Ji An Yi adalah seorang gadis biasa yang mendapati dirinya terjebak di dalam dunia kolosal sebagai seorang selir Raja Xiang Rong. Dunia yang penuh dengan intrik, kekuasaan, dan cinta ini memaksanya untuk menjalani misi tak terduga: mendapatkan Jantung Teratai, sebuah benda mistis yang dapat menyembuhkan penyakit mematikan sekaligus membuka jalan baginya kembali ke dunia nyata.
Namun, segalanya menjadi lebih rumit ketika Raja Xiang Rong-pria dingin yang membencinya-dan Xiang Wei, sang Putra Mahkota yang hangat dan penuh perhatian, mulai terlibat dalam perjalanan hidupnya. Di tengah strategi politik, pemberontakan di perbatasan, dan misteri kerajaan, Ji An terjebak di antara dua hati yang berseteru.
Akankah Ji An mampu mendapatkan Jantung Teratai tanpa terjebak lebih dalam dalam dunia penuh drama ini? Ataukah ia justru akan menemukan sesuatu yang lebih besar dari misi awalnya-cinta sejati yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanilatin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16
Setelah kejadian di koridor itu, Ji An kembali ke kamarnya dengan pikiran yang bercampur aduk. Ia merasa tertekan oleh ancaman Permaisuri Yang Xi, tetapi ia juga tahu bahwa mundur bukanlah pilihan. Ia harus menyelesaikan masalah ini,tujuannya cuma satu yaitu pulang ke dunia nyata.
Ji An hanya bisa menghela napas panjang, menyadari bahwa setiap langkahnya di istana penuh dengan risiko.
Keesokan paginya, Ji An kembali ke dapur istana untuk menyiapkan sarapan. Kali ini, ia memutuskan untuk membuat hidangan kesukaan Raja Xiang Rong—sup kacang merah dengan roti hangat. Ia berharap masakannya kali ini bisa sedikit meluluhkan hati Raja.
Saat Ji An tengah sibuk memasak, Lin Li mendekatinya dengan wajah cemas.
“Nyonya, saya mendengar kabar bahwa Permaisuri memanggil beberapa pelayan ke kamarnya tadi malam. Mereka bilang dia sedang merencanakan sesuatu.”
Ji An berhenti sejenak, lalu melanjutkan pekerjaannya. “Apa pun rencananya, aku sudah siap. Selama aku tetap fokus pada tugasku, aku tidak punya alasan untuk takut.”
Lin Li menggigit bibirnya, tampak khawatir. “Tapi, Nyonya, apa tidak lebih baik jika Anda menjaga jarak dari Raja untuk sementara waktu?”
Ji An menggeleng pelan. “Jika aku mundur sekarang, itu sama saja mengakui kekalahan. Aku tidak akan menyerah.”
---
Saat Ji An membawa sarapan ke ruang kerja Raja Xiang Rong, suasana di dalam ruangan tampak lebih santai daripada biasanya. Raja duduk di kursinya dengan setumpuk dokumen di depannya, tetapi kali ini ia tidak terlihat terlalu tegang.
Ketika Ji An masuk, Raja Xiang Rong menatapnya sekilas, lalu kembali ke dokumen-dokumennya.
“Kau lagi?” tanyanya dengan nada datar.
“Hamba membawa sarapan untuk Yang Mulia,” jawab Ji An dengan sopan. Ia meletakkan nampan di meja, lalu berdiri menunggu reaksi Raja.
Raja Xiang Rong menghela napas, tetapi kali ini ia tidak menolak. Ia mengambil sendok dan mencicipi sup yang disiapkan Ji An. Wajahnya tetap datar, tetapi ada sedikit perubahan pada ekspresinya.
“Rasanya... tidak buruk,” komentarnya singkat.
Ji An merasa lega mendengar pujian itu, meskipun sederhana. Namun sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, pintu ruang kerja terbuka, dan Putra Mahkota Xiang Wei masuk dengan senyum lebar.
“Ah, adikku! Rupanya kau sudah dijamu oleh Selir Ji An Yi,” katanya sambil melirik ke arah Ji An. “Sepertinya aku harus sering-sering datang ke sini untuk mencicipi masakannya juga.”
Raja Xiang Rong mendengus kecil. “Xiang Wei, jika kau hanya datang untuk mengganggu, lebih baik kau pergi.”
Xiang Wei tertawa pelan dan duduk di salah satu kursi. “Tenang saja, aku hanya ingin memastikan adikku dalam kondisi baik. Dan tentu saja, melihat bagaimana Selir Ji An Yi selalu penuh perhatian, aku yakin kau tidak kekurangan apa pun.”
Ji An menunduk, merasa canggung dengan kehadiran Xiang Wei. Ia tahu bahwa Putra Mahkota sering bermain kata-kata, dan ia tidak ingin menjadi bahan olok-olok di antara kedua saudara itu.
Namun, Xiang Wei tampaknya tidak berniat berhenti. “Ngomong-ngomong, Ji An Yi, kapan kau akan memasak sesuatu untukku? Aku merasa iri dengan perhatian yang kau berikan pada adikku.”
“Yang Mulia, hamba hanya menjalankan tugas untuk melayani Raja,” jawab Ji An dengan hati-hati.
Xiang Wei tertawa lagi. “Tugas, ya? Baiklah, aku tidak akan memaksamu. Tapi ingat, jika kau lelah menghadapi sikap dingin adikku, aku selalu punya waktu untukmu.”
Raja Xiang Rong meletakkan sendoknya dengan bunyi keras, membuat suasana di ruangan itu tegang seketika.
“Xiang Wei, aku tidak punya waktu untuk leluconmu. Jika kau tidak ada urusan penting, pergi dari sini.”
Xiang Wei berdiri dengan anggukan ringan. “Baiklah, baiklah. Aku akan pergi. Tapi ingat, adikku, kau beruntung memiliki seseorang yang begitu perhatian seperti Ji An Yi.”
Setelah Xiang Wei pergi, ruangan menjadi sunyi. Ji An tetap berdiri di tempatnya, menunggu izin untuk pergi.
“Kau terlalu banyak menarik perhatian,” kata Raja Xiang Rong akhirnya. “Itu hanya akan membuat segalanya lebih sulit bagimu.”
Ji An menatapnya dengan mata penuh tekad. “Hamba hanya ingin melakukan yang terbaik untuk Yang Mulia.”
Raja Xiang Rong tidak menjawab, tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang berbeda kali ini—seperti ada keraguan yang mulai tumbuh di dalam hatinya.
Ji An keluar dari ruang kerja Raja Xiang Rong, namun tiba-tiba rasa sakit di dadanya kembali menyerang, menggerogoti tubuhnya perlahan. Ia terpaksa bersandar di salah satu pilar di koridor, mencoba menyeimbangkan dirinya.
Tubuhnya terasa lemah, seperti tidak mampu menopang dirinya sendiri. Tepat saat ia hampir kehilangan keseimbangan, sebuah tangan kuat dengan sigap merangkulnya, menahan tubuhnya agar tidak jatuh.
Ji An mendongak dengan mata yang sedikit buram dan mendapati tatapan hangat penuh perhatian. Itu adalah Putra Mahkota Xiang Wei. Lagi-lagi, dialah yang datang menolong Ji An.
"Selir Ji An Yi, kau tampaknya tidak berhenti membuat orang khawatir," katanya dengan nada lembut, namun ada kekhawatiran yang nyata di matanya.
Ji An mencoba berdiri tegak, berusaha menunjukkan bahwa ia baik-baik saja. "Yang Mulia, hamba... hamba tidak apa-apa. Hanya sedikit pusing saja."
Xiang Wei menggeleng pelan, memiringkan kepala sambil mengamati wajahnya yang pucat. "Pusing, katamu? Tapi wajahmu mengatakan sebaliknya. Kau terlihat seperti bisa pingsan kapan saja. Kau harus lebih memedulikan kesehatanmu."
Ia menarik Ji An perlahan, memandunya menuju salah satu bangku di koridor. Dengan hati-hati, ia membantu Ji An duduk.
“Terima kasih, Yang Mulia sudah menolong ku lagi ,” katanya dengan suara lemah.
Xiang Wei duduk di sebelahnya, menjaga jarak yang tetap sopan. Ia menatap ke depan, suaranya berubah lebih serius. “Ji An Yi, kenapa kau terus memaksakan diri? Aku tahu kau sedang berusaha keras menarik perhatian Xiang Rong, tapi kau tidak harus mengorbankan dirimu seperti ini.”
Ji An menggenggam gaunnya erat erat , lalu menunduk. “Hamba melakukan ini karena hamba ingin memenuhi tugas hamba. Tidak lebih.”
Xiang Wei tertawa kecil, tapi ada nada getir di balik tawanya. “Tugas, ya? Kau sangat setia pada kata itu. Tapi apa kau tahu? Orang yang kau perjuangkan itu mungkin tidak akan pernah peduli, tidak peduli seberapa keras kau mencoba.”
Kata-kata itu menusuk hati Ji An, tetapi ia harus melakukan itu semua,jika itulah cara satu satunya keluar dari tempat ini.