Akademi Valdris. Medan perang bagi calon jenderal, penasihat, dan penguasa.
Selene d’Aragon melangkah santai ke gerbang, hingga sekelompok murid menghadangnya.
"Kau pikir tempat ini untuk orang sepertimu?"
Selene tersenyum. Manis. Lalu tinjunya melayang. Satu tumbang, dua jatuh, jeritan kesakitan menggema.
Ia menepis debu, menatap gerbang Valdris dengan mata berkilat.
"Sudah lama... tempat ini belum berubah."
Lalu ia melangkah masuk. Jika Valdris masih sama, maka sekali lagi, ia akan menaklukkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seojinni_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#18 - Sidang Dewan Akademi
Selene memasuki aula dengan langkah percaya diri. Di hadapannya, deretan kursi dewan akademi telah terisi penuh. Para profesor duduk dengan ekspresi serius, sementara murid-murid elite yang dia pukuli kemarin berada di barisan kanan.
Mereka masih berbalut plester luka, tapi ekspresi mereka tetap sombong. Seolah hari ini adalah akhir bagi Selene.
Cecile menatapnya dengan hinaan tersirat. Gadis miskin biasa, berani sekali menentang darah murni bangsawan.
Selene tidak terpengaruh. Dia melirik sekilas ke arah Adeline yang tampak cemas, jelas mengkhawatirkannya.
Ketua dewan akademi akhirnya bersuara, suaranya bergema di seluruh ruangan.
"Nona Selene, hari ini kami memanggilmu untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu."
Semua yang hadir menjadi serius.
Selene tersenyum santai. "Tentu saja."
"Apa kau tahu di mana kesalahanmu?"
Alih-alih menjawab langsung, Selene tertawa kecil. "Maaf, tapi bukankah lebih baik kalian bertanya tentang penyebabnya dulu?"
Dia melirik para murid elite di sampingnya, wajahnya tetap tersenyum—tetapi sorot matanya tajam, penuh penindasan. Murid-murid itu menegang, ketakutan merayapi wajah mereka.
Cecile berdiri dari kursinya dan berteriak, "Lancang sekali! Dewan akademi sedang berbicara denganmu, dan kau terus menyela. Di mana sopan santunmu?"
Selene menoleh perlahan, senyumannya tipis.
"Seseorang yang tidak bisa membedakan benar dan salah tidak pantas menerima sopan santunku."
Ruangan seketika hening.
"Lagipula, mengapa aku yang disalahkan di sini? Bukankah mereka yang memulai? Mereka melecehkan seorang gadis, bahkan berusaha melecehkanku. Haruskah aku menerimanya begitu saja?"
Suasana ruangan berubah. Beberapa profesor saling bertukar pandang, mulai mempertimbangkan kata-kata Selene.
"Profesor," lanjut Selene, "Apa kau punya anak perempuan? Apa kau akan diam jika anakmu dilecehkan oleh mereka? Jika ya, maka aku akan menerima putusanmu tanpa protes."
Ketua dewan akademi mengernyit. Dia punya anak perempuan berusia sepuluh tahun. Kata-kata Selene menohok tepat di hatinya, membuatnya tak bisa membalas.
"Aku mengerti bahwa yang kau lakukan adalah pembelaan diri." Suara Armond, salah satu profesor, terdengar.
Jason, yang duduk di sisi lain, tersenyum penuh minat. "Aku dengar kau menghajar mereka sendirian. Cukup kuat. Kau harus jadi muridku."
Cecile mulai panik. Dia merasa argumennya runtuh begitu saja.
Lalu, pintu aula terbuka.
Anggota murid elite teratas memasuki ruangan.
"Nona Emilia..." Cecile seakan melihat penyelamatnya.
Dewan akademi menoleh. "Kalian murid elite, ada perlu apa kemari?"
Seorang gadis bernama Vivianne melangkah ke depan. "Profesor, kami di sini sebagai perwakilan murid elite."
Di Akademi Valdris, setiap kelas memiliki dewan perwakilan. Mereka bisa membela anggota mereka, bahkan jika yang dibela jelas-jelas bersalah.
Vivianne adalah wakil ketua. Emilia, yang berdiri anggun di belakangnya, adalah ketua.
Selene tersenyum miring. Menarik. Tapi ini bukan ketertarikan yang baik.
Dewan akademi memberi izin. "Baiklah, lakukan pembelaan kalian."
Vivianne menatap Selene dengan lembut—senyumannya manis, tetapi Selene bisa melihat mata seorang manipulator di baliknya.
"Aku hanya ingin memberi sudut pandang lain," kata Vivianne santai.
Selene tetap diam, membiarkannya berbicara.
"Profesor, Kris dan yang lainnya memang bersalah. Mereka berani melecehkan sesama murid bangsawan."
Selene menangkap maksudnya dengan cepat. Sesama bangsawan? Oh, dia meremehkan Adeline yang hanya bangsawan miskin.
Vivianne melanjutkan, "Namun, yang nona Selene lakukan juga berlebihan. Dia menghajar mereka, mempermalukan mereka. Jika tujuannya adalah keadilan, bukankah lebih baik dia melapor pada akademi? Bukankah tugas guru untuk mendisiplinkan siswa?"
Kata-katanya terdengar masuk akal. Beberapa profesor mulai mengangguk.
Cecile langsung menimpali. "Benar! Aku sudah muncul saat itu, tapi dia masih terus mempermalukan mereka. Dia bahkan berkata kasar padaku. Sungguh gadis tanpa pendidikan!"
Vivianne menahan dengusan, tidak suka disela. Namun, dia tetap melanjutkan, "Jadi, karena Kris dan yang lain sudah menerima 'hukuman' dari Selene, bukankah sekarang giliran Selene menerima hukumannya?"
Dia tersenyum polos, seolah dia baru saja mengajukan solusi paling adil.
Selene mengangkat alis.
"Nak, kau cukup pintar dan licik. Sayangnya, kau salah memilih lawan."
Vivianne merasa menang karena Selene diam.
Namun, Selene lalu menoleh. "Nona Vivianne, kau bilang karena mereka sudah dihajar, maka mereka tak perlu dihukum lagi, kan?"
Vivianne tersenyum. "Ya, itu benar."
Selene menepuk tangan. "Kalau begitu, bagaimana dengan korbannya?"
Dia menunjuk Adeline.
Vivianne menoleh, tatapannya lembut, tetapi ada sedikit ancaman di dalamnya. "Aku rasa korban juga bisa menerima ini. Benar, nona Adeline?"
Adeline membuka mulutnya, ingin membantah—tetapi sebelum dia bisa bicara, Selene sudah tertawa keras.
"Vivianne, kau sangat pintar. Tapi itu karena kau bukan korbannya, jadi kau bisa bicara seperti ini. Bagaimana kalau kau mengalami hal yang sama?"
Vivianne mengangkat dagunya. "Aku akan menerimanya dengan lapang dada."
Selene tersenyum jahat.
"Bagus. Kalau begitu, mari kita uji kebenarannya."
Selene melangkah maju.
Dalam tiga gerakan cepat—
KRAK!
KRAK!
KRAK!
Gaun Vivianne robek.
Dia menjerit marah, "SELENE! APA KAU GILA?!"
Dia kini setengah telanjang di depan semua orang.
"Tentu saja aku gila. Sekarang, apa kau akan memaafkanku?"
Ruangan membeku. Semua murid elite terdiam.
Vivianne menegang. Jika dia mengatakan "ya," maka dia tidak bisa menuntut Selene. Jika dia mengatakan "tidak," maka kata-katanya sebelumnya hanyalah omong kosong.
Aula menjadi kacau. Semua orang tidak menyangka Selene akan seberani ini.
Emilia berdiri dan berjalan mendekat. "Selene, jangan berlebihan. Vivianne berbeda dari gadis itu."
Selene menatapnya dingin.
"Oh? Jadi kau bilang Vivianne lebih berharga daripada Adeline?"
Dia tertawa keras, sampai harus menyeka air mata di sudut matanya.
"Apa yang membedakan kita di sini? Status keluarga? Kalau begitu, statusku lebih tinggi dari Vivianne. Kenapa dia mencoba bersikap superior terhadapku?"
Dia lalu menoleh ke dewan akademi.
"Profesor, jika akademi Valdris bisa seburuk ini, siapa yang seharusnya disalahkan?"
Ruangan itu penuh ketegangan.
Selene hanya tersenyum tipis.
Mari kita lihat, siapa yang akan kalah hari ini.