuh Budi menuju danau. Seketika pria itu langsung panik. Budi tidak bisa berenang. Dia takut akan ditenggelamkan oleh penyerangnya. Zyan mengambil tali kemudian mengikat tubuh Budi. Setelah tubuh Budi sudah terikat tali, dengan satu tendangan dia membuat Budi tercebur ke dalam danau.
"Tolong!!! Tolong!!" seru Budi dengan panik.
Zyan mendekati tepi danau. Pria itu berjongkok sambil memegangi tali yang mengikat tubuh Budi. Pria itu masih dalam posisi aman karena Zyan masih memegangi tali yang mengikat tubuhnya.
"Apa jawabanmu masih sama sekarang?"
"Tolong!! Tolong keluarkan aku!!"
"Wrong answer!"
Zyan mendorong tubuh Budi hingga pria itu kehilangan pijakan. Tubuhnya naik turun di dalam air. Zyan masih memegangi tali yang mengikat Budi. Tangan Budi menggapai-gapai, pria itu mulai panik. Dia takut akan tenggelam. Terlihat Zyan masih nampak santai sambil memainkan tali di tangannya.
"Barly! Barly yang membayarku," akhirnya keluar juga pengakuan dari mulut Budi.
"Selain dia, siapa lagi yang ada di belakangnya?"
"Ayahnya. Dia yang membayarku dan teman-temannya ku. Barly yang mengatur strateginya."
"Siapa lagi?"
"Ada satu orang lagi, tapi aku tidak tahu dia. Dia berasal dari Jakarta, Barly dan ayahnya terlihat begitu tunduk padanya."
"Sebutkan ciri-cirinya!"
"Pria berusia sekitar lima puluhan. Dia bersama seseorang yang seperti penjaganya. Dia berkacamata, tubuhnya tinggi, tidak kurus, tidak gemuk juga. Tapi aku tidak tahu namanya."
"Apalagi yang kamu tahu?"
"Hanya itu saja. Aku hanya sekali bertemu dengannya. Aku sudah katakan semuanya, tolong keluarkan aku."
Zyan segera menarik tali di tangannya. Pria itu nampak lega setelah berhasil keluar dari danau. Nafasnya masih memburu dan dadanya berdebar kencang. Tubuhnya pun terasa lemas. Zyan menariknya bergabung dengan tiga temannya yang lain. Tak berapa lama kemudian, sebuah mobil Van berhenti di dekat motor Zyan. Dari dalamnya keluar Putra. Pria itu membuka sliding door bagian belakang mobil lalu mengambil empat buah karung besar.
Melihat Putra datang dengan membawa pesanannya, Zyan segera mengambil empat karung tersebut. Bersama pria itu, Zyan memasukkan Budi dan tiga orang lainnya ke dalam karung. Bagian depan karung dihubungi agar mereka tetap bisa mendapat pasokan oksigen. Kemudian keempatnya dimasukkan ke dalam mobil.
"Mereka akan dikirim sore ini juga kan?"
"Iya. Tenang saja, mereka akan kukirim keluar Tanjung Harapan dan memastikan mereka tidak akan kembali lagi ke sini."
"Besok kita kirim paket lain."
"Oke."
Putra segera masuk ke dalam mobilnya kemudian melajukannya kembali. Zyan menuju motornya, dia hendak kembali ke pondok. Untuk hari ini dia hanya mengincar Budi dan tiga temannya, besok dia akan kembali mengeluarkan para provokator dari Tanjung Harapan.
***
Sebuah mobil sedan mewah berhenti di depan lobi kantor PT. Exim Perkasa. Dari dalamnya keluar Marwan. Para pegawai langsung memberikan hormatnya pada pimpinan perusahaan yang sekarang menjabat sebagai Walikota Bandar Baru. Selama Marwan menjalankan tugasnya sebagai Walikota, pimpinan perusahaan dialihkan pada anak pertamanya, dibantu oleh Barly.
Marwan memiliki tiga orang anak. Anak sulungnya mengelola perusahaan yang didirikan oleh sang Kakek. Anak keduanya perempuan dan menikah dengan seorang Jaksa. Sementara anak bungsunya adalah Barly. Ketika Barly hendak menikahi Nisa, awalnya Marwan menolak. Namun saat tahu kalau Amma memiliki tanah yang cukup banyak di Desa Pagar Anam, penolakan Marwan berubah menjadi restu. Pria itu berharap sang anak bisa mendapatkan tanah milik Amma dengan menikahi Nisa.
Kedatangan Marwan kali ini tentu saja ingin melihat sejauh mana sang anak menjalankan perusahaan. Lebih dulu Marwan menemui anak pertamanya. Selesai bertemu dengan Idham, Marwan pun lanjut ke ruang Barly. Kedatangan Marwan tentu saja menanyakan kemajuan Barly yang berupaya menutup pondok pesantren.
"Bagiamana perkembangan pondok?"
"Masih dalam progress, Pa. Setiap hari aku sudah menyuruh orang untuk berdemo di depan pondok. Media juga sudah kuperintahkan untuk terus memberitakan kasus pelecehan yang dilakukan Amma. Beberapa tokoh sudah kuhubungi untuk menggaungkan penutupan pondok. Mereka aktif berbicara di acara televisi. Menteri agama masih melakukan peninjauan. Dengan banyaknya orang yang mendukung penutupan pondok, aku yakin menteri agama hanya tinggal ketok palu saja.
"Bagaimana dengan Nisa? Apa kamu sudah bisa mendapatkan surat tanah yang dimiliki Nisa?"
"Belum, Pa. Nisa masih berduka, Papa harus bersabar. Aku janji, tanah Amma yang sudah dimiliki Nisa akan menjadi milikku sepenuhnya."
"Apa kamu yakin?"
"Tentu saja. Nisa itu sangat mencintaiku. Dia rela melakukan apa saja untukku. Apa Papa lupa kalau dulu Amma tidak menyetujui hubungan kami? Karena Nisa bersikeras, akhirnya Amma luluh juga. Sekarang Amma sudah tidak ada. Akan lebih mudah bagiku untuk mengendalikan Nisa."
"Perlakukan Nisa dengan baik. Meluluhkan wanita itu mudah, berikan perhatian dan uang, mereka pasti akan bertekuk lutut di bawah kakimu."
"Iya, Papa tenang saja."
Senyuman tersungging di wajah Marwan. Dia memang secepatnya harus menguasai tanah yang dimiliki Amma. Orang di atasnya sudah tidak sabar dengan hal itu. Tanah milik Amma akan membuat bisnis mereka semakin besar nantinya. Nantinya lokasi kasino akan dipindah ke tanah milik Amma. Hingga lokasi tersebut akan menjadi one stop business bagi Marwan dan para koleganya.
Merasa tak ada yang perlu dibicarakan lagi, Marwan pun meninggalkan ruangan sang anak. Pria itu harus kembali ke Balai Kota. Sepeninggal Marwan, sekretaris Barly masuk dengan membawa beberapa surat yang datang hari ini. Wanita itu meletakkan surat di atas meja kerja Barly. Belum sempat Barly memeriksa surat yang datang, ponselnya berdering. Ramlan, orang yang ditugaskan menjadi provokator menghubunginya.
"Halo."
"Halo, Pak. Budi dan tiga orang lainnya menghilang."
"Bagiamana bisa? Apa dia bilang mau pergi ke suatu tempat?"
"Ngga, Pak. Kemarin mereka hanya berada di rumah saja."
"Periksa cctv di sana."
"Sudah, Pak. Dari rekaman cctv terlihat kalau Budi dan yang lain berjalan ke arah danau. Namun mereka tidak kembali lagi ke rumah."
"Dasar bodoh! Terus cari keberadaan mereka!"
"Baik, Pak."
"Teruskan demo di depan pondok. Ajak warga lain untuk meminta penutupan pondok."
"Baik."
Panggilan pun berakhir. Barly mengumpat kesal. Pekerjaan belum selesai, namun Budi bersama tiga orang lainnya malah menghilang. Dengan kesal dia menjatuhkan bokongnya ke atas kursi kerja. Matanya kemudian melihat pada tumpukan surat yang tadi hendak dilihatnya. Diambilnya tumpukan surat tersebut dan dilihat satu per satu.
Kebanyakan surat yang datang adalah penawaran kartu kredit dari beberapa bank. Namun di surat terakhir, keningnya berkerut ketika melihat logo pengadilan agama di amplop. Pria itu segera membuka amplop. Tangan Barly meremat surat panggilan dari pengadilan agama. Tidak disangka Nisa melayangkan gugatan cerai padanya. Tanpa berpikir panjang, Barly segera keluar dari ruangannya. Tentu saja dia akan menemui Nisa. Kalau sampai wanita itu menceraikannya, maka peluang memiliki tanah Amma akan tertutup.
***
Dengan kecepatan tinggi Barly memacu kendaraannya menuju pondok pesantren Ulul Ilmi. Dia yakin sekali kalau Nisa berada di sana. Tak sampai setengah jam, dia sudah tiba di pondok. Sambil membanting pintu mobil, Barly bergegas memasuki kediaman Amma. Kedatangannya disambut oleh Ummi. Wanita itu masih belum tahu persoalan tentang Barly. Husein dan Nisa sengaja merahasiakan soal Barly dari Sang Ibu.
"Nisa ada, Ummi?"
"Nisa ada di kamarnya."
Tanpa mengucapkan apapun lagi, Barly bergegas menuju kamar Nisa. Pria itu langsung membuka pintu kamar yang memang tidak dikunci. Hal tersebut mengejutkan Nisa yang baru saja selesai menunaikan shalat Dzuhur. Melihat raut muka suaminya, Nisa yakin kalau Barly sudah menerima surat panggilan dari pengadilan agama.
"Nisa.. apa kamu bisa jelaskan ini?"
Barly mengeluarkan surat yang sedari tadi dikantonginya, lalu memberikannya pada sang istri. Nisa masih bersikap tenang. Dia membiarkan tangan Barly tergantung begitu saja. Sambil melipat sajadah dan mukena, wanita itu menjawab santai pertanyaan suaminya.
"Apa Abang tidak bisa membaca? Bukankah sudah jelas kalau itu adalah surat panggilan dari pengadilan agama."
"Ada apa Nisa? Kenapa kamu tiba-tiba menggugat cerai? Apa kesalahanku?"
Ingin rasanya Nisa menampar wajah Barly atau mencakarnya. Sebisa mungkin Nisa mencoba menahan amarahnya. Dia tidak mau terjadi pertengkaran di kediaman orang tuanya. Sudah cukup kesedihan yang dirasakan Ummi. Jangan sampai wanita itu kembali dibuat terkejut dengan masalah dirinya dan Barly. Nisa mengambil ponselnya lalu memperlihatkan video di mana Barly masuk ke dalam kamar yang dimasuki oleh Revina. Mata pria itu langsung membulat.
***
Barly dapat serangan dua arah
Minal aidin walfaidzin jg mak mohon maaf lahir dan batin 🙏🥰
keburu lebaran ketupat belum di tangkap. hehehe
Goodlah Zyan dan Armin, setelah ini tinggal pantau aja kegiatan Marwan melalui cctv dan penyadapan.
tunggulah akan ada masa naya kau kena karma barli