NovelToon NovelToon
My Crazy Daughter

My Crazy Daughter

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Balas Dendam / Identitas Tersembunyi
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Matatabi no Neko-chan

Setelah diadopsi Verio, kehidupan Ragna berubah. Apalagi saat mendapat ingatan masa lalunya sebagai putri penjahat yang mati akibat penghianatan.
Memanfaatkan masa lalunya, Ragna memutuskan menjadi yang terkuat, apalagi akhir-akhir ini, keadaan kota tidak lagi stabil. Bersama Verio, mereka memutuskan menuju puncak dalam kekacauan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16

“Kau bukan tipe anak bermasalah, tapi kenapa kau bersekolah di sini?” tanya seorang siswa laki-laki bernama Jay dengan nada penasaran, seolah ingin menggali lebih dalam tentang Ragna.

Ragna menoleh dengan ekspresi acuh tak acuh. “Aku menyinggung anak-anak donatur dan siswa dengan orang tua berpengaruh. Jadi, semua sekolah menolak namaku. Dan ayahku, pria baik hati itu, menempatkanku di sini setelah menyeretku kesana kemari,” jawabnya ringan, seolah itu bukan hal besar.

Seluruh kelas saling berpandangan, terkejut mendengar penjelasan Ragna yang begitu santai. Mereka tampak bingung, seolah mencoba memahami apa yang baru saja dia katakan.

Jay mengernyit, mencoba menebak. “Biar ku tebak, kau terlibat dalam drama murahan, ya?”

Ragna tertawa kecil, menatap Jay dengan ekspresi santai. “Mereka yang menyeretku ke dalam permainan mereka. Jadi, sebagai pemanis, aku meledakkan bom molotov di kantin sekolah, dan TADA! Aku terdampar di sini,” jawabnya sambil menyentuh ujung rambutnya dengan cuek, seolah sedang membicarakan cuaca.

Seisi kelas hening sejenak, seolah mencerna apa yang baru saja dia ucapkan. Tiba-tiba, terdengar tepuk tangan pelan yang menggema di ruang kelas itu.

Ragna menoleh, matanya tertuju pada seorang pemuda yang kini melangkah menuju mejanya, wajahnya dihiasi senyuman sinis yang penuh arti. Teman-teman yang sebelumnya mengerubungi meja Ragna mulai mundur, memberi ruang baginya, tanpa bisa menyembunyikan rasa takut yang mulai menyelimuti mereka. Aura intimidasi yang dipancarkan pemuda itu begitu terasa, memaksa siapa saja di sekitarnya untuk memberi jalan. Ragna tersenyum puas, merasakan ketegangan yang mengalir di udara.

Pemuda itu mendekat dan berhenti tepat di depan meja Ragna, masih menyeringai. “Kalau begitu, bagaimana nanti sore buktikan ucapan lo?” tanyanya, suaranya penuh tantangan.

Ragna hanya menatapnya dengan wajah datar, tidak terganggu sedikit pun. “Sorry, hari ini gue belum bisa, soalnya gue baru sehari di sini. Ayah gue belum ijinin buat ulah. Gimana kalo besok aja? Dijamin, besok ada kembang api spektakuler,” tawarnya santai, seperti tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Pemuda itu mengangkat alis, lalu mengangguk pelan, seolah menyetujui tawaran Ragna. “Baiklah. Gue tunggu,” ujarnya singkat, sambil berbalik dan berjalan kembali ke tempatnya, meninggalkan Ragna yang masih tersenyum dengan penuh percaya diri.

“Apa?! Serius?! Kau menyekolahkan Ragna di sekolah itu?!” seru Ervan dengan nada penuh ketidakpercayaan, kedua alisnya hampir menyatu saking tak habis pikir.

Verio hanya melirik pria itu sambil mengangkat bahu, raut wajahnya tenang, nyaris terlalu santai. “Aku tidak punya pilihan setelah semua sekolah di kota ini menolaknya. Jadi, aku rasa ini bukan ide buruk,” jawabnya dengan nada seolah sedang membahas keputusan membeli kopi, bukan soal masa depan anaknya.

“Gila! Kau benar-benar gila! Apa kau tidak khawatir dengan putrimu di sana?” Ervan melangkah maju, tatapannya penuh tuntutan, seperti ingin mengguncang logika Verio.

Verio hanya tersenyum kecil, melipat tangan di depan dada. “Akan lebih mengkhawatirkan kalau dia masuk sekolah lain tapi tertekan, Ervan. Dia tidak bisa menjadi dirinya sendiri atau mengeksplorasi bakatnya. Jadi, aku lebih percaya dia baik-baik saja di sana,” sahutnya tenang, seperti orang yang sepenuhnya yakin akan pilihannya.

Ervan menatapnya lama, mencoba mencerna penjelasan itu. “Verio, kau benar-benar gila,” ujarnya akhirnya, nada suaranya lebih datar, tapi jelas masih tidak percaya.

“Ya,” jawab Verio sambil menyeringai, tatapannya penuh percaya diri. “Aku memang gila.”

“Bagaimana kalau dia hamil di sana?” suara Ervan terdengar lebih serius, kali ini tidak ada nada bercanda di dalamnya. Wajahnya mencerminkan kekhawatiran yang nyata.

Verio, yang sedang memeriksa dokumen di tangannya, hanya mengangkat kepala sekilas. “Sekolah berandalan tidak akan memperlakukan perempuan dengan buruk,” jawabnya santai, nadanya begitu yakin. “Anak-anak di sana hanya fokus mencari jati diri dan membangun kekuatan. Kalau di sekolah normal? Nah, itu justru yang perlu dipertanyakan.” Tatapannya singkat mengarah pada salah satu karyawan magangnya, seorang siswa dari SMA Ultimatum, yang sedang sibuk mengetik di sudut ruangan.

“Tapi–” Ervan mencoba menyela, namun Verio lebih cepat.

“Kota ini sudah bobrok, Ervan,” potongnya, suaranya mendadak lebih tegas. “Kau tahu? Sekarang ini zamannya pria sebaya kita—bahkan lebih tua—mengincar gadis SMA yang seharusnya masih dianggap anak-anak. Dan kau pikir masalahnya ada di sekolah itu?” Matanya menyipit, menatap Ervan dengan tajam, seperti menantang argumennya.

Ervan terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya menelan ludah, tidak menyangka arah pembicaraan berubah seberat ini.

“Verio, kau benar-benar…” suaranya melemah, tidak melanjutkan kalimat itu. Tapi Verio tahu kelanjutan pikirannya.

“Ya,” Verio kembali menunduk pada dokumennya, bibirnya membentuk seringai tipis. “Aku benar-benar tahu apa yang sedang aku lakukan.”

Ervan masih berdiri di sana, bingung bagaimana melanjutkan pembicaraan. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang sulit ia sembunyikan. Verio, di sisi lain, tampak tidak peduli, bahkan seolah menikmati kegelisahan pria di depannya.

“Kau tahu, Ervan,” Verio akhirnya membuka suara, dengan nada sarkastis yang khas, “kalau kau begitu khawatir dengan masa depan anak-anak kita, mungkin kau bisa mulai dengan membentuk program pelatihan moral di kota ini. Siapa tahu, kau jadi pahlawan lokal.” Dia mengangkat alis, sambil mengetuk meja dengan ujung jarinya, seolah menantang.

“Verio, aku serius—”

“Dan aku juga serius,” potong Verio cepat. “Serius menikmati bagaimana kau selalu panik untuk hal-hal yang, jujur saja, di luar kendalimu.” Dia menyeringai, lalu menambahkan, “Apa kau pikir aku tidak memikirkan risikonya? Kau pikir aku asal menempatkan Ragna di sekolah itu? Oh, tentu saja aku melakukannya tanpa berpikir panjang, karena itulah aku ayah yang buruk, kan?” Nada sarkasnya makin tajam.

Ervan membuka mulut untuk membalas, tapi Verio mengangkat tangannya, menghentikannya sebelum dia sempat bicara. “Dengar, Ervan. Kalau aku benar-benar tidak peduli, aku bisa saja meninggalkan dia begitu saja, seperti banyak orang di kota ini yang meninggalkan tanggung jawab mereka. Tapi aku tidak melakukan itu.”

Dia bersandar di kursinya, menatap Ervan dengan tatapan tajam namun penuh keyakinan. “Aku memilih untuk percaya padanya. Ya, percaya. Konsep yang mungkin terdengar asing bagimu, mengingat kau tidak pernah melepas kendali pada apa pun di hidupmu. Tapi kau tahu? Kadang kau harus membiarkan seseorang jatuh, supaya mereka bisa belajar berdiri sendiri.”

Ervan menghela napas panjang, jelas tidak puas, tapi sulit membantah logika Verio yang, meskipun sarkastis, tetap masuk akal.

“Jadi, kau akan membiarkannya begitu saja?” tanya Ervan, mencoba menantang balik.

“Oh, tentu tidak.” Verio menyeringai lagi, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan. “Aku akan menonton dari jauh. Kalau dia membuat kesalahan, aku akan ada di sana untuk memastikan dia tidak hancur. Tapi kalau kau berharap aku akan terus memegang tangannya setiap saat, itu mimpi, Ervan. Dunia nyata tidak sebaik itu, dan dia harus tahu cara menghadapinya.”

Dia mengangkat bahu santai, sebelum menambahkan dengan nada sarkastis yang hampir seperti ejekan, “Tapi kalau kau masih merasa aku terlalu santai, mungkin kau bisa mengadopsinya. Jadikan dia proyek sosial barumu.”

Ervan menatap Verio dengan tatapan yang sulit diartikan, antara frustasi dan bingung. “Kadang aku tidak mengerti caramu berpikir,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Verio.

Verio hanya tertawa kecil, sebuah tawa sarkastis yang terdengar menusuk. “Oh, Ervan, kau tidak perlu mengerti. Cukup duduk manis dan nikmati caraku mengacaukan kehidupan ini, karena sejujurnya, itu jauh lebih menyenangkan daripada terus-terusan cemas akan segala hal.”

Ervan menggelengkan kepala, mencoba menahan amarahnya. “Ini bukan soal cemas, Verio. Ini soal tanggung jawab.”

“Tanggung jawab,” Verio mengulangi kata itu dengan nada mengejek, seolah kata itu sesuatu yang baru baginya. “Lucu kau menyebut tanggung jawab, Ervan. Padahal, aku di sini, mengambil peran sebagai ayah untuk anak yang bahkan bukan darah dagingku sepenuhnya. Kau tahu apa yang lebih lucu? Semua orang berpikir aku akan gagal, tapi lihatlah. Ragna masih hidup, masih sehat, dan, sejauh ini, belum ada laporan polisi masuk karena dia membakar gedung sekolah.” Dia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan nada santai, “Belum.”

Ervan memijat pelipisnya, merasa kehabisan kata-kata. “Kau benar-benar—”

“Berani? Tidak peduli? Gila? Aku sudah mendengar semuanya, Ervan.” Verio menyela dengan senyum tipis di wajahnya. “Dan kau tahu apa? Itu tidak mengubah apa pun. Aku tetap akan mendidik Ragna dengan caraku. Aku tidak peduli apa kata orang, selama dia tahu bahwa, di balik semua kebebasan yang kuberikan, ada batas yang harus dia hargai. Kalau dia melewati batas itu, aku akan menjadi orang pertama yang menariknya kembali.”

Ervan hanya bisa menghela napas panjang. “Kau yakin dia tidak akan melewati batas itu?”

Verio menyandarkan tubuhnya ke kursi, melipat kedua tangannya di belakang kepala. “Tidak, aku tidak yakin. Tapi begini, Ervan... kalau kau hidup dengan mencoba mengendalikan setiap hal kecil di dunia ini, kau tidak akan pernah benar-benar hidup. Dan aku, untuk semua kekacauan dalam hidupku, memilih untuk hidup. Itu yang ingin kuajarkan pada Ragna.”

Ervan menatap Verio lama, mencoba mencari celah dalam logika pria itu, tapi dia tidak menemukannya. “Kau tahu, Verio, kadang aku merasa kau terlalu optimis.”

“Bukan optimis,” Verio membalas sambil tersenyum sinis. “Cuma realistis dengan sedikit bumbu sarkasme. Hidup lebih mudah dijalani seperti itu.”

Ragna menyusuri sekolah barunya, memindai suasana yang berbeda dari apa yang biasa ia lihat. Di setiap sudut, ada saja siswa yang terlihat sibuk. Beberapa tengah bergulat, tapi bukan dengan amarah—lebih terlihat seperti sparring atau latihan serius. Di sisi lain, kelompok-kelompok kecil berkumpul, beberapa mengobrol santai, sementara yang lain tampak fokus pada kegiatan masing-masing.

Yang paling menarik perhatian adalah interaksi antara guru dan siswa. Tidak ada jarak kaku seperti di sekolah lamanya. Mereka bercanda, tertawa, seakan tidak ada sekat formal yang memisahkan. Pemandangan itu asing, tetapi juga menyenangkan dalam caranya sendiri.

“Kau anak baru, ya?” Suara seorang siswi membuyarkan pengamatan Ragna. Sekelompok gadis mendekat, memindai dirinya dari kepala hingga kaki.

“Kau kelihatan lemah,” tambah salah satu dari mereka, nada suaranya mengejek.

Ragna hanya tersenyum, tidak terpengaruh sedikit pun oleh komentar itu. “Ya, aku baru di sini. Ini hari pertamaku, jadi jangan ajak ribut dulu. Kalau mau duel, besok saja.”

Mereka saling bertukar pandang, lalu tertawa mencemooh. Gadis yang tampak seperti pemimpin kelompok itu melangkah lebih dekat, mengangkat tangan untuk menampar Ragna. Tapi, sebelum tangan itu sempat menyentuh wajahnya, Ragna sudah lebih dulu menangkap pergelangan gadis itu. Cengkeramannya kuat, membuat lawannya mengumpat sambil berusaha melepaskan diri.

“Sialan!” Gadis itu berusaha menarik tangannya, tetapi sia-sia.

“Aku bilang, ributnya besok saja.” Nada Ragna terdengar santai, tetapi ada ancaman halus yang menyelinap di balik senyumnya. Mata hijaunya menatap tajam, membuat gadis itu menggigil sesaat meski tidak menunjukkan ketakutan di wajahnya.

“Kau–”

“Aku mau jalan-jalan dulu,” potong Ragna sebelum gadis itu sempat bicara lebih jauh. Dia melepaskan tangannya dengan anggun, lalu menyandarkan satu tangan ke pinggang. “Belum hafal letak ruangan di sekolah ini. Kalau kita ribut sekarang, aku malah terlambat mengenal tempat ini.”

Mereka saling melirik, tampak bingung tetapi enggan mengakui kekalahan. Akhirnya, pemimpin kelompok itu menarik napas panjang sebelum berkata, “Baik, kalau begitu ikut kami.”

Ragna tersenyum kecil, mengangkat bahu dengan yak acuh. “Tentu. Tapi jangan buat aku kesal di tengah jalan, ya.”

Ragna melangkah santai, mengikuti kelompok gadis itu dengan aura percaya diri yang tidak bisa diabaikan. Pemimpin kelompok, yang tampak sedikit kesal namun berusaha menjaga gengsinya, berjalan di depan, sementara dua anggota lainnya mengapit Ragna seperti pengawal yang tidak diminta.

“Jadi, anak baru,” salah satu dari mereka membuka pembicaraan, nada suaranya setengah mengejek, “apa kau yakin bisa bertahan di sini? Tempat ini bukan seperti sekolah biasa, kau tahu.”

Ragna hanya mengangkat bahu, matanya masih sibuk mengamati setiap sudut koridor yang mereka lewati. “Sekolah biasa itu membosankan,” jawabnya ringan. “Lagipula, aku lebih suka tempat di mana aku tidak perlu berpura-pura menjadi sesuatu yang bukan diriku.”

Pemimpin kelompok itu menoleh sedikit, bibirnya melengkung membentuk senyum sinis. “Kau bicara seolah-olah kau paham apa artinya berada di sini. Kau bahkan belum melihat sisi gelapnya.”

“Oh, jadi ini punya sisi gelap?” Ragna bertanya balik, nada suaranya lebih seperti seseorang yang sedang mendengar cerita menarik daripada seseorang yang merasa terancam. “Bagus. Aku mulai berpikir tempat ini terlalu tenang untuk disebut sekolah berandalan.”

Gadis-gadis itu saling melirik, tampak bingung dengan sikap santai Ragna. Biasanya, anak baru akan merasa gugup atau mencoba menunjukkan keberanian dengan cara yang terlalu mencolok. Tapi gadis ini berbeda. Ada sesuatu dalam sikapnya yang membuat mereka tidak bisa menebak apa yang ada di pikirannya.

Mereka berhenti di depan sebuah lapangan luas di belakang gedung utama. Di sana, beberapa siswa tengah berlatih seni bela diri, sementara yang lain terlihat seperti sedang menguji nyali satu sama lain. Suasana itu penuh energi, tetapi juga memiliki aturan tak tertulis yang menjaga semuanya tetap terkendali.

“Inilah tempat di mana semuanya dimulai,” pemimpin kelompok itu berkata, menoleh ke Ragna dengan senyum yang lebih mirip tantangan. “Kalau kau benar-benar ingin bertahan di sini, kau harus bisa menunjukkan sesuatu yang berarti.”

Ragna melipat tangan di depan dada, matanya mengamati aktivitas di lapangan. “Sesuatu yang berarti, ya? Apa itu termasuk melempar bom molotov di kantin sekolah?” tanyanya dengan nada polos, membuat gadis-gadis itu langsung membelalakkan mata.

“Bom molotov?” salah satu dari mereka bergumam, tampak tidak percaya. “Kau bercanda, kan?”

Ragna hanya tersenyum tipis, tidak memberikan jawaban. Dia menatap pemimpin kelompok itu, matanya penuh dengan keyakinan yang tidak biasa. “Kita lihat saja nanti, ya? Aku masih menyesuaikan diri hari ini. Tapi kalau kau benar-benar ingin tahu apa yang bisa kulakukan... mungkin besok kau akan melihat sesuatu yang ‘berarti.’”

Pemimpin kelompok itu mengernyit, mencoba mencari jejak kepura-puraan di wajah Ragna, tetapi yang dia temukan hanyalah ketenangan yang hampir menakutkan. “Kau lebih aneh dari yang kukira, anak baru.”

Ragna tertawa kecil, lalu mengangkat bahu. “Kau belum melihat setengahnya.” Dia melangkah menjauh, meninggalkan mereka dengan ekspresi bingung dan penasaran yang bercampur jadi satu, sementara dirinya terus melangkah menjelajahi sekolah barunya dengan rasa ingin tahu yang tak tergoyahkan.

1
Listya ning
kasih sayang papa yang tulus
Semangat author...jangan lupa mampir 💜
Myss Guccy
jarang ada orang tua yg menujukkan rasa sayangnya dng nada sarkas dan penuh penekanan. tp dibalik itu semua,, tujuannya hanya untuk membuat anak lebih berani dan kuat. didunia ini tdk semua berisi orang baik, jika kita lemah maka kita yg akan hancur dan binasa, keren thor lanjutkan 💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!