NovelToon NovelToon
Menjemput Cahaya

Menjemput Cahaya

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Spiritual
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Lianali

SPESIAL RAMADHAN

Sekuel dari cerita Jual Diri Demi Keluarga.

Setelah melewati masa kelam yang penuh luka, Santi memutuskan untuk meninggalkan hidup lamanya dan mencari jalan menuju ketenangan. Pesantren menjadi tempat persinggahannya, tempat di mana ia berharap bisa kembali kepada Tuhannya.

Diperjalanan hijrahnya, ia menemukan pasangan hidupnya. Seorang pria yang ia harapkan mampu membimbingnya, ternyata Allah hadirkan sebagai penghapus dosanya di masa lalu.



**"Menjemput Cahaya"** adalah kisah tentang perjalanan batin, pengampunan, dan pencarian cahaya hidup. Mampukah Santi menemukan kedamaian yang selama ini ia cari? Dan siapa pria yang menjadi jodohnya? Dan mengapa pria itu sebagai penghapus dosanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21_Untung Ada Adam

Santi baru saja selesai membeli beberapa bahan dapur untuk dapur umum. Tangannya menggenggam kantong plastik berisi sayur-mayur dan bumbu dapur. Hari mulai beranjak sore, dan pasar yang tadinya ramai perlahan mulai lengang. Ia harus segera kembali ke pesantren sebelum Magrib.

Namun, saat melewati gang sempit di dekat pasar, firasat buruk menyelimutinya. Sepi. Hanya ada beberapa kios yang sudah tutup, dan lampu jalan belum menyala sepenuhnya. Langkahnya semakin cepat, tapi suara langkah lain mengikutinya.

Tiba-tiba, tiga pria bertubuh kekar muncul dari sudut gang. Salah satu dari mereka, yang mengenakan jaket hitam dan celana sobek, bersiul seraya menatapnya dengan senyum miring.

"Mau ke mana, Neng?" suaranya berat, licik.

Santi berhenti. Dada berdebar keras. Ia mencoba melangkah mundur, tapi pria lain sudah berdiri di belakangnya.

"Cantik-cantik sendiri aja di tempat sepi gini. Gak takut diculik?" ujar pria berambut gondrong, matanya liar menelusuri wajah Santi.

Jantungnya seperti mau meledak. Ia mengeratkan genggaman pada kantong belanjaannya, mencoba menenangkan diri.

"Saya cuma lewat, permisi," katanya setenang mungkin.

Namun, pria di depannya malah terkekeh. Tangan kasarnya tiba-tiba menarik ujung jilbab Santi.

"Jilbab segede gini ngapain? Gak gerah?" katanya sambil menariknya lebih kuat.

Santi tersentak. Tangannya cepat menepis, tubuhnya mundur dengan napas memburu. Otaknya bekerja cepat mencari jalan keluar. Jika berteriak, akankah ada yang menolong? Tapi gang ini begitu sepi!

Salah satu pria yang bertato di lengannya maju, mencoba meraih pergelangan tangan Santi. Refleks, Santi memukul tangannya dengan kantong belanja. Plastik itu pecah, sayur dan bumbu berserakan di tanah.

"Wah, galak juga!" pria itu terkekeh, tapi matanya menyipit marah.

Santi berusaha berlari, tapi seseorang menarik lengannya kasar. Ia tersentak ke belakang, nyaris jatuh.

"Jangan coba-coba lari, Cantik. Kita cuma mau ngobrol sebentar," bisik pria itu di telinganya.

Napasnya memburu. Jantungnya terasa mencelos ke dalam perut. Santi harus berpikir cepat.

Santi berusaha meronta, tapi genggaman pria itu terlalu kuat. Tubuhnya ditarik ke dalam gang yang lebih gelap, jauh dari jalan utama. Nafasnya memburu, ketakutan mencekik tenggorokannya.

"Tolong...! Tolong!" jeritnya sekuat tenaga.

Namun, pria yang menariknya hanya terkekeh, lalu menutup mulutnya dengan tangan kasar, "ssst! Gak usah teriak-teriak, gak ada yang bakal denger," bisiknya dengan suara dingin.

Pria bertato mengeluarkan sesuatu dari saku celananya—sebilah pisau lipat. Ia memutar-mutarnya di antara jari, mata jahatnya mengunci pada Santi, "jangan bikin kami kesal, atau pisau ini bakal kena ke kulit cantikmu," ancamnya.

Santi menggigil. Tubuhnya gemetar hebat. Dadanya naik turun, mencoba bernapas dengan benar. Otaknya bekerja cepat, tapi tak ada jalan keluar.

Pria berambut gondrong menarik ujung jilbabnya lagi. Kali ini lebih kasar, nyaris membuatnya tercekik, "lepas aja, pasti lebih enak dilihat," katanya sambil tertawa sinis.

Air mata mulai menggenang di mata Santi. Ia mencoba menendang, tapi pria di belakangnya mencekal pinggangnya erat, "jangan lawan, Sayang, nanti malah makin seru," bisik pria itu dengan nada mengerikan.

Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar mendekat. Disusul suara geraman dingin yang membelah keheningan.

"Lepaskan dia!"

Pria-pria itu menoleh. Sosok tinggi berdiri di ujung gang. Adam.

Matanya menatap tajam penuh amarah. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya.

"Siapa lo?" pria bertato menyeringai, masih memutar-mutar pisaunya, "mau sok jagoan lo di sini, he?"

Adam tidak menjawab. Dalam hitungan detik, ia melesat. Tinju pertamanya menghantam wajah pria gondrong dengan keras, membuatnya terhuyung ke belakang sambil memegangi hidung yang mulai berdarah.

Pria bertato mencoba menyerang dengan pisaunya, tapi Adam lebih cepat. Ia menangkisnya dengan lengan, lalu menyikut rahang pria itu hingga jatuh tersungkur.

Pria yang memegangi Santi langsung panik. Ia mencoba menarik tubuh Santi ke belakang sebagai tameng, tapi Adam tak memberi kesempatan. Dengan sekali tarikan kuat, ia menarik pria itu dari Santi dan melemparkannya ke tembok.

Santi terhuyung, nyaris jatuh, tapi Adam segera menangkapnya, "kamu gak apa-apa?" suaranya rendah, penuh kekhawatiran.

Santi hanya bisa mengangguk lemah, napasnya masih tersengal.

Melihat teman-temannya babak belur, pria bertato akhirnya menyerah, "sialan!" gerutunya sebelum lari terbirit-birit. Dua lainnya segera menyusul, meninggalkan kantong belanjaan yang sudah berantakan di tanah.

Adam masih memegang bahu Santi. Matanya mengamati wajah gadis itu dengan cemas, "kamu tidak apa-apakan?" tanyanya kembali memastikan dengan pelan.

Santi masih syok, tapi dia menggelengkan kepala pelan, "tidak apa-apa, Ustadz," ucapnya dengan nada bergetar.

Adam menghela napas lega, "Alhamdulillah, kalau kamu tidak apa-apa, mari pulang bersama saya."

Tanpa banyak bicara, ia mengambil kantong plastik yang tersisa, lalu berjalan di samping Santi, memastikan tidak ada lagi bahaya yang mengintai.

Mereka pun berjalan menuju parkiran mobil.

"Ehem, saya bukan supir kamu, loh," ujar Adam sambil sedikit melirik ke arah Santi, nada suaranya datar, tapi ada sedikit ejekan di dalamnya.

Santi yang sudah bersiap membuka pintu belakang, mengerutkan kening, bingung dengan ucapan Adam.

"Duduk di depan," lanjut Adam, kali ini suaranya lebih tegas, seolah tak ingin ada perdebatan.

Barulah Santi mengerti. Dengan sedikit canggung, ia menutup kembali pintu belakang dan melangkah ke kursi depan.

Begitu Santi masuk, Adam langsung menyodorkan air mineral kepadanya.

"Minum dulu, tenangkan diri," ujarnya datar.

"Terimakasih banyak Ustadz," ucap Santi menerima botol air mineral itu, lalu meminumnya. Kemudian ia menarik napas dan menghembuskannya pelan.

"Kita sudah bisa pulang?" tanya Adam dengan nada suara datar.

Santi mengangguk pelan, "ya, silahkan Ustadz."

Adam kemudian menyalakan mobilnya, tangannya cekatan memutar setir, dan mulai melaju dengan kecepatan sedang. Tatapannya tetap fokus ke jalan, ekspresinya sulit ditebak.

"Kok bisa sore begini kamu belanja sendirian?" tanyanya tiba-tiba, nada suaranya terdengar cuek, tapi ada sedikit nada penasaran, "bukannya biasanya petugas dapur itu belanjanya berdua atau bahkan bertiga?"

Santi menoleh sekilas ke arahnya, lalu kembali menunduk, "iya, Ustadz, biasanya memang begitu," jawabnya pelan, "tapi karena barang belanjaannya sedikit, dan teman-teman saya pun sedang ada kerjaan lain, jadinya saya putuskan untuk berangkat sendiri saja."

Adam menghela napas pelan, sorot matanya sedikit mengeras, "hemm, lain kali jangan bepergian sendiri, harus ada temannya." Kali ini, nadanya terdengar lebih serius, "untung ada saya tadi, kalau tidak? Bagaimana jadinya?"

Santi menggigit bibirnya, merasa bersalah. Ia menunduk, jemarinya saling meremas di atas pangkuan, "maaf, Ustadz. Saya janji lain kali tidak akan bepergian sendiri lagi," ucapnya lirih.

Adam meliriknya sekilas, lalu menghela napas, sebelum akhirnya tersenyum kecil, nyaris tak terlihat.

Keheningan kembali menyelimuti mobil. Santi menggenggam roknya erat, lalu teringat sesuatu. Ia memberanikan diri untuk membuka suara.

"Oh ya, Ustadz..." suaranya terdengar ragu-ragu.

Adam hanya bergumam singkat, "em."

Santi menarik napas sebelum melanjutkan, "Tasbih kayu Ustadz ketinggalan di bus, dan saya menemukannya. Saya ingin mengembalikannya kepada Ustadz, tapi tasbihnya masih ada di lemari kamar saya… saya tidak membawanya."

Adam mengerutkan kening, seakan berusaha mengingat sesuatu. Setelah beberapa detik, ekspresinya sedikit berubah.

"Jadi, tasbih itu jatuh di bus, ya?" gumamnya pelan.

Adam sudah lama mencari tasbih kayu itu, tasih kayu itu sangat berharga baginya, sebab ibunya lah dulu yang membelikannya.

Santi mengangguk kecil, "iya, Ustadz. Saya menemukannya di atas kursi. Tasbihnya masih bagus, jadi saya simpan dengan baik."

Adam kembali menatap jalan di depannya. Kali ini, matanya terlihat lebih tenang, seolah ada beban yang sedikit terangkat, "kalau begitu nanti atau besok, temui saya, dan berikan tasbih itu kepada saya." Suaranya kembali normal, tenang dan terkontrol. "Sebelumnya saya ucapkan terima kasih karena kamu telah menyimpannya."

Santi tersenyum tipis, sedikit lega, "iya, Ustadz."

Mobil kembali sunyi. Adam tetap fokus mengemudi, sementara Santi sibuk dengan pikirannya sendiri, merasa campuran antara canggung dan tidak enak hati.

1
Susi Akbarini
kalao suka halalin aja..
jgn asal nyosor..
bahaya donk..
kan udah jadi ustad..
😀😀😀❤❤❤❤❤
Susi Akbarini
sayang di pesantren gak ada cctv..

myngkin saja ada yg lihat mereka lagi ambil vairan pel atau saat nuang di lantai..
❤❤❤❤❤
Susi Akbarini
kalo suka ama santi..
halalin aja.

😀😀😀❤❤❤❤
Susi Akbarini
adam terciduk..
😀😀😀❤❤❤❤❤
Diana Dwiari
bakal ketahuan ga ya.....
Lianali
cerita yang penuh makna.
Susi Akbarini
Adam ..
dingin..
menghanyutkan..

❤❤❤❤❤❤😉
Susi Akbarini
sebagai mantan penikmat wanita.

pasti Adam.paham Santi punya daya tarik pemikat..

mudah2an..
Adam.mau halalin Santi lebih dulu...
❤❤❤❤❤
Susi Akbarini
oalah..
mudah2an karena sama2 pendosa..
jadi sama2 mau neryonat dan menyayangi..
❤❤❤❤❤
Susi Akbarini
tatapan Adam seperti menginginkan Santi..
Santi jadi gak kuat..
😀😀😀❤😉❤
Susi Akbarini
mungkin Adam ada rasa ama Santi.

atau jgn2 Dam pernah tau Santi sblm mereka ktmu di bus.

mungkinkah hanya Adam yg tulus mau nikahi Santi..
mengingat ibu Adam kan udah meninggal.. .
jadi gak ada yg ngelarang seperti ibu Fahri..
❤❤❤❤❤❤
Diana Dwiari
ada yang panas nih.....
Diana Dwiari
ah.....jangan2 Ros adalah gadis yg diinginkan fahri
0v¥
kenapa klo fahri ama santi, kenapa umi nya fahri tidak setuju, jgn karena masa lalunya santi kelam, semua dimata Allah sama klo benar 2 mau tobat di jalan Allah,
Susi Akbarini
duuhhhhh....
jadi penasarannn...
siapa akhirnya jodoh Santi..
❤❤❤❤❤❤
Susi Akbarini
waduuuhhhh..
saingan terberat Santi datang..
😀😀❤❤❤❤
Susi Akbarini
berasa nonton film ayat2 cinta..
😀😀😀❤❤❤❤
Susi Akbarini
Adam
Susi Akbarini
mungkinkah mereka berjodoh???
❤❤❤❤❤
Susi Akbarini
bukan orang baik yg bagaimna?
jadi penasarannn..
❤❤❤❤❤❤
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!