Apa jadinya jika seorang gadis remaja berusia 16 tahun, dikenal sebagai anak yang bar-bar dan pemberontak terpaksa di kirim ke pesantren oleh orang tuanya?
Perjalanan gadis itu bukanlah proses yang mudah, tapi apakah pesantren akan mengubahnya selamanya?
Atau, akankah ada banyak hal lain yang ikut mengubahnya? Atau ia tetap memilih kembali ke kehidupan lamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 20 - Tawanan Pesantren
~💠💠💠~
Lima hari telah berlalu sejak Miska mulai menjalani hukumannya.
Namun, cuaca hari ini langit begitu mendung kelabu, angin bertiup cukup kencang, membawa hawa dingin yang membuat setiap orang yang merasakannya menggigil.
Suasana di halaman belakang pesantren pun begitu sepi, yang terlihat, hanya ada Miska seorang diri yang sedang menyapu daun-daun kering.
Setiap sore setelah ashar, ia akan berada di sini, menyapu, mencabut rumput liar, dan membersihkan halaman.
Tidak jarang ia menjadi tontonan beberapa santri yang sok berbisik-bisik, mempergunjingkannya seperti gosip panas di kantin sekolah.
Tapi Miska?
Bodo amat.
"Ck. Nih daun-daun nggak ada kapoknya apa? Udah disapu balik lagi, udah disapu balik lagi," gerutu Miska sambil menahan kerudungnya yang berantakan karena tertiup angin.
Sapuannya sudah membentuk satu tumpukan besar, dan siap dimasukkan ke dalam karung sampah. Tapi entah dari mana, angin kencang tiba-tiba berhembus sehingga membuat daun-daun itu berhamburan kembali ke mana-mana.
"ARGH!," Miska menjerit kesal, "GUE DISINI LAGI HUKUMAN WOY! BUKAN MAIN GAME LEVEL HARD!."
Ia mengepalkan tangannya ke langit, seperti ingin melawan alam.
Tapi tentu saja, Tuhan tidak membalas keluhannya.
"Hufthhh...!," Miska menghembuskan napas secara kasar lalu kembali mengambil sapunya.
Tidak peduli seberapa banyak daun yang berantakan lagi, ia akan tetap menyapunya lagi dan lagi.
"Lagian kalau berhenti, makin banyak kerjaan. Mending langsung beresin," gumamnya.
Dan saat itu juga, seseorang tiba-tiba muncul di sampingnya.
Tanpa banyak bicara, orang itu mulai memunguti daun-daun kering yang terbang tadi, lalu memasukkannya ke dalam karung sampah.
Miska melirik keberadaan orang tersebut dari ekor matanya.
Seorang cowok.
Memakai seragam santri laki-laki. Rapi. Bersih. Dan tidak banyak omong.
"Ekhmm." Miska berdeham pelan, lalu berdiri sambil menyilangkan tangan di dadanya. "Aku tidak meminta bantuan. Tidak perlu repot-repot," serunya.
Tapi laki-laki itu tidak menoleh sedikit pun. Ia malah lanjut bekerja, seperti tidak mendengar ucapan Miska hingga membuatnya heran.
"Ow!," seru Miska dengan dramatis, "Ternyata dari tadi aku sendiri. Kirain ada orang lain," sindir Miska, namun masih saja tidak ada jawaban.
Yang terdengar anya suara gemerisik daun-daun kering yang berpindah ke dalam karung sampah.
Hingga setelah beberapa saat, laki-laki itu akhirnya bicara, "Sebentar lagi hujan turun."
Suara itu datar, tenang, dan tidak tergesa-gesa.
"Jika belum selesai, pekerjaan ini akan lebih sulit," lanjut laki-laki tersebut.
Miska lalu melirik ke langit dan menatap sekitar. Memang benar, langit semakin gelap, angin bertiup lebih dingin, dan udara pun mulai semakin lembap.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Miska pun kembali menyapu. Sementara laki-laki itu terus membantunya, memunguti daun tanpa banyak bicara, seperti mesin yang terprogram hanya untuk bekerja.
Hingga akhirnya, semua selesai lebih cepat dari biasanya.
"Oke, beres!," seru Miska merasa puas, "Akhirnya bisa duduk santai!," lanjutnya.
Kemudian ia mengibaskan tangannya, lalu meregangkan badan. Saat itulah ia menyadari sesuatu. Laki-laki itu sudah tidak ada.
Miska menengok ke kanan-kiri. Tapi tidak ada siapa-siapa di halaman belakang, yang nampak hanya daun-daun yang sudah bersih dan langit yang semakin kelabu.
Kemana dia pergi? Padahal baru beberapa detik lalu mereka menyelesaikan pekerjaan bersama.
"Cowok aneh," gumam Miska. "Datang tanpa suara, pergi tanpa jejak," gerutunya.
"Ck!," ia mendecak pelan, lalu mengambil embernya untuk beranjak pergi. Namun, saat ia berjalan menuju asrama, suara gerimis pun mulai terdengar.
Tetesan air hujan jatuh ke tanah, hingga tercium aroma tanah basah yang menyegarkan.
"Hari ini tidak begitu buruk."
**
PROLOG
Hujan pertama di bulan itu turun tanpa aba-aba, membasahi halaman belakang pesantren yang masih dipenuhi daun-daun kering.
Aroma tanah yang lembap menyebar di udara, memberikan suasana yang menenangkan bagi sebagian orang, tapi tidak bagi Miska.
Di bawah langit yang mulai gelap, ia tetap menyapu, seperti hari-hari sebelumnya. Satu-satunya santri yang harus menjalani hukuman sendirian.
Namun, ia tidak benar-benar sendiri.
Dari kejauhan, sepasang mata selalu tidak sengaja menatapnya.
Dialah Rehan.
Santri laki-laki yang terkenal alim dan berprestasi. Seorang yang begitu dihormati karena kebijaksanaan dan keteguhannya dalam ilmu agama.
Tapi sore itu, ia bukan hanya seorang santri teladan. Ia adalah seseorang yang tidak bisa berpangku tangan saat melihat orang lain kesulitan.
Ketika angin mengacaukan tumpukan daun yang sudah susah payah dikumpulkan Miska, ketika ia melihat gadis itu menghela napas berat, lalu mengulang pekerjaannya tanpa keluhan, Rehan tidak bisa lagi hanya berdiri dan menonton.
Apalagi, hujan sudah di ambang pintu.
Tanpa pikir panjang, ia melangkah, mendekati gadis yang bahkan tidak menyadari keberadaannya.
Hanya untuk membantu, hanya untuk memastikan bahwa sebelum hujan benar-benar turun, setidaknya ada satu beban yang terasa lebih ringan bagi orang lain.
BERSAMBUNG...