Diaz, CEO yang menjual bunga dan coklat setiap hari Sabtu. Dia mencari wanita yang cocok dengan sepatu kaca biru milik ibunya. Apa sebenarnya tujuan mencari wanita itu? Memangnya tidak ada wanita lain? Bukankah bagi seorang CEO sangat mudah mencari wanita mana pun yang diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diaz Tak Peduli
Bab 26
Diaz berdiri di tengah lorong dengan ekspresi serius. Matanya kembali melirik ke arah kepergian Lili dan Samir, namun ada sesuatu yang mengganjal di benaknya.
"Sepatunya?" gumam Diaz pelan.
Sebagai seseorang yang terbiasa memperhatikan detail, Diaz menyadari ada yang janggal. Sepatu yang tadi dipakai Lili tidak lagi ada di kakinya. Hanya tersisa kaus kaki tipis yang sedikit basah.
Dengan cepat, Diaz mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan untuk Samir.
"Tanyakan pada Nona Lili. Di mana sepatunya?"
Namun, setelah mengirim pesan, Diaz tiba-tiba ragu. Kenapa dia harus bertanya lewat Samir? Kenapa tidak langsung pada Lili? Tapi, ah... itu terlalu berlebihan. Bisa-bisa menimbulkan kesan salah paham. Diaz menghela napas panjang dan kembali melanjutkan langkahnya, dia akan ke toilet.
"Aku harus selesaikan satu per satu."
Setiap gerakannya tegas dan penuh percaya diri, mencerminkan posisinya sebagai CEO muda yang disegani. Wajahnya tetap dingin, ekspresinya sulit ditebak, tapi tatapannya tajam seolah bisa membaca pikiran orang.
Setelan jas mahal yang melekat di tubuhnya mempertegas siluetnya yang tinggi dan atletis. Garis rahangnya yang tegas, hidungnya yang kokoh, serta sepasang mata hitam pekat yang selalu tampak penuh perhitungan—semua itu menjadi daya tarik yang sulit diabaikan. Aura dominannya terasa begitu kuat, hingga tanpa sadar orang-orang di sekitarnya menahan napas saat dia melintas.
Di tengah perjalanan, Diaz tiba-tiba berhenti. Pandangannya tertuju pada sesuatu yang dipegang oleh Eriva—sepasang sepatu kaca biru yang sangat familiar.
Dahi Diaz berkerut. Dia mengenali sepatu itu. Itu sepatu yang diberikannya untuk Lili.
Tanpa membuang waktu, Diaz melangkah mendekat dengan ekspresi dingin. " Nona Eriva," panggilnya dengan nada datar, tapi ada ketegasan di dalamnya.
Eriva dan Monica yang hendak pergi terkejut melihat Diaz mendekat. Eriva menoleh, lalu tersenyum manis, meski ada sedikit kegugupan dalam gerakannya.
“Tuan Diaz, Anda di sini?”
Diaz melirik sepatu kaca itu sebelum menatap langsung ke mata Eriva. “Kenapa sepatu itu ada di tangan Anda?”
Eriva mengerjapkan mata, lalu terkekeh pelan. “Oh, ini? Sepatu ini tadi dipakai Lili. Tapi dia membuangnya.”
Diaz menajamkan tatapannya. “Membuangnya?” ulangnya, nadanya mengandung ketidakpercayaan.
Eriva mengangguk cepat. “Iya. Katanya sepatu ini tidak berguna. Terlalu longgar dan tidak nyaman dipakai.”
Monica yang berdiri di sampingnya segera ikut mendukung. “Benar, Diaz. Lili sendiri yang bilang begitu. Dia bahkan melepasnya dengan kesal dan meninggalkannya begitu saja.”
Diaz diam sejenak, matanya menelisik ekspresi mereka berdua. Namun, insting bisnisnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.
“Apa Nona Lili mengatakan itu langsung di hadapan kalian?” tanyanya, nada suaranya tetap datar tapi tajam.
Eriva dan Monica saling bertukar pandang sejenak, lalu dengan cepat Eriva mengangguk. “Tentu saja.”
"Iya, benar. Aku juga menyaksikan. Itu karena saat Lili baru masuk ke toilet, kakinya terkilir karena sepatu yang longgar, bajunya juga jadi basah, dia jatuh kena genangan air di toilet. Karena itu dia marah. Katanya, sepatu itu yang membuat dia celaka. Jadi dibuang saja."
Diaz masih diam, matanya tidak lepas dari sepatu itu. Hatinya mengatakan lain. Lili bukan tipe orang yang akan membuang sesuatu tanpa alasan, apalagi dia tahu sepatu itu diberikan Samir dengan niat baik. Apakah Lili seperti wanita tidak terhormat? Menyepelekan pemberian orang lain?
"Aneh," gumam Diaz. "Kalau memang sepatu itu tidak berguna, kenapa kau masih menyimpannya?"
Eriva sedikit tertegun sebelum dengan cepat memasang senyum canggung. “Aku hanya menyimpannya untukmu, Tuan Diaz. Bukankah ini milikmu? Ini aku kembalikan."
Eriva menyodorkan sepatu itu. Diaz jadi serba salah, sepatu itu jelas dalam keadaan kotor, masa dia harus menyentuhnya. Tapi kalau tidak, itu adalah sepatu peninggalan mendiang mamanya.
Diaz tidak menanggapi. Dalam pikirannya, dia sudah menyusun kemungkinan-kemungkinan. Ada sesuatu yang tidak beres di sini, dan dia akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Eh, atau aku coba saja bagaiman? Mumpung kita bertemu. Bukankah semalam Anda ingin memberikan sepatu ini untukku?" Eriva dengan semangat mengatakan bujukannya.
"Baiklah, coba saja di rumah. Bukankah Kakek Guru juga akan ke rumah."
"Baik. Aku bawa sepatu ini," ucap Eriva dengan semringah.
###
Lili duduk di kursi ruang makeup dengan wajah sedikit pucat. Rambutnya yang biasa tertata rapi kini terlihat agak berantakan, dan gaunnya masih sedikit lembap akibat insiden di toilet. Mami Meralda, wanita paruh baya yang sangat sayang pada putri angkatnya ini, menatap Lili dengan ekspresi terkejut dan khawatir.
"Lili, apa yang terjadi padamu?" suara Mami Meralda terdengar lembut, tapi ada nada cemas yang sulit disembunyikan.
Lili tersenyum kecil, mencoba menenangkan suasana. “Aku hanya terpeleset di toilet, Mami,” jawabnya ringan.
Mami Meralda mengernyit. “Terpeleset? Tapi kenapa bajumu basah dan kakimu terlihat pincang?”
Lili tertawa kecil, berusaha terlihat meyakinkan. “Aku kurang hati-hati. Lantai toilet agak licin, jadi aku jatuh.”
Namun, Mami Meralda tetap menatapnya dengan penuh selidik. Sebagai seseorang yang sudah lama berkecimpung di dunia ini, dia bisa merasakan jika seseorang sedang menyembunyikan sesuatu.
Samir yang berdiri di dekat pintu menyilangkan tangan, memandang Lili dengan sedikit ragu. “Nona, apakah Anda yakin itu hanya terpeleset, Lili?” tanyanya, suaranya terdengar penuh perhatian.
Lili mengangguk cepat. “Tentu saja. Jangan khawatir.”
Mami Meralda menghela napas panjang. Dia tahu tidak ada gunanya memaksa Lili bicara jika gadis itu tidak mau mengatakannya.
“Baiklah,” kata Mami akhirnya. “Tapi lain kali, berhati-hatilah, ya.”
Lili tersenyum hangat. “Terima kasih, Mami.”
Lili kemudian menoleh ke arah Samir, matanya memancarkan ketulusan. “Dan terima kasih juga untukmu, Samir. Kau sangat membantuku hari ini.”
Samir tersenyum tipis, merasa sedikit lega melihat Lili masih bisa tersenyum. “Jangan sungkan untuk meminta bantuan jika kau membutuhkannya.”
Namun, suasana tenang itu tiba-tiba berubah saat pintu ruang makeup terbuka, dan masuklah seorang pria dengan aura yang begitu kuat.
Papi Asher.
Tatapan mata tajamnya langsung menangkap keadaan Lili yang masih terlihat berantakan. Wajahnya mengeras, rahangnya menegang.
“Lili...” suaranya dalam dan penuh otoritas. “Apa yang terjadi padamu?”
Lili langsung berdiri, mencoba menyembunyikan kegugupannya. “Aku hanya—”
Mata Papi Asher menyapu seluruh ruangan, lalu memerhatikan keadaan putrinya dari atas sampai bawah. Amarah mulai terlihat di wajahnya.
“Seseorang telah mengganggumu, bukan?” suaranya kini lebih tajam.
Lili buru-buru menggeleng. “Tidak, Papi. Aku hanya terpeleset.”
Papi Asher menghela napas, menahan emosinya. Dia tahu putrinya sedang menyembunyikan sesuatu, tapi dia tidak ingin memaksanya bicara. Namun, ini tidak akan berakhir di sini. Dia akan mencari tahu sendiri siapa yang berani menyentuh putrinya.
—
Di Rumah Tuan Gunawan
Di sebuah ruang tamu megah dengan nuansa klasik yang elegan, suasana terasa cukup tenang. Di sana, Kakek Guru duduk di kursinya yang khas, sementara Eriva dan Diaz duduk bersebelahan di sofa panjang. Gunawan dan Melinda, sebagai tuan rumah, duduk di seberang mereka, menikmati teh sore.
Percakapan awalnya mengalir santai, membahas bisnis dan kehidupan sehari-hari. Namun, tiba-tiba, Gunawan meletakkan cangkir tehnya dan menatap Diaz dengan senyum penuh makna.
“Ngomong-ngomong, bagaimana persiapan pertunangan Diaz dengan Eriva, Kakek Guru?” tanyanya santai.
Diaz yang sedang menyesap tehnya langsung terbatuk pelan. Tatapannya beralih ke Gunawan, lalu ke Eriva yang tersenyum manis di sampingnya.
“Pertunangan?” ulang Diaz dengan nada datar.
Melinda ikut menimpali, “Ya, rencana pertunangan ini sudah lama dibicarakan, bukan?"
"Aku tidak bicara denganmu," jawab Diaz tegas, tanpa menatap Melinda sama sekali.
Bersambung....