Azizah pura pura miskin demi dapat cinta sejati namun yang terjadi dia malah mendapatkan penghinaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 19 Luna wijaya
Romi Aditama duduk di kursi belakang mobil mewahnya, sementara sang sopir membawa kendaraan dengan kecepatan sedang. Di tangannya, ada setumpuk dokumen dan laptop terbuka di pangkuannya, tetapi pikirannya justru melayang jauh dari pekerjaan.
Sudah empat hari ini, ada satu bayangan yang terus mengganggunya.
Azizah.
Wanita itu… dengan perutnya yang membuncit, wajahnya yang terlihat letih, dan sorot mata yang entah kenapa membuat dadanya terasa tidak nyaman.
Azizah sedang hamil, tapi kenapa dia tidak didampingi suaminya?
Kenapa dia ada di apartemen Cindy? Bukannya di rumah suaminya?
Dan yang lebih aneh lagi—kenapa dia ada di rumah keluarga Pratama?
Kenapa dia tidak kembali ke rumah suaminya?
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul tanpa diundang, menyesakkan dadanya dengan kebingungan yang seharusnya tidak dia rasakan. Siapa dia sebenarnya? Kenapa aku harus peduli?
Dia bukan suaminya. Dia bukan kerabatnya. Lalu kenapa pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya dijawab oleh suaminya justru menghantuinya?
Romi menghela napas, mengusap wajahnya dengan frustasi. Ini tidak masuk akal.
"Bos, sudah sampai," suara sopir membuyarkan lamunannya.
Romi menutup laptopnya dan keluar dari mobil dengan langkah elegan. Begitu kakinya menginjak tanah, para ART sudah berjejer menyambutnya dengan penuh hormat.
Belum sempat dia menarik napas lega, suara ibunya langsung menyambut dengan nada tajam.
"Romi, dari mana saja kamu?" Laras, ibunya, menatapnya dengan tatapan penuh selidik.
Romi memijat pelipisnya. "Ya kerja lah, Mah. Ngapain lagi coba?" jawabnya dengan malas.
"Tapi kenapa nggak bales WA Mama, hah? Mau menghindar lagi dari perjodohan, ya?" Nada suara Laras semakin meninggi.
Romi mendesah. "Mamah, ada-ada aja, deh. Emangnya Romi nggak laku, apa, sampai harus dijodohin?" ujarnya tak senang.
Laras melipat tangan di depan dada. "Ya kalau laku, bawa calon mantu ke Mama! Ini yang dibawa David lagi, David lagi! Orang-orang sampai curiga kamu punya hubungan khusus sama dia!"
Romi hampir tersedak ludahnya sendiri. "Ih, amit-amit, Mah!" katanya dengan ekspresi jijik.
Laras mendecak kesal. "Ya terus? Sampai kapan kamu mau sendiri terus, hah?"
Romi menghela napas panjang, tapi pikirannya kembali melayang pada satu sosok.
Azizah… dan bayi yang dikandungnya.
Kenapa pertanyaan tentang wanita itu masih belum hilang dari kepalanya?
Romi Aditama – Terjebak dalam Bayangannya Sendiri
"Sudah, Mah. Biarkan Romi istirahat dulu," suara berat Surya Aditama, ayah Romi, akhirnya terdengar, memberi sedikit ruang napas untuknya.
Laras masih menatap Romi dengan tatapan penuh perhitungan sebelum akhirnya mengalah. "Ya udah, mandi sana. Jangan ke mana-mana, nanti malam keluarga Wijaya akan datang," ucapnya, kembali ke mode ibu yang selalu punya agenda untuk putranya.
"Iya, Mah," jawab Romi datar, sudah terlalu lelah untuk mendebat.
Dia melangkah menuju kamarnya, tapi pikirannya terus berputar.
Heran, deh. Di luar, siapa yang nggak takut sama gue? Semua orang hormat, nunduk, segan. Tapi di rumah? Gue udah kayak anak TK, diomelin terus.
Dia mendengus. Kalau hal ini sampai bocor ke publik, bisa-bisa jadi berita utama besok pagi: ‘Romi Aditama, CEO Dingin dari Kutub Utara, Takut Sama Emaknya.’
Begitu masuk ke kamar, dia langsung berjalan ke kamar mandi. Awalnya hanya ingin mandi sebentar, menyegarkan diri, tapi ternyata…
Dua jam berlalu.
Bukan karena mandinya yang lama. Tapi karena pikirannya yang tidak bisa berhenti bekerja.
Entah berapa kali dia keluar-masuk kamar mandi, berdiri di bawah pancuran, lalu melangkah ke cermin, hanya untuk kembali lagi ke bawah air hangat yang tak bisa menghapus bayangan itu.
Azizah.
Wajahnya. Tatapannya. Perut buncitnya.
Kenapa dia ada di apartemen Cindy?
Kenapa dia ada di rumah Pratama?
Kenapa dia tidak ada di rumah suaminya?
Setiap sudut kamar mandi seakan memantulkan bayangan Azizah. Seakan dia ada di mana-mana.
Romi mengusap wajahnya dengan frustrasi.
Stop, Romi. Stop!
Azizah ninggalin lu dulu.
Azizah nggak peduli sama lu.
Azizah nggak milih lu.
Stop mikirin Azizah.
Azizah udah nyakitin lu.
Tangannya mengepal di sisi wastafel. Napasnya berat.
Tapi bayangan itu tetap tidak hilang.
Sialan. Move on, Romi. Move on!
Romi Aditama – Terjebak dalam Masa Lalu
Romi berdiri di depan cermin, membiarkan ibunya, Laras, merapikan dasinya. Tangan halus itu sibuk memastikan setiap lipatan sempurna, setiap detail tidak ada yang salah.
Tapi bukan Laras yang ada di pikirannya.
Seandainya Azizah yang merapikan dasiku seperti ini…
Bayangan itu muncul begitu saja. Azizah berdiri di depannya, tersenyum lembut sambil membetulkan dasinya, mengusap kerah bajunya dengan penuh perhatian.
Gue pasti semangat banget berangkat kerja kalau setiap pagi ada Azizah yang begini. Gue nggak bakal kerja kayak orang gila cuma buat pelarian…
Romi mengepalkan tangannya, mencoba mengusir bayangan itu.
Stop, Romi. Stop.
Hidup harus terus berjalan, dengan atau tanpa Azizah.
Tapi batinnya justru bertabrakan sendiri. Sejak kapan dia jadi selemah ini? Sejak kapan dia membiarkan dirinya dihantui oleh seseorang yang bahkan tidak memilihnya?
"Udah, Nak. Jangan nervous. Biasa saja. Taklukkan Luna Wijaya dengan pesonamu," suara Laras memecah lamunannya.
Romi menghela napas panjang.
Taklukkan Luna Wijaya? Pesona?
Apa ibunya benar-benar berpikir dia bisa dengan mudah membuka hati untuk orang lain? Setelah semua yang terjadi?
Senyumnya tipis, penuh kepalsuan. "Iya, Mah. Aku akan melakukan yang terbaik."
Laras tersenyum puas, tidak menyadari perang yang sedang terjadi dalam hati putranya.
Malam datang, dan keluarga Wijaya akhirnya tiba.
Bagas Wijaya, pria paruh baya yang masih terlihat kekar meski usianya tak lagi muda, berjalan dengan penuh wibawa. Tangannya menggandeng erat Kirana Wijaya, istrinya, yang tampil anggun dalam gaun elegan berwarna biru tua. Wajahnya penuh percaya diri, seolah tak ada satu pun di ruangan ini yang bisa mengusik ketenangannya.
Di samping mereka, seorang wanita muda berdiri dengan anggun. Luna Wijaya.
Luna bukan sekadar cantik. Dia memancarkan pesona yang sulit diabaikan.
Rambut hitam panjangnya tergerai sempurna, berkilau seperti sutra di bawah cahaya lampu kristal. Matanya tajam, berwarna cokelat keemasan, seolah bisa menembus pikiran siapa pun yang berani menatapnya terlalu lama. Alisnya tegas melengkung sempurna, bibirnya merah alami tanpa perlu banyak polesan.
Gaun hitam yang membalut tubuhnya semakin menonjolkan lekuk tubuhnya yang proporsional, tidak terlalu kurus, tidak terlalu berisi—pas, seperti wanita yang dilahirkan untuk menjadi pusat perhatian. Dia melangkah dengan penuh kepercayaan diri, posturnya tegak dengan dagu sedikit terangkat, memberikan kesan elegan sekaligus berkelas.
Romi mengamati Luna dengan pandangan tenang. Tidak bisa dipungkiri, wanita ini memang sempurna dalam banyak hal. Aura kebangsawanan terpancar dari setiap gerak-geriknya. Dia seperti seorang putri yang terbiasa mendapatkan semua yang diinginkan.
Namun, di benak Romi, semua keindahan itu terasa kosong. Tak ada debaran di dadanya. Tak ada ketertarikan yang muncul begitu saja.
Tidak seperti saat pertama kali melihat Azizah.
Astaga, Romi, lu harus berhenti begini!
Dia menghela napas pelan, berusaha fokus pada malam ini. Ini bukan tentang masa lalu, ini tentang masa depan. Masa depan yang—entah kenapa—tidak membuatnya bersemangat sama sekali.
Suasana terasa begitu formal, meski dihiasi senyum dan pujian di antara dua keluarga terpandang.
“Selamat datang di kediaman Aditama,” ucap Surya dengan sopan, menyambut keluarga Wijaya.
Bagas Wijaya tersenyum penuh hormat. “Terima kasih, Pak Surya, atas sambutannya.”
Sementara itu, Kirana Wijaya melirik Laras dengan senyum ramah. “Jeng Laras, lama tak bertemu. Makin cantik saja Jeng.”
Laras tertawa kecil, membalas dengan nada yang sama. “Ah, bisa saja Jeng Kirana. Anda juga makin awet muda.”
Setelah basa-basi singkat, Kirana mengalihkan perhatian ke putrinya. Dengan bangga, dia memperkenalkan, “Oh, ini anak saya, Luna Wijaya.”
Semua mata langsung tertuju pada Luna.
Laras memandangnya dengan takjub. Luna memang luar biasa. Kulitnya sehalus porselen, wajahnya sempurna dengan hidung bangir, bibir ranum, dan mata yang bersinar penuh pesona. Posturnya tinggi semampai, penuh keanggunan seorang wanita kelas atas. Bahkan dalam kesederhanaan, Luna tetap tampak seperti bintang yang bercahaya sendiri.
“Aih… cantik sekali, Jeng! Sama seperti ibunya,” puji Laras tulus. Dalam hati, ia berpikir bahwa hanya pria bodoh yang tak akan tertarik pada Luna.
Senyum bangga terukir di wajah Kirana. “Ah, terima kasih, Jeng Laras.”
Laras kemudian menoleh ke arah putranya, memperkenalkan dengan penuh kebanggaan, “Dan ini anak saya, satu-satunya, Romi Aditama.”
Romi dan Luna saling menatap sejenak. Tidak ada kehangatan, tidak ada antusiasme.
Mereka hanya diam, seolah dunia di sekitar mereka mendadak mengabur.
Romi merasa tertekan dengan situasi ini. Perjodohan ini bukan keinginannya. Ia tahu, Luna adalah wanita yang luar biasa dalam segala hal. Tapi, di balik semua kesempurnaan itu, hatinya tetap hampa.
Di sisi lain, Luna pun merasakan hal yang sama. Meski ia tersenyum sopan, dalam hatinya ada beban berat. Ia tak pernah menyukai konsep perjodohan.
Mereka berdiri di sana, diapit oleh keluarga yang begitu antusias, sementara hati mereka sama-sama bimbang.
Merreka malam itu makan malam bersama dikediaman keluarga Aditama, keceriaan tampak di wajah Laras, Surya. Kirana dan Bagas tapi tidak dengan Luna dan Romi tidak ada pembicaraan diantara mereka
Semua menganggap wajar karena ini adalah pertemuan awal mereka
Romi baru saja keluar dari kamar mandi ketika matanya menangkap sosok Luna berdiri di depannya dengan tangan terlipat di dada.
Tatapannya tajam, menusuk langsung ke arah Romi.
Belum sempat Romi membuka mulut, Luna sudah lebih dulu bersuara dengan nada mengancam.
“Awas kalau lu terima lamaran nyokap gue. Gue lempar lu sampai Pluto.”
Romi mengerutkan kening, menatap Luna dengan ekspresi bingung sekaligus tidak percaya.
“Hey, perempuan aneh. Emang gue segila itu mau nerima perjodohan konyol ini? Setelan lu sih bidadari, tapi aslinya psikopat.”
Luna mendengus sinis.
“Oke, gue cuma mau ngomong itu aja. Gue mau lu tolak mentah-mentah perjodohan ini.”
Tatapan Romi berubah, kini dipenuhi keisengan. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyum setengah mengejek.
“Hmm… kenapa gue ngerasa lu lebih takut daripada gue?” tanyanya, memperhatikan Luna yang tampak kesal.
Luna mendekat, menunjuk dada Romi dengan tajam. “Gue serius. Jangan main-main.”
Romi terkekeh kecil. “Tenang aja, Nona Wijaya. Gue gak ada niatan buat kawin paksa. Jadi, kalau lu takut jatuh cinta sama gue, santai aja.”
Luna mengerutkan dahi. “Mimpi kali lu!” geramnya sebelum berbalik dan berjalan menjauh.
Romi tersenyum miring, menatap Luna yang pergi dengan langkah cepat.
“Lucu juga nih cewek…” gumamnya pelan.
gk sma suamix tinggal ,dodol bangat Rommy...kejar cinta msa lalu mu